Suara.com - Presiden Prabowo Subianto kembali membuat pernyataan kontroversial. Dalam sambutannya di Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Gedung Bappenas, Jakarta, Senin (30/12/2024), ia meminta perluasan perkebunan kelapa sawit.
Prabowo meminta tak perlu khawatir soal deforestasi akibat ekspansi lahan sawit. Sebaliknya, ia mengklaim sawit berkontribusi positif karena mampu menyerap karbon dioksida.
"Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida, dari mana kok kita dituduh yang boten-boten saja itu orang-orang itu," kata Prabowo." ujarnya dengan nada retoris.
Namun, pernyataan ini langsung memancing kritik. Banyak pihak menilai pandangannya bertolak belakang dengan komitmen pemerintah untuk menekan laju deforestasi.
Prabowo juga menyebut pengalamannya di luar negeri. Menurutnya, banyak negara bergantung pada hasil perkebunan sawit Indonesia, bahkan khawatir jika pasokan terganggu
Bahkan, Prabowo juga tak segan memerintah kepala daerah, TNI, dan Polri menjaga perkebunan sawit.
Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, menyoroti pernyataan Presiden Prabowo Subianto sebagai bukti inkonsistensi pemerintah dalam menekan deforestasi. Menurutnya, langkah tersebut bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara mandiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
NDC adalah janji global negara-negara yang meratifikasi Paris Agreement untuk mengurangi emisi dan mencapai tujuan iklim.
Dalam konteks ini, pemerintah sebelumnya telah berhasil menekan laju deforestasi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan penurunan deforestasi sebesar 104 ribu hektare pada 2021–2022, dibanding 113,5 ribu hektare pada periode sebelumnya.
Namun, tantangan besar tetap ada. Selama 1950–2000, Indonesia kehilangan 40 persen hutannya—dari 162 juta hektare menjadi 98 juta hektare. Pada 2000–2009, 13,3 juta hektare hutan hilang, dengan laju 1,5 juta hektare per tahun. Periode berikutnya (2009–2013), angka ini menurun menjadi 1,13 juta hektare per tahun.
Sayangnya, menurut Forest Watch Indonesia (FWI), penurunan tersebut lebih karena akses ke hutan yang semakin sulit, bukan perubahan perilaku.
Surambo menilai, alih-alih memperluas lahan sawit, Prabowo seharusnya melanjutkan kebijakan proteksi hutan pemerintahan sebelumnya.
Perluasan lahan sawit dikhawatirkan meningkatkan deforestasi, sehingga komitmen pengurangan emisi sulit tercapai. Apalagi, data ForestDigest.com menunjukkan deforestasi akibat sawit naik 36 persen pada 2023, dengan hutan seluas 30.000 hektare beralih fungsi.
Penelitian terbaru Sawit Watch pada 2024 menyoroti perkebunan sawit hampir mencapai ambang batas di Indonesia, yaitu 18,15 juta hektare. Saat ini, luasnya diperkirakan 17,3 juta hektare, dengan banyak lahan berada di lokasi yang tidak sesuai, seperti hutan non-lindung dan lahan pertanian.
Sederhananya, jika perluasan sawit terus dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan, laju deforestasi bisa kembali meningkat. Pada akhirnya, Indonesia berisiko gagal memenuhi komitmen iklim globalnya.
"Artinya kalau ada dampak-dampak secara lingkungan bencana ekologis seperti banjir dan lain sebagainya itu menurut kami, ya wajar. Karena daya dukung, daya tampung lingkungan hidup untuk sawit sudah hampir dilewati," kata Surambo saat dihubungi Suara.com.
Sawit Watch dengan tegas menolak perluasan lahan sawit. Menurut mereka, solusi terbaik adalah melalui intensifikasi, seperti program peremajaan tanaman sawit. Langkah ini lebih efektif dibandingkan ekstensifikasi yang berisiko meningkatkan deforestasi.
Moratorium perizinan sawit juga menjadi opsi strategis. Dengan menerbitkan peraturan presiden, Prabowo dapat menunda izin baru secara permanen dan mendorong peningkatan produktivitas lahan yang ada.
