Suara.com - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) mendapat pujian. Beberapa partai politik, pegiat demokrasi, pemerhati pemilu, hingga pakar tata negara menyambut langkah ini.
Keputusan tersebut menjadi angin segar setelah 32 kali uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selalu ditolak atau tidak diterima. Putusan MK dengan Nomor Perkara: 62/PUU-XXII/2024 akhirnya diterima sebagai permohonan ke-33.
Menariknya, uji materi ini diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga: Enika, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.
Pasal 222 sebelumnya mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya. Dengan putusan ini, aturan itu gugur.
Semua partai politik peserta pemilu kini bisa mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden tanpa harus berkoalisi.
Namun, di tengah euforia, eks Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, punya pandangan berbeda. Ia mengingatkan publik untuk waspada. Said Didu menyoroti potensi manuver partai politik, oligarki, dan pemerintah yang mungkin membonsai putusan MK belakangan.
“Jangan terlalu gembira atas putusan @officialMKRI terkait Presidential Thresold menjadi 0% karena saya yakin Parpol dan Oligarki bersama Pemerintah akan membuat Undang-Undang baru yang akan memberikan kekuasaan kepada mereka dalam menentukan Calon Presiden 2029,” tulis Said Didu di akun X pribadinya dikutip Suara.com, Sabtu (4/1/2024).
Peringatan Said Didu bukan tanpa alasan. Pada Agustus 2024, DPR mencoba memanipulasi Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia minimal 30 tahun bagi calon kepala daerah sebelum penetapan.
Setelah putusan tersebut, Badan Legislasi (Baleg) DPR malah merevisi RUU Pilkada dengan mengacu pada Putusan MA Nomor 23P/HUM/2024, yang menetapkan batas usia 30 tahun saat pelantikan.
Langkah ini diduga untuk memuluskan jalan bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo. Namun, pengesahan RUU Pilkada yang direncanakan pada Kamis, 22 Agustus 2024, gagal. Alasan utamanya, rapat paripurna tidak memenuhi kuorum.
Selain itu, aksi penolakan besar-besaran dari masyarakat, aktivis, akademisi, hingga pesohor dalam gerakan Peringatan Darurat turut menggagalkan rencana tersebut.
Kini, setelah MK menghapus presidential threshold, wacana baru muncul. Ketua DPD RI, Sultan B. Najamuddin, mengusulkan agar pengusulan calon presiden dan wakil presiden kembali melalui budaya musyawarah di MPR.
Ia berdalih, pendekatan ini akan membuat proses demokrasi lebih efisien meski setiap partai politik kini bebas mencalonkan kandidat.
Sultan menambahkan, tujuan utama wacana ini adalah menyederhanakan kontestasi. Ia berharap budaya musyawarah di MPR dapat membentuk maksimal dua poros kekuatan politik, demi kompetisi yang lebih terarah dan stabil.
“Sehingga proses pilpres tidak perlu dilaksanakan lebih dari satu kali dan meningkatkan legitimasi politik pemimpin nasional terpilih,” kata Sultan dikutip Suara.com, Sabtu (4/1/2025).
Pakar Hukum Tata Negara UGM, Herlambang Perdana Wiratraman, mengkritik keras wacana itu. Ia menilai gagasan yang dilontarkan mantan Wakil Gubernur Bengkulu, Sultan B. Najamuddin, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Itu jelas tidak sejalan dengan ratio decidendi atau pertimbangan dari putusan MK. Putusan tersebut justru menghendaki partai politik lebih bebas menentukan calonnya tanpa tersandera oleh presidential threshold,” tegas Herlambang kepada Suara.com, Sabtu (4/1/2025).
Dalam pertimbangannya, hakim MK Saldi Isra menyebut bahwa Pasal 222 Undang-Undang Pemilu dianggap inkonstitusional karena menimbulkan dominasi partai politik tertentu. Hal ini membatasi hak konstitusional pemilih dan mempersempit peluang partai politik lainnya.
MK juga mencatat bahwa presidential threshold kerap memaksa hanya dua pasangan calon dalam pemilu. Kondisi ini, menurut MK, meningkatkan risiko polarisasi yang dapat mengancam kebinekaan. Bahkan, jika terus dibiarkan, pemilu berpotensi menghasilkan calon tunggal.
Lebih jauh, Herlambang menekankan bahwa wacana musyawarah MPR tidak hanya bertentangan dengan putusan MK, tetapi juga melanggar UUD NRI 1945.
Pasal 6A Ayat 2 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaannya. Artinya, hak pengusulan calon sepenuhnya berada di tangan partai politik, bukan MPR.
“Harus dipahami paradigma bernegara kita itu sistemnya presidensial bukan parlementer,” ungkap Herlambang.
“Mengembalikan ke era parlementer ini sudah salah kaprah, keliru secara ketatanegaraan dan tidak ada basisnya secara politik ketatanegaraan. Sejarah menunjukkan kita gagal dalam menggunakan sistem parlementer karena tidak stabil.”
Anggota MPR RI LaNyalla Mahmud Mattalitti sempat mengutarakan agar presiden dan wakil presiden kembali dipilih MPR. Dalihnya demi menghindari bengkaknya biaya politik.
