Senin, 01 Jan 2024
Tirai Baru Demokrasi: Ambang Batas Lenyap, Mahar Politik Merajalela
Home > Detail

Tirai Baru Demokrasi: Ambang Batas Lenyap, Mahar Politik Merajalela

Reza Gunadha | Muhammad Yasir

Senin, 06 Januari 2025 | 14:56 WIB

Suara.com - Keputusan Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold menimbulkan euforia. Banyak yang menilai itu menjadi purifikasi demokrasi yang kekinian didominasi oleh ‘politik mahar’ alih-alih mengandalkan ideologi.

Namun, tak sedikit pula yang skeptis. Sebab, keputusan bernomor 62/PUU-XXII/2024 itu membebaskan partai politik untuk mengusung kandidat mereka sendiri tanpa koalisi, sehingga berpotensi menebarkan benih praktek mahar politik yang lebih luas. 

Dengan setiap partai kini dapat mencalonkan tokoh pilihannya, pasaran politik diprediksi semakin ramai, memperdagangkan tiket pencalonan di bawah sorotan kepentingan dan kapital politik yang tak kunjung usai.

Itulah yang membuat pikiran Ketua DPD Partai Gerindra Jakarta Ahmad Riza Patria membuncah: partai-partai bisa saja melakukan praktik jual beli ‘perahu’ atau ‘tiket’ kepada kandidat yang kebelet maju sebagai capres - cawapres.

“Jangan sampai nanti terjadi jual beli tiket untuk capres. Akhirnya kan jadi pragmatis,” kata Riza, pekan lalu.

Isu jual beli tiket politik sebenarnya sudah ada sejak dulu. Pada gelaran Pilpres 2019 misalnya, Sandiaga Uno yang kala itu masih menjadi petinggi Gerindra dituding memberikan mahar politik kepada PAN dan PKS, masing-masing Rp 500 miliar, agar bisa mendampingi Prabowo sebagai cawapres.

Tudingan yang dilontarkan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief itu berawal dari kekesalannya lantaran sang patron–Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono–urung menjadi pasangan Prabowo. Padahal, si sulung putra SBY awalnya diproyeksikan menjadi cawapres, bukan Sandiaga.

Politik mahar juga terjadi pada level pemilihan kepala daerah. Indonesia Corruption Watch menyebut, jual beli partai pendukung untuk salah satu calon pilkada sudah biasa dilakukan kaum elite. Bahkan, ada pula tawaran parpol untuk menjegal pencalonan seseorang agar tercipta satu calon tunggal.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum RI, terdapat 37 pasangan calon tunggal saat Pilkada serentak 2024. Mayoritas merupakan calon petahana. Ini pula yang menjadi pertimbangan MK menghapus presidential threshold, yakni waswas kalau pilpres hanya diikuti satu pasangan calon.

Cuma bisa ngerem

Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman menilai, keputusan MK menghapus presidential threshold memang tak bisa menghapus praktik politik mahar, tapi bisa menekannya.

“Hal yang patut diapresiasi adalah putusan MK itu boleh dibilang agak ngerem urusan mahar politik. Kenapa? Karena partai politik bisa mencalonkan sendiri,” ujar Herlambang kepada Suara.com, Sabtu (4/1/2025).

Praktik mahar politik atau jual beli tiket, kata Herlambang, memang tak terhindarkan sekalipun PT 20 persen telah dihapus. Namun dia meyakini, partai-partai politik yang merendahkan muruah dan integritasnya, tidak akan berumur panjang. Apalagi ketika kesadaran politik masyarakat semakin tinggi. 

“Artinya karena memang tidak terhindarkan, maka rakyat yang akan menghukum nanti dengan tidak dipilih,” ungkapnya. 

Model Pilpres Pasca Penghapusan PT 20 persen. (Suara.com/Iqbal Asaputro)
Model Pilpres Pasca Penghapusan PT 20 persen. (Suara.com/Iqbal Asaputro)

Perketat Verifikasi

Larangan terhadap praktik mahar politik sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada Pasal 228 Ayat 1 undang-undang tersebut dijelaskan, partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Sedangkan pada Ayat 2 disebut, partai politik yang terbukti menerima imbalan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya. 

Penegakan hukum, lanjut Herlambang, adalah kunci untuk menekan praktik mahar politik. Bukan justru mengubah sistem atau mengambinghitamkan keputusan MK menghapus presidential threshold sebagai keputusan yang semakin menyuburkan praktik mahar politik. 

“Kita belajar dari pengalaman pemerintahan 10 tahun Jokowi, kan penegakan hukum enggak berjalan dengan baik. Itu saja problemnya,” jelas Herlambang. 

Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar atau Uceng sependapat dengan Herlambang. Maraknya praktik mahar politik lebih banyak disebabkan faktor lemahnya aturan dan penegakan hukum. 

“Kita selalu gagal mengatasi jual-beli perahu, lalu kemudian kita biarkan presidential threshold ada, menurut saya tidak begitu. Itu seperti tak pandai menari, lantai yang kita tuduh terjungkit,” ucapnya.

“Harusnya yang kita paksakan dan kuatkan adalah bagaimana membuat aturan, bagaimana memaksakan supaya gejala jual-beli perahu itu tidak boleh terjadi.”

Selain pentingnya memperkuat aturan dan penegakan hukum, Uceng menilai KPU sebagai penyelenggara Pemilu juga harus memperketat proses verifikasi partai peserta pemilu.

Dengan begitu, partai-partai baru tidak serta-merta bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Misalnya, parpol yang dapat mencalonkan capres - cawapres nantinya adalah partai yang sudah memiliki pengalaman, rekam jejak, atau setidaknya sudah berpengalaman mengikuti kontestasi pemilihan legislatif di tingkat DPRD. 

“Supaya tidak semua partai itu langsung bisa mengikuti pemilu, baru berdiri langsung bisa mengikuti pemilu,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay menambahkan, selain verifikasi yang ketat, juga diperlukan aturan dan pengawasan ekstra-intensif terkait sumber keuangan partai politik dan dana kampanye–walaupun  sebenarnya aturan itu sudah ada.

“Kenapa sudah diatur, tetapi selama ini kita masih mendengar jual beli perahu dalam pilkada maupun saat pilpres?” tutur Hadar kepada Suara.com, akhir pekan lalu.

“Ini berarti pengaturan seperti itu masih belum bisa ditegakkan. Di mana pengawasnya sekarang ini? Nah ini yang harus dirapikan.”

Global Commission on Elections, Democracy & Security dalam laporan yang dirilis pada tahun 2012 menyimpulkan lima tantangan terbesar yang menghambat integritas pemilu. Beberapa di antaranya: pendanaan politik yang tidak terkontrol; tidak terungkap; hingga bersifat tertutup akibat regulasi yang tidak memadai.

Menurut ICW, pranata hukum pemilu di Indonesia sebetulnya telah menentukan detail terkait batasan donasi yang diperbolehkan untuk diterima partai politik maupun kandidat individu. Termasuk kewajiban untuk melaporkan audit keuangan dari pemasukan dan pengeluarannya ke KPU.

Namun, selama ini, partai politik memiliki kecenderungan untuk hanya melaporkan sebagian kecil donasi dan pengeluaran mereka. 

Semenjak Pemilu tahun 1999, 2004, 2009, 2014, 2019, hingga 2024, pemantauan ICW konsisten menunjukkan adanya anomali dalam pelaporan dana kampanye. Mulai dari persoalan administrasi pelaporan yang buruk, hingga dugaan manipulasi dokumen ditemukan baik pada pilpres, pileg, dan pilkada.

Faktor Mahalnya Biaya Politik 

Westminster Foundation for Democracy Limited (WFD) dalam laporan bertajuk ‘Biaya Politik di Indonesia’ yang dirilis pada November 2024 mengungkap sejumlah faktor pendorong mahalnya biaya politik di Indonesia. Salah satunya adalah sistem representasi proporsional dengan daftar terbuka. Sistem tersebut dianggap membuat persaingan antarcalon menjadi lebih ketat, dan pada akhirnya turut membuat biaya semakin melangit. 

WFD menilai sistem ini dimaksudkan untuk memperluas peluang calon agar lebih beragam. Tapi praktiknya justru menyebabkan pemilu menjadi semacam kontes popularitas, di mana ketenaran dan kemampuan calon untuk membagi-bagikan sumber daya menjadi lebih berpengaruh kepada pemilih daripada ideologi atau agenda kebijakan.

“Masyarakat kita tidak mengenal representasi politik yang didasari oleh ideologi. Misalnya, tidak ada yang namanya perempuan memilih perempuan, pekerja memilih pekerja, petani memilih petani, atau aktivis memilih aktivis,” tulis WFD dalam laporannya dikutip Suara.com, Senin (6/1/2025).

Seperti pendapat Herlambang, Uceng dan Hadar, WFD dalam laporannya juga menyinggung soal peran KPU dan Bawaslu. Maraknya money politics yang terjadi di tengah pelaksanaan pemilu Indonesia, dinilai tidak terlepas dari kegagalan KPU dan Bawaslu dalam menegakkan aturan. 

Selanjutnya faktor yang sangat mengkhawatirkan adalah budaya jual beli suara yang dinilai semakin marak dan diterima. Di mana seakan-akan jual beli suara, kini jadi hal yang lumrah dalam politik Indonesia. 

“Kampanye kini lebih banyak tentang membagikan hadiah dan insentif uang sebagai imbalan atas suara; sebuah kenyataan yang tampaknya telah diterima oleh politisi dan sebagian besar masyarakat."

Terbaru
Kenapa Patrick Kluivert?
polemik

Kenapa Patrick Kluivert?

Selasa, 07 Januari 2025 | 12:00 WIB

PSSI bungkam soal siapa sosok pengganti Shin Tae-yong, tetapi rumor menyebut Patrick Kluivert sebagai kandidat utama.

Cerita-cerita Miring di Balik Pemecatan Shin Tae-yong polemik

Cerita-cerita Miring di Balik Pemecatan Shin Tae-yong

Selasa, 07 Januari 2025 | 08:00 WIB

Semua dipicu oleh keputusan STY yang membangkucadangkan Thom Haye dan Sandy Walsh saat Timnas Indonesia dikalahkan China pada 15 Oktober 2024.

PDIP Cari Sekjen Baru: Misi Rekonsiliasi atau Oposisi Total? polemik

PDIP Cari Sekjen Baru: Misi Rekonsiliasi atau Oposisi Total?

Senin, 06 Januari 2025 | 19:58 WIB

Politikus PDIP Aria Bima memastikan bahwa partainya tidak akan serampangan menyaring nama pengganti Hasto.

Kocok Ulang Peta Politik Usai PT 20 Persen Dihapus: Bagaimana Peluang Gibran hingga Anies Baswedan di Pilpres 2029? polemik

Kocok Ulang Peta Politik Usai PT 20 Persen Dihapus: Bagaimana Peluang Gibran hingga Anies Baswedan di Pilpres 2029?

Senin, 06 Januari 2025 | 12:00 WIB

Dengan penghapusan syarat tersebut, setiap partai politik peserta pemilu memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan presiden.

Mewaspadai Siasat Politik Oligarki di Balik Putusan MK Hapus Presidential Threshold polemik

Mewaspadai Siasat Politik Oligarki di Balik Putusan MK Hapus Presidential Threshold

Senin, 06 Januari 2025 | 08:00 WIB

Said Didu mengingatkan publik untuk waspada. Mengapa?

Retorika Prabowo Subianto Soal Perluasan Lahan Sawit: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan? polemik

Retorika Prabowo Subianto Soal Perluasan Lahan Sawit: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Jum'at, 03 Januari 2025 | 10:15 WIB

Bahkan, Prabowo juga tak segan memerintah kepala daerah, TNI, dan Polri menjaga perkebunan sawit.

Memutus Mata Rantai Kekerasan di Lingkungan Pendidikan polemik

Memutus Mata Rantai Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

Kamis, 02 Januari 2025 | 20:16 WIB

Kekerasan di lingkungan pendidikan terjadi di seluruh provinsi Indonesia.