Suara.com - Empat puluh lima warga negara (WN) Malaysia menjadi korban pemerasan polisi saat menghadiri acara festival musik Djakarta Warehouse Project atau DWP 2024 di Jakarta. Belasan anggota polisi telah dicopot dari jabatannya dan terancam sanksi pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH. Namun para penggiat anti korupsi menilai sanksi etik saja tidak cukup, mereka menuntut agar pelaku dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi atau Tipikor.
AMIR Mansor (29), bersama teman-temannya sengaja terbang dari Negeri Jiran, tempatnya tinggal, ke Indonesia, untuk menghadiri acara DWP 2024 di Jakarta International Expo atau JIExpo pada 13-15 Desember 2024.
Amir adalah penikmat musik rave. Dia sudah biasa mengikuti festival musik elektronik terbesar di Asia itu. Pada tahun 2023 lalu, Amir juga menyaksikan DWP di Bali. Pengalaman menyenangkan itu membuatnya ingin kembali mengulang di DWP 2024.
Sayang harapannya tak sesuai kenyataan. Dikutip dari BBC News Indonesia, Amir bersama delapan temannya didatangi sejumlah anggota Polri berpakaian preman di saat hendak pulang ke hotel di malam pertama usai menghadiri acara DWP 2024 di JIExpo. Polisi-polisi itu menggeladah isi dompet dan barang-barang yang mereka bawa.
Anehnya walau tak ditemukan barang bukti narkoba, Amir dkk tetap digelandang ke Polda Metro Jaya. Di sana, mereka dites urine. Polisi melarang mereka menghubungi pengacara dan Kedutaan Besar Malaysia.
"Mereka cuma mengizinkan kami menghubungi keluarga kami, tapi mereka memonitor komunikasi kami, lalu menyita kembali ponsel kami," kata Amir.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan menyebut polisi melakukan penyalahgunaan wewenang melakukan tes urine terhadap Amir cs. Berdasar aturan, menurut dia, tes urine hanya dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum.
Artinya, tidak bisa dilakukan secara acak tanpa ada kepastian bahwa prosesnya sudah bergulir di ranah penyidikan. Apa yang dilakukan anggota polisi terhadap Amir dan teman-temannya, menurut Fadhil merupakan bentuk kesewenang-wenangan.
Selain melanggar aturan, tindakan anggota polisi itu melanggar hak atas privasi dan keamanan pribadi seseorang sebagaimana dijamin dalam Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Dalam ketentuan HAM internasional itu, kata Fadhil, menjamin bahwa tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya tanpa alasan-alasan yang sah dan tanpa prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
"Terlebih, dalam kejadian ini, terdapat tindakan pemerasan oleh polisi terhadap pengunjung yang urinenya dinyatakan positif. Hal ini semakin memperjelas kesewenang-wenangan dan perilaku koruptif polisi," jelas Fadhil kepada Suara.com, Senin (30/12/2024).
Amir dan delapan orang temannya diketahui sempat dimintai sejumlah uang sebagai syarat untuk bebas sekalipun hasil tes urine dari beberapa temannya negatif. Menurut pengakuan Amir, nominal uang yang diminta mencapai Rp800 juta. Namun, setelah bernegosiasi akhirnya mereka hanya membayar sebesar RM100.000 atau sekitar Rp360 juta.
Amir sempat menunjukkan beberapa bukti transfer ke rekening seseorang berinisial MAB. Ia menyebut MAB merupakan seorang pengacara yang ditujuk polisi untuk mendampingi mereka. Selain MAB ada satu pengacara lain berinisial AT.
Setelah menyerahkan uang, Amir dan teman-temannya lalu dibebaskan pada Minggu, 15 Desember 2024. Ia telah melaporkan kejadian ini ke Mabes Polri melalui surat elektronik.
Diproses Etik
Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim menyebut total warga negara Malaysia yang menjadi korban pemerasan mencapai 45 orang. Namun ia membantah kabar terkait nominal uang hasil pemerasan yang sempat disebut-sebut mencapai Rp32 miliar.
Berdasar hasil penyelidikan, uang diduga hasil pemerasan itu sebesar Rp2,5 miliar. Uang tersebut diklaim telah disita sebagai barang bukti. Sedangkan total anggota yang terlibat mencapai 18 orang. Mereka merupakan anggota Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat atau Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menyampaikan, 18 anggota itu telah dicopot dari jabatannya. Mereka juga ditahan di tempat khusus atau patsus dalam rangka pemeriksaan. Sidang etik terhadap anggota bermasalah ini telah dijadwalkan digelar pekan ini.
