Menyingkap Fakta 'Operasi Bersinar DWP': Benarkah Pemerasan Berkedok Razia Narkoba Sistemik dan Terorganisir?
Home > Detail

Menyingkap Fakta 'Operasi Bersinar DWP': Benarkah Pemerasan Berkedok Razia Narkoba Sistemik dan Terorganisir?

Bimo Aria Fundrika | Muhammad Yasir

Kamis, 02 Januari 2025 | 11:32 WIB

Suara.com - Kasus pemerasan yang melibatkan anggota polisi terhadap 45 warga Malaysia di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 memasuki babak baru. Nama Kombes Donald P. Simanjuntak, Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya ikut terseret.

Lulusan Akpol 1997 tersebut dikaitkan dengan perencanaan operasi yang disebut "Operasi Bersinar DWP," yang diduga hanya kedok untuk aksi pemerasan. Terbaru, sidang etik terhadap tiga polisi yang diduga terlibat kasus pemerasan warga negara Malaysia di konser Djakarta Warehouse Project (DWP) menghasilkan vonis Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap dua dari tiga pelaku.

Donald Parlaungan Simanjuntak jadi salah satu nama yang mendapatkan vonis Pemberhentian Tidak Dengan Hormat 

Sanksi dijatuhkan dalam sidang pelanggaran Kode Etik dan Profesi Polri (KEPP) yang berlangsung dari Selasa (31/12/2024) pukul 11.00 WIB hingga Rabu (1/1/2025) pukul 04.00 WIB.

Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak. [Instagram]
Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak. [Instagram]

"Sidang etik ini melibatkan tiga orang, dengan putusan PTDH untuk Direktur Narkoba," ungkap anggota Kompolnas Muhammad Choirul Anam kepada media di Jakarta.

Selain Direktur Narkoba, sidang juga diikuti oleh seorang kepala unit (kanit) dan kepala subdirektorat (kasubdit). Kanit dijatuhi sanksi pemecatan, meskipun identitasnya tidak diungkap. Sementara itu, putusan untuk kasubdit belum dikeluarkan karena sidang diskors dan akan dilanjutkan Kamis (2/1/2025).

Atas putusan pemecatan terhadap Kombes Donald dan kanit, keduanya telah mengajukan banding. 

Sistemik dan Terorganisir

Secara terpisah, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mendapat informasi, Donald diduga merencanakan praktik lancung itu dalam sebuah rapat terbatas. Pertemuan itu diduga turut dihadiri tiga Kepala Sub Direktorat atau Kasubdit Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. 

"Walaupun di dalam proses pemeriksaan oleh Propam Mabes Polri Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya membantah adanya perintah tersebut," kata Sugeng kepada Suara.com, Selasa (31/12/2024).

Sugeng mengungkap informasi yang diterima IPW, 'Operasi Bersinar DWP' menyasar para pengguna narkoba. Mereka melakukan tes urine secara acak kepada para pengunjung. Setiap pengunjung yang hasil tes urinenya positif lalu ditawarkan 'restorative justice' dengan tarif yang dipatok perkepala sebesar Rp200 juta.

"Mereka menggunakan nama Operasi Bersinar DWP," ungkapnya. 

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso. (Suara.com/Faqih)
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso. (Suara.com/Faqih)

Pemerasan berkedok razia narkoba bukan hal baru. Praktik semacam ini sudah jamak terjadi. Mereka acap kali memanfaatkan 'orang berduit' yang terlibat suatu perkara untuk mencari keuntungan dengan menawarkan penyelesaian perkara lewat restorative justice. 

"Pemecatan adalah sanksi untuk menimbulkan efek jera," ujar Sugeng. 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan menyebut tindakan anggota polisi melakukan tes urine secara acak terhadap penonton festival musik DWP 2024 sebagai bentuk kesewenang-wenangan.

Sebab berdasar aturan tes urine menurutnya hanya dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum. Artinya, tidak bisa dilakukan secara acak tanpa ada kepastian bahwa prosesnya sudah bergulir di ranah penyidikan.

Selain melanggar aturan, tindakan anggota polisi itu juga dinilai melanggar hak atas privasi dan keamanan pribadi seseorang sebagaimana dijamin dalam Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Ketentuan HAM internasional itu menjamin bahwa tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya tanpa alasan-alasan yang sah dan tanpa prosedur yang ditetapkan oleh hukum.

Fadhil menyebut praktik pemerasan ini sebagai permasalahan sistemik di institusi kepolisian. Perlu penyelesaian secara komprehensif dan transparan agar peristiwa serupa tak terus berulang.

Sanksi tegas, kata dia, juga harus diberikan kepada semua pelaku, tidak terbatas hanya pada pelaku di lapangan. Apalagi, dalam struktur Polri yang hierarkis, Fadhil meyakini anggota polisi di lapangan tidak mungkin bertindak tanpa persetujuan atau sepengetahuan atasannya.

"Tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus ini, kami yakin proses yang ada hanya mengkambinghitamkan bawahan sebagai pelaku lapangan saja," tuturnya.

Insentif Ilegal yang Terus Dilanggengkan

Dalam sebuah kertas kebihakan berjudul Potret Penahanan: Minim Bantuan Hukum, Masih Terjadi Penyiksaan, dan Pemerasan, yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) pada 2021 menyebutkan bahwa pemerasan sebagai insentif ilegal bagi aparat penegak hukum hingga kini seolah menjadi kultur yang terus dilanggengkan. 

Berdasarkan data LBHM, 7 persen responden dalam kegiatan penyuluhan dan konsultasi hukum mengaku pernah menjadi korban pemerasan di tingkat kepolisian. Sebagian besar kasus ini terkait perkara narkotika, yang kerap menjadi ruang bagi praktik ilegal ini.

Keluarga korban sering kali terpaksa menyerahkan uang atas dasar alasan biaya selama penahanan. Dalam dokumen tersebut, LHBM menyebut bahwa praktik ini tidak asing, mulai dari tawar-menawar pasal, ancaman hukuman, hingga penawaran fasilitas layak selama masa penahanan.

Perkara narkotika menjadi dominan karena durasi penangkapan dan penahanan yang lebih panjang dibandingkan kasus lainnya. Hal ini mempermudah aparat untuk menawarkan solusi seperti pengurangan hukuman atau pengubahan pasal sebagai bentuk iming-iming.

Namun, janji yang ditawarkan dalam transaksi gelap ini sering tidak terealisasi. Uang yang sudah diserahkan sulit untuk dikembalikan, meninggalkan korban tanpa kepastian.

Di sisi lain, LBHM juga mencatat bahwa proses pelaporan pemerasan juga penuh tantangan. Minimnya informasi terkait mekanisme pengaduan, kurangnya perlindungan terhadap korban, dan ancaman pencemaran nama baik menjadi hambatan utama.

"Butuh keberanian dan dukungan banyak pihak untuk dapat membongkar praktik pemerasan ini," demikian tulis laporan LBHM. 

Perkembangan terkini

Suara.com berusaha menghubungi Kadiv Propam Polri, Irjen Abdul Karim, untuk mengonfirmasi peran Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dalam kasus ini.

Namun, hingga kini, Abdul belum memberikan tanggapan terkait keterlibatan Donald. Ia hanya mengungkap bahwa total anggota yang diduga terlibat mencapai 18 orang.

Ilustrasi polisi. [Unsplash]
Ilustrasi polisi. [Unsplash]

Mereka berasal dari Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran. Selain menahan para anggota, Polri juga menyita uang Rp2,5 miliar yang ditemukan dalam rekening terkait sebagai barang bukti.

Tiga dari 18 anggota, termasuk Donald, telah menjalani sidang etik pada Selasa (31/12/2024). Brigjen Trunoyudo Wisnu dari Divisi Humas Polri menjelaskan bahwa dua anggota lainnya, Malvino dan Y, juga diadili dalam persidangan yang dipantau Kompolnas.

Sidang memutuskan Donald dan Y menerima sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Sidang untuk Malvino akan dilanjutkan pada Kamis (2/1/2025).

Menurut Trunoyudo, tindakan tegas ini menunjukkan komitmen Polri terhadap prosedur hukum yang transparan. Meski begitu, Polri belum merinci peran Donald dalam kasus ini. Donald pun menyatakan akan mengajukan banding atas putusan PTDH tersebut.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai sanksi PTDH terhadap Donald memang pantas, terutama jika terbukti ia yang merencanakan pemerasan berkedok razia narkoba ini.

"Proses pidana juga harus dilakukan," tegasnya.

Senada dengan itu, anggota Kompolnas Yusuf Warsyim mendorong agar semua pihak yang terlibat, termasuk 18 anggota polisi, diproses pidana. 


Terkait

Kumpulan Aksi Kriminalitas Selama Lebaran di Jakarta, Maling Emas hingga Preman Minta Jatah
Senin, 07 April 2025 | 20:14 WIB

Kumpulan Aksi Kriminalitas Selama Lebaran di Jakarta, Maling Emas hingga Preman Minta Jatah

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengatakan, aksi penganiayaan terjadi di Jalan Percetakan Negara II

Kasus Polisi Toyor Jurnalis saat Kawal Kapolri, Ipda E Akhirnya Minta Maaf: Saya Menyesal
Senin, 07 April 2025 | 07:27 WIB

Kasus Polisi Toyor Jurnalis saat Kawal Kapolri, Ipda E Akhirnya Minta Maaf: Saya Menyesal

"Saya menyesal dan menyampaikan permohonan maaf kepada rekan-rekan media atas kejadian di Stasiun Tawang."

Kasus Jurnalis Sulawesi Tewas di Jakbar, Polisi Temukan Bukti Obat
Minggu, 06 April 2025 | 21:23 WIB

Kasus Jurnalis Sulawesi Tewas di Jakbar, Polisi Temukan Bukti Obat

Pihak kepolisian menemukan sejumlah bukti berupa obat di tempat kejadian perkara (TKP) kasus jurnalis asal Palu yang ditemukan tewas di Jakarta Barat.

Terbaru
Review Pabrik Gula: Upgrade KKN di Desa Penari yang Melebihi Ekspektasi
nonfiksi

Review Pabrik Gula: Upgrade KKN di Desa Penari yang Melebihi Ekspektasi

Sabtu, 05 April 2025 | 09:51 WIB

Pastikan kamu memilih versi yang sesuai dengan usia agar bisa menikmati pengalaman menonton yang maksimal.

Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba polemik

Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba

Minggu, 30 Maret 2025 | 21:45 WIB

Harapan untuk Timnas Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2026 masih ada. Patrick Kluivert diminta untuk tidak coba-coba formasi demi hasil maksimal.

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu polemik

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu

Sabtu, 29 Maret 2025 | 11:06 WIB

Apa yang menjadi tuntutan VISI dan AKSI untuk segera diselesaikan melalui Revisi UU Hak Cipta?

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL polemik

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL

Jum'at, 28 Maret 2025 | 22:56 WIB

Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers! polemik

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers!

Jum'at, 28 Maret 2025 | 14:21 WIB

Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi? polemik

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi?

Jum'at, 28 Maret 2025 | 08:26 WIB

Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah polemik

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah

Kamis, 27 Maret 2025 | 17:41 WIB

Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.