Achmad Surambo, menyoroti perbedaan mencolok antara luas lahan sawit dan hasil produksinya. Saat ini, produktivitas sawit di Indonesia hanya mencapai 12 ton tandan buah segar per hektare per tahun. Padahal, dengan peremajaan, angka ini bisa meningkat hingga 20 ton per hektare per tahun.
Sawit dapat Serap Karbondioksida?
Argumen Prabowo bahwa kelapa sawit dapat menyerap karbon dioksida memang memiliki dasar, tetapi tidak sepenuhnya akurat. Sawit memang mampu menyerap karbon, tetapi efektivitasnya jauh di bawah hutan alami.
Penting untuk memahami bahwa sebelum menjadi perkebunan sawit, lahan tersebut sering kali berupa hutan primer. Hutan alami memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dalam menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen dibandingkan perkebunan sawit.
Menyamakan lahan sawit dengan hutan, lanjut surambo adalah penyederhanaan yang keliru. Hutan primer tidak hanya berfungsi sebagai penyerap karbon, tetapi juga sebagai habitat keanekaragaman hayati yang kompleks. Oleh karena itu, menjadikannya alasan untuk memperluas perkebunan sawit bukanlah langkah yang bijak.
"Artinya masih banyak yang lebih dilepas ketimbang yang diserap.Nah inilah kenapa di dunia, orang tidak suka kalau hutan diubah menjadi sawit karena terjadi deforestasi. Ketika terjadi deforestasi terjadi pelepasan emisi CO2," jelasnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga ikut menegaskan bahwa kelapa sawit tidak dapat dianggap sebagai tanaman hutan. Penegasan ini merujuk pada pernyataan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022.
KLHK menyebutkan bahwa praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan tidak sesuai prosedur di kawasan hutan telah menimbulkan banyak dampak negatif. Masalah hukum, kerusakan ekologis, gangguan hidrologis, hingga konflik sosial menjadi konsekuensi dari pola kebun sawit yang tidak terkendali.
Menurut WALHI, argumen sawit sebagai tanaman penyerap karbon tidak dapat dijadikan pembenaran untuk merambah kawasan hutan. Dampaknya terlalu besar untuk diabaikan, baik bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar.
“Ini menunjukkan bahwa pernyataan Presiden Prabowo tidak berdasarkan data dan fakta yang diterbitkan pemerintah sendiri,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian.
Artikel The Conversation karya Sofie Sjogersten, Associate Professor in Environmental Science di University of Nottingham, mengungkap dampak konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit baru terhadap emisi gas rumah kaca. Penelitian yang dipublikasikan pada 2020 ini menunjukkan bahwa emisi dari kebun sawit baru jauh lebih tinggi dibandingkan kebun lama.
Konversi hutan gambut di Malaysia dan Indonesia menyumbang total emisi gas rumah kaca sebesar 16,6 persen hingga 27,9 persen untuk seluruh lahan gambut yang dijadikan kebun sawit. Angka ini setara dengan 0,44 persen hingga 0,74 persen dari emisi gas rumah kaca global per tahun.
Kebun sawit baru (umur hingga lima tahun) menghasilkan emisi tertinggi. Hal ini terjadi karena mikroorganisme di lahan baru menemukan lebih banyak bahan organik untuk diuraikan, sehingga memproduksi emisi lebih besar.
Sebaliknya, kebun sawit lama cenderung kehilangan nutrien dan karbon, membuat mikroba kekurangan "makanan" untuk menghasilkan emisi.
Potensi Perluas Konflik
Pernyataan Prabowo yang meminta TNI dan Polri menjaga perkebunan sawit menuai kritik tajam dari WALHI. Mereka menilai langkah ini berpotensi memperparah konflik agraria, kerusakan lingkungan, kebakaran hutan, bencana ekologis, hingga korupsi di sektor sawit.
Uli Arta Siagian, juru bicara WALHI, menyebut instruksi ini berbahaya karena memberikan sinyal kepada aparat untuk terlibat langsung dalam melindungi perusahaan sawit. "Instruksi ini melegitimasi pendekatan keamanan dalam operasi perusahaan sawit," ujar Uli.
Temuan WALHI menunjukkan kecenderungan TNI dan Polri berpihak pada perusahaan dalam konflik agraria. Aparat kerap melakukan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan sawit.
Sawit Watch mencatat pada 2022 ada 1.088 komunitas yang terlibat konflik dengan perusahaan sawit. Sebagian besar (62,5 persen) adalah konflik tenurial, diikuti konflik antar isu (37,5 persen), dan konflik kemitraan (9 persen).
Langkah Prabowo dinilai justru memperburuk situasi, mengesampingkan penyelesaian konflik secara damai, dan berpotensi memperlebar jurang antara masyarakat dengan pemerintah.
Perluasan Lahan Sawit Untuk Siapa?
Retorika Prabowo yang menyebut sawit sebagai hutan sebenarnya bukan argumen baru. Wacana menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan sempat menguat sekira dua tahun lalu. Upaya mendorong langkah itu, ditandai dengan rampungnya naskah akademik hasil kolaborasi akademikus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).
Namun, Forest Resources Conservation Researcher, Universitas Gadjah Mada, Hero Marhaento, dalam tulisan berjudul “Apa untung-rugi jika sawit ditetapkan menjadi tanaman hutan?” di The Conversation menyatakan alih status sawit menjadi tanaman hutan dinilai berpotensi membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat.
Hingga kini, tata kelola perkebunan sawit di Indonesia masih bermasalah. Pada 2019, Yayasan Kehati melaporkan terdapat 3,4 juta hektare kebun sawit di dalam kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, hanya 700 ribu hektare yang dikelola oleh petani kecil (smallholders). Selebihnya dikuasai oleh korporasi dan pelaku usaha dengan modal besar.
Banyak kebun sawit diduga dibuka tanpa prosedur legal, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Selain itu, laporan KPK pada 2016 mengungkap tumpang tindih antara HGU sawit dan izin kehutanan, mencakup 349 ribu hektare untuk hutan alam dan 534 ribu hektare untuk hutan tanaman industri. Kalimantan Timur dan Utara menjadi daerah dengan tumpang tindih terluas.
Ada pula kebun sawit yang muncul di konsesi kehutanan karena kawasan tersebut ditelantarkan.
“Jika sawit diakui sebagai tanaman hutan, keberadaan kebun ini berpotensi menjadi legal, membuka peluang bisnis baru bagi perusahaan kehutanan,” demikian tulis Hero.
Legalitas sawit di konsesi kehutanan, lanjut dia, dapat mendorong penanaman sawit baru di kawasan hutan, termasuk di lahan gambut. Studi menunjukkan, emisi gas rumah kaca dari kebun sawit baru bisa dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan kebun lama.
Di sisi ekonomi, ekspansi sawit korporasi berisiko mematikan petani kecil. Oversupply tandan buah segar (TBS) sawit dapat menyebabkan harga anjlok, membuat petani rentan.
Bagi petani kecil, perubahan status ini tidak memberikan solusi. Masalah utama mereka adalah legalitas lahan, yang sebenarnya dapat diatasi melalui skema Perhutanan Sosial.
“Tanpa kejelasan legalitas, petani tetap kesulitan menjual TBS ke pabrik besar yang hanya menerima produk dari perkebunan legal,” kata Hero.
Kekerasan di lingkungan pendidikan terjadi di seluruh provinsi Indonesia.
Donald Parlaungan Simanjuntak jadi salah satu nama yang mendapatkan vonis Pemberhentian Tidak Dengan Hormat
KPK mendakwa Hasto dengan dua pasal: suap dan perintangan penyidikan. Ia diduga mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan tidak sesuai fakta.
anggota polisi yang terlibat kasus pemerasan ini berpotensi diproses secara pidana
Pameran bertema "Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan" ini rencananya berlangsung pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025.
Potensi semakin suburnya tindak pidana korupsi akan turut berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Edi ziarah ke makam tanpa nisan untuk mengenang 20 tahun peristiwa gempa dan tsunami Aceh.