Suara.com - Kasus pemerasan yang melibatkan anggota polisi terhadap 45 warga Malaysia di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 memasuki babak baru. Nama Kombes Donald P. Simanjuntak, Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya ikut terseret.
Lulusan Akpol 1997 tersebut dikaitkan dengan perencanaan operasi yang disebut "Operasi Bersinar DWP," yang diduga hanya kedok untuk aksi pemerasan. Terbaru, sidang etik terhadap tiga polisi yang diduga terlibat kasus pemerasan warga negara Malaysia di konser Djakarta Warehouse Project (DWP) menghasilkan vonis Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap dua dari tiga pelaku.
Donald Parlaungan Simanjuntak jadi salah satu nama yang mendapatkan vonis Pemberhentian Tidak Dengan Hormat
Sanksi dijatuhkan dalam sidang pelanggaran Kode Etik dan Profesi Polri (KEPP) yang berlangsung dari Selasa (31/12/2024) pukul 11.00 WIB hingga Rabu (1/1/2025) pukul 04.00 WIB.
"Sidang etik ini melibatkan tiga orang, dengan putusan PTDH untuk Direktur Narkoba," ungkap anggota Kompolnas Muhammad Choirul Anam kepada media di Jakarta.
Selain Direktur Narkoba, sidang juga diikuti oleh seorang kepala unit (kanit) dan kepala subdirektorat (kasubdit). Kanit dijatuhi sanksi pemecatan, meskipun identitasnya tidak diungkap. Sementara itu, putusan untuk kasubdit belum dikeluarkan karena sidang diskors dan akan dilanjutkan Kamis (2/1/2025).
Atas putusan pemecatan terhadap Kombes Donald dan kanit, keduanya telah mengajukan banding.
Sistemik dan Terorganisir
Secara terpisah, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mendapat informasi, Donald diduga merencanakan praktik lancung itu dalam sebuah rapat terbatas. Pertemuan itu diduga turut dihadiri tiga Kepala Sub Direktorat atau Kasubdit Reserse Narkoba Polda Metro Jaya.
"Walaupun di dalam proses pemeriksaan oleh Propam Mabes Polri Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya membantah adanya perintah tersebut," kata Sugeng kepada Suara.com, Selasa (31/12/2024).
Sugeng mengungkap informasi yang diterima IPW, 'Operasi Bersinar DWP' menyasar para pengguna narkoba. Mereka melakukan tes urine secara acak kepada para pengunjung. Setiap pengunjung yang hasil tes urinenya positif lalu ditawarkan 'restorative justice' dengan tarif yang dipatok perkepala sebesar Rp200 juta.
"Mereka menggunakan nama Operasi Bersinar DWP," ungkapnya.
Pemerasan berkedok razia narkoba bukan hal baru. Praktik semacam ini sudah jamak terjadi. Mereka acap kali memanfaatkan 'orang berduit' yang terlibat suatu perkara untuk mencari keuntungan dengan menawarkan penyelesaian perkara lewat restorative justice.
"Pemecatan adalah sanksi untuk menimbulkan efek jera," ujar Sugeng.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan menyebut tindakan anggota polisi melakukan tes urine secara acak terhadap penonton festival musik DWP 2024 sebagai bentuk kesewenang-wenangan.
Sebab berdasar aturan tes urine menurutnya hanya dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum. Artinya, tidak bisa dilakukan secara acak tanpa ada kepastian bahwa prosesnya sudah bergulir di ranah penyidikan.
Selain melanggar aturan, tindakan anggota polisi itu juga dinilai melanggar hak atas privasi dan keamanan pribadi seseorang sebagaimana dijamin dalam Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Ketentuan HAM internasional itu menjamin bahwa tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya tanpa alasan-alasan yang sah dan tanpa prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
Fadhil menyebut praktik pemerasan ini sebagai permasalahan sistemik di institusi kepolisian. Perlu penyelesaian secara komprehensif dan transparan agar peristiwa serupa tak terus berulang.
Sanksi tegas, kata dia, juga harus diberikan kepada semua pelaku, tidak terbatas hanya pada pelaku di lapangan. Apalagi, dalam struktur Polri yang hierarkis, Fadhil meyakini anggota polisi di lapangan tidak mungkin bertindak tanpa persetujuan atau sepengetahuan atasannya.
"Tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus ini, kami yakin proses yang ada hanya mengkambinghitamkan bawahan sebagai pelaku lapangan saja," tuturnya.