"Semuanya masih berproses secara berkesinambungan dan transparan bersama eksternal dari Kompolnas," kata Trunoyudo saat dikonfirmasi, Senin (30/12/2024).
Berdasar data yang sempat beredar 12 dari 18 anggota polisi yang diduga melakukan pemerasan adalah AKBP MV, Kompol J, Kompol DF, AKP YTS, Iptu SM, Iptu S, Aiptu AJ, Brigadir DW, Brigadir FR, Bripka WT, Bripka RP dan Briptu D. AKBP MV diketahui merupakan Kasubdit III Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Sementara Kompol J merupakan Kasat Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat.
Menurut Fadhil Polri perlu bersikap transparan dalam menangani perkara ini. Termasuk mengungkap identitas para pelaku yang terlibat. Selain memproses mereka secara etik, ia juga mendorong agar para pelaku diproses pidana.
Pasalnya, kata Fadhil, Polri acap kali mengesampingkan proses pidana terhadap anggotanya yang bermasalah. Berdasar catatan LBH Jakarta di sepanjang tahun 2013-2022, terdapat 58 kasus kekerasan yang dilakukan anggota polisi tidak diproses secara etik dan pidana.
"Dengan kondisi demikian, menjadi wajar apabila publik mencurigai bahwa proses terhadap 18 personel ini hanya berada pada level pelaku lapangan dan tidak menyentuh pelaku di level pengambil keputusan," ujarnya.
Dijerat UU Tipikor
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Muhammad Choirul Anam menyebut anggota polisi yang terlibat kasus pemerasan ini berpotensi diproses secara pidana. Bahkan, Anam mengakui secara kasat mata unsur pidananya itu sudah nampak terlihat. Menurut Anam, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga memiliki komitmen untuk menindak tegas setiap anggota yang bermasalah.
"Termasuk kasus tersebut. Karena secara kasat mata, secara sederhana potensi pidananya ada," ungkap Anam kepada Suara.com, Senin (30/12/2024).
Merujuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, anggota polisi yang terlibat kasus pemerasan sebenarnya bisa dijerat dengan Pasal 12 huruf e.
Dalam pasal tersebut dijelaskan, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro mengatakan penggunaan Undang-Undang Tipikor lebih tepat digunakan kepada anggota polisi yang melakukan pemerasan daripada menggunakan pasal pemerasan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
"Polisi adalah penyelenggara negara maka bisa dikenakan delik dalam Undang-Undang Tipikor," jelas Castro kepada Suara.com, Senin (30/12/2024).
Proses pidana terhadap anggota yang terbukti melakukan pemerasan ini, kata Castro, tidak boleh dikesampingkan. Sekalipun para pelaku sudah diproses etik, proses pidana terhadap mereka tetap harus dilakukan untuk memberikan efek jera.
"Kalau perkara tindak pidananya tidak diusut itu tidak akan mungkin memberikan efek jera dan polisi pasti dianggap melindungi bawahannya, ini pasti akan memberikan preseden yang buruk ke depannya," tuturnya.
Senada dengan Castro, peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi atau PUKAT dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menilai proses pidana terhadap anggota yang terlibat pemerasan ini semestinya harus diproses sejak awal. Sebab tak ada aturan atau alasan bahwa proses pidana terhadap anggota polisi itu harus dilakukan setelah adanya putusan sidang etik.
Karena itu, Zaenur mendorong kasus pidana ini segera diproses Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Kortas Tipikor Polri yang baru saja dibentuk Kapolri.
"Ini bisa menjadi ajang pembuktian bagi Kortas Tipitkor untuk melakukan penanganan korupsi di tubuh internal Polri itu sendiri," pungkas Zaenur kepada Suara.com, Senin (30/12/2024).
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengatakan, aksi penganiayaan terjadi di Jalan Percetakan Negara II
Kamera AI untuk pelanggar lalu lintas
Tewas di Kamar Hotel, Polisi Ungkap Penyebab Jasad Jurnalis Asal Palu Memar hingga Bibir Lecet
Revisi UU Polri berpotensi menjadikan kepolisian sebagai lembaga tanpa kontrol eksternal yang efektif, meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan.
Pastikan kamu memilih versi yang sesuai dengan usia agar bisa menikmati pengalaman menonton yang maksimal.
Harapan untuk Timnas Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2026 masih ada. Patrick Kluivert diminta untuk tidak coba-coba formasi demi hasil maksimal.
Apa yang menjadi tuntutan VISI dan AKSI untuk segera diselesaikan melalui Revisi UU Hak Cipta?
Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.
Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.
Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.
Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.