Putusan MK menghapus presidential threshold, kata dia, harus diikuti dengan perubahan Undang-Undang Pemilu dan sistem ketatanegaraan.
“Banyak calon presiden tidak masalah, tetapi yang memilih adalah para hikmat yang berada di MPR sebagai lembaga tertinggi, yang tidak hanya dihuni anggota DPR dari representasi partai saja,” tutur LaNyalla.
Alih-alih menekankan biaya mahal, Herlambang justru menilai sistem tersebut akan menimbulkan praktik kartelisasi politik. Sederhanya musyawarah yang terjadi nantinya sebatas budaya musyawarah oligarki sarat dengan transaksional.
“Ini memang sangat menguntungkan bagi mereka yang punya kepentingan politik dan bisnis di satu tangan, dan itu jelas mereka tidak mau kehilangan pola-pola kartelisasi,” ungkap Herlambang.
Putusan MK Jadi Pedoman
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay sependapat dengan Herlambang. Menurutnya, mengembalikan proses pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR merupakan sebuah ide mundur.
“Menurut saya berhentilah dengan ide-ide yang mundur itu,” kata Hadar kepada Suara.com, Sabtu (4/1/2025).
Dalam Pasal 6A Ayat 1 UUD NRI 1945, kata dia, secara tegas telah dijelaskan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Kemudian di Pasal 64 Ayat 4 juga telah diatur adanya pelaksanaan pilpres dua putaran jika pasangan calon peserta lebih dari dua pasangan.
“Nggak bisa diakal-akalin supaya satu putaran saja. Kalau memang ternyata menjadi dua putaran ya sudah harus terima itu, nggak boleh kemudian dicari-cari jalan,” ungkapnya.
“Nah bahwa ada biaya oke, tapi itu satu resiko yang juga harus ditanggung. Tetapi bisa dicari cara-cara yang memang bisa lebih menekan biaya tanpa harus mengubah sistem pemilihannya.”
Hadar mengingatkan agar revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berpedoman pada putusan MK, termasuk penghapusan presidential threshold.
Senada, Titi Anggraini, Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, menegaskan DPR harus menghindari distorsi terhadap putusan MK.
“Kita harus belajar dari aksi peringatan darurat ketika muncul perlawanan luar biasa dari masyarakat ketika parlemen mencoba membonsai putusan MK soal UU Pilkada,” ungkap Titi.
MK saat memutus Nomor Perkara: 62/PUU-XXII/2024 telah menyatakan, pembentuk undang-undang dalam merevisi Undang-Undang Pemilu dapat melakukan rekayasa konstitusional atau constitutional engineering. Namun dengan tetap memperhatikan lima judicial orders atau perintah MK.
Lima judicial orders atau perintah MK itu pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Ambang batas maksimal koalisi partai pengusung calon presiden dan wakil presiden, kata Titi, sangat mungkin diterapkan dalam Revisi Undang-Undang Pemilu.
Sebab MK juga telah memberikan lampu hijau terkait hal itu yang tercantum pada poin ketiga dan keempat pada judicial orders.
“Ambang batas maksimal sangat mungkin untuk diterapkan mengingat adanya lampu hijau dari MK yang tidak menghendaki praktik dominasi kelompok politik tertentu yang mengarah pada borong partai,” jelas Titi.
Adanya ambang batas maksimal koalisi partai pengusung calon presiden dan wakil presiden ini menurut Titi akan membuat partai menjadi lebih sehat. Karena mereka dituntut untuk terus menyiapkan kader terbaik untuk maju sebagai calon presiden ataupun wakil presiden.
Titi berpendapat angka ambang batas maksimal koalisi partai pengusung calon presiden dan wakil presiden sebesar 50 persen atau 60 persen adalah angka yang feasible.
Sehingga akan selalu ada keragaman pilihan yang bisa didapat pemilih dalam kontestasi pilpres.
“Selain itu jalannya pemerintahan akan memiliki kekuatan penyeimbang melalui partai-partai di DPR yang tidak akan melulu bergabung dengan koalisi partai anggota kabinet,” pungkasnya.
Semua dipicu oleh keputusan STY yang membangkucadangkan Thom Haye dan Sandy Walsh saat Timnas Indonesia dikalahkan China pada 15 Oktober 2024.
Politikus PDIP Aria Bima memastikan bahwa partainya tidak akan serampangan menyaring nama pengganti Hasto.
Kita belajar dari pengalaman pemerintahan 10 tahun Jokowi, kan penegakan hukum enggak berjalan dengan baik. Itu saja problemnya, jelas Herlambang.
Dengan penghapusan syarat tersebut, setiap partai politik peserta pemilu memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan presiden.
Bahkan, Prabowo juga tak segan memerintah kepala daerah, TNI, dan Polri menjaga perkebunan sawit.
Kekerasan di lingkungan pendidikan terjadi di seluruh provinsi Indonesia.
Donald Parlaungan Simanjuntak jadi salah satu nama yang mendapatkan vonis Pemberhentian Tidak Dengan Hormat