Insentif Ilegal yang Terus Dilanggengkan
Dalam sebuah kertas kebihakan berjudul Potret Penahanan: Minim Bantuan Hukum, Masih Terjadi Penyiksaan, dan Pemerasan, yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) pada 2021 menyebutkan bahwa pemerasan sebagai insentif ilegal bagi aparat penegak hukum hingga kini seolah menjadi kultur yang terus dilanggengkan.
Berdasarkan data LBHM, 7 persen responden dalam kegiatan penyuluhan dan konsultasi hukum mengaku pernah menjadi korban pemerasan di tingkat kepolisian. Sebagian besar kasus ini terkait perkara narkotika, yang kerap menjadi ruang bagi praktik ilegal ini.
Keluarga korban sering kali terpaksa menyerahkan uang atas dasar alasan biaya selama penahanan. Dalam dokumen tersebut, LHBM menyebut bahwa praktik ini tidak asing, mulai dari tawar-menawar pasal, ancaman hukuman, hingga penawaran fasilitas layak selama masa penahanan.
Perkara narkotika menjadi dominan karena durasi penangkapan dan penahanan yang lebih panjang dibandingkan kasus lainnya. Hal ini mempermudah aparat untuk menawarkan solusi seperti pengurangan hukuman atau pengubahan pasal sebagai bentuk iming-iming.
Namun, janji yang ditawarkan dalam transaksi gelap ini sering tidak terealisasi. Uang yang sudah diserahkan sulit untuk dikembalikan, meninggalkan korban tanpa kepastian.
Di sisi lain, LBHM juga mencatat bahwa proses pelaporan pemerasan juga penuh tantangan. Minimnya informasi terkait mekanisme pengaduan, kurangnya perlindungan terhadap korban, dan ancaman pencemaran nama baik menjadi hambatan utama.
"Butuh keberanian dan dukungan banyak pihak untuk dapat membongkar praktik pemerasan ini," demikian tulis laporan LBHM.
Perkembangan terkini
Suara.com berusaha menghubungi Kadiv Propam Polri, Irjen Abdul Karim, untuk mengonfirmasi peran Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dalam kasus ini.
Namun, hingga kini, Abdul belum memberikan tanggapan terkait keterlibatan Donald. Ia hanya mengungkap bahwa total anggota yang diduga terlibat mencapai 18 orang.
Mereka berasal dari Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran. Selain menahan para anggota, Polri juga menyita uang Rp2,5 miliar yang ditemukan dalam rekening terkait sebagai barang bukti.
Tiga dari 18 anggota, termasuk Donald, telah menjalani sidang etik pada Selasa (31/12/2024). Brigjen Trunoyudo Wisnu dari Divisi Humas Polri menjelaskan bahwa dua anggota lainnya, Malvino dan Y, juga diadili dalam persidangan yang dipantau Kompolnas.
Sidang memutuskan Donald dan Y menerima sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Sidang untuk Malvino akan dilanjutkan pada Kamis (2/1/2025).
Menurut Trunoyudo, tindakan tegas ini menunjukkan komitmen Polri terhadap prosedur hukum yang transparan. Meski begitu, Polri belum merinci peran Donald dalam kasus ini. Donald pun menyatakan akan mengajukan banding atas putusan PTDH tersebut.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai sanksi PTDH terhadap Donald memang pantas, terutama jika terbukti ia yang merencanakan pemerasan berkedok razia narkoba ini.
"Proses pidana juga harus dilakukan," tegasnya.
Senada dengan itu, anggota Kompolnas Yusuf Warsyim mendorong agar semua pihak yang terlibat, termasuk 18 anggota polisi, diproses pidana.
Bahkan, Prabowo juga tak segan memerintah kepala daerah, TNI, dan Polri menjaga perkebunan sawit.
Kekerasan di lingkungan pendidikan terjadi di seluruh provinsi Indonesia.
KPK mendakwa Hasto dengan dua pasal: suap dan perintangan penyidikan. Ia diduga mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan tidak sesuai fakta.
anggota polisi yang terlibat kasus pemerasan ini berpotensi diproses secara pidana
Pameran bertema "Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan" ini rencananya berlangsung pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025.
Potensi semakin suburnya tindak pidana korupsi akan turut berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Edi ziarah ke makam tanpa nisan untuk mengenang 20 tahun peristiwa gempa dan tsunami Aceh.