Kedaulatan Pangan: Hal yang Luput Dibicarakan dari Polemik Pembredelan Pameran Lukisan Yos Suprapto
Home > Detail

Kedaulatan Pangan: Hal yang Luput Dibicarakan dari Polemik Pembredelan Pameran Lukisan Yos Suprapto

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Senin, 30 Desember 2024 | 11:20 WIB

Suara.com - Pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional, Jakarta, resmi dibatalkan. Tidak ada kesepakatan antara Yos, kurator, dan pihak Galeri Nasional.

Pameran bertema "Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan" ini rencananya berlangsung pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025. Namun, karya Yos menuai kontroversi karena dinilai vulgar. Lukisan-lukisannya dianggap menampilkan ketelanjangan, caci maki, dan dianggap kehilangan metafora.

Penilaian tersebut disampaikan oleh kurator, Suwarno Wisetrotomo, dan kemudian diperkuat oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.

Yos menolak tudingan itu. Ia menjelaskan, ketelanjangan dalam seni adalah simbol kepolosan dan kejujuran. 

"Manusia lahir telanjang, tanpa busana," tegasnya.

Petugas menurunkan lukisan karya seniman Yos Suprapto di Galeri Nasional, Jakarta, Senin (23/12/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Petugas menurunkan lukisan karya seniman Yos Suprapto di Galeri Nasional, Jakarta, Senin (23/12/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Menurut Yos, cara pandang seseorang menentukan makna karya seni. Ia mengutip Pablo Picasso: "The beauty is in the eye of the beholder," yang berarti keindahan bergantung pada siapa yang melihatnya.

Meski dibatalkan, perdebatan ini memicu diskusi lebih luas tentang seni, kebebasan berekspresi, dan tafsir estetika.

"Itu tadi kalau kita melihatnya dengan kacamata  mesum, apa yang terjadi? Nah, ini seperti dikatakan oleh Menteri Kebudayaan tadi. Itu ada orang bersenggama. Di dalam otaknya yang dilihatnya itu," kata Yos di Kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu (21/12/2024) lalu.

Pembatalan pameran Yos Suprapto justru membuat karya-karyanya tersebar luas di media sosial dan pemberitaan. Namun, menurut seniman Yogyakarta, Iwan Wijono, perdebatan publik hanya berfokus pada aspek vulgar atau tidaknya karya tersebut.

Iwan menilai, seharusnya perdebatan mengarah pada persoalan pangan di Indonesia. Masalah utama adalah keterputusan manusia dengan alam, yang jarang menjadi sorotan.

Ia juga menyoroti bagaimana alam dikuasai oleh pebisnis dan pemerintah. Kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil turut memberangus keberlanjutan pertanian.

“kedaulatan pangan sendiri tidak terbahas secara utuh di perdebatan  pemberangusan. Itu-kan tidak dibahas. Sampai sekarang pun tidak dibahas. Yang dibahas soal vulgar atau tidak vulgar," kata Iwan saat dihubungi Suara.com.

Kekuasaan dan Lahan 

Sebelum pameran dibatalkan, dua karya Yos Suprapto, Konoha I dan Konoha II, awalnya dilarang dipamerkan atas permintaan kurator, Suwarno Wisetrotomo. Larangan itu kemudian meluas hingga mencakup tiga karya lainnya: Niscaya, Makan Malam, dan 2019.

Menurut Yos, kelima lukisan tersebut adalah hasil penelitian selama 15 tahun tentang persoalan pangan di Indonesia. Ia menekankan bahwa lahan pertanian, sebagai sumber pangan, tidak terpisahkan dari kekuasaan.

Salah satu karyanya, Konoha II, menampilkan kritik tajam terhadap kekuasaan. Lukisan itu menggambarkan seorang Raja Jawa dan perempuan telanjang menikmati buah-buahan serta wine. 

Di bawah sang raja, sejumlah manusia saling menjilat, simbol pengikut setia. Di sisi lain, petani digambarkan berteriak sambil mengacungkan arit dan parang. Tak jauh dari mereka, tikus-tikus berkumpul di bawah sajian mewah sang raja.

Karya ini menyindir tajam relasi kekuasaan, eksploitasi, dan keterpinggiran petani.

Penampakan lukisan karya seniman Yos Suprapto yang batal dipamerkan di Galeri Nasional. (Suara.com/Fakhri)
Penampakan lukisan karya seniman Yos Suprapto yang batal dipamerkan di Galeri Nasional. (Suara.com/Fakhri)

"Lihatlah yang di samping itu apa? Di samping itu ada orang mengendap. Mereka makan remah-remahnya saja. Sementara yang di sampingnya, lihatlah? Di bawahnya itu apa? Ada rakyat kecil yang berteriak-teriak, tapi tidak gubris. Mereka tetap jilat pantat untuk mencapai tujuan," jelas Yos.

Sementara, lukisan Konoha I menggambarkan kekuasaan raja yang berdiri di atas penderitaan rakyat kecil. Sosok raja itu dianggap sejumlah pihak menyerupai Presiden Joko Widodo. Dalam karya tersebut, Yos Suprapto melukiskan seorang raja yang menginjak manusia, dikawal oleh orang-orang bersenjata berseragam hijau dan coklat.

Menurut Yos, penguasa hidup dari rakyat kecil melalui pajak. Kekuasaan, katanya, terkait langsung dengan hilangnya ketahanan pangan karena berakar pada penguasaan lahan rakyat.

Seniman Bambang Adyatmata alias Yayak Yatmaka menegaskan bahwa kekuasaan dan pangan tidak bisa dipisahkan. Yayak, yang pernah ditangkap saat konflik agraria di Desa Wadas, menyebut bahwa tema karya Yos relevan dengan kegagalan pemerintahan Jokowi, khususnya dalam proyek food estate.

Menurut WALHI, pada Oktober 2024, food estate adalah warisan buruk era Jokowi. Proyek Strategis Nasional ini menyebabkan penggusuran paksa, kriminalisasi petani, perusakan lingkungan, dan perampasan lahan. Akibatnya, 15.000 hektare lahan di Sumatra dan 10.000 hektare di Papua dialihfungsikan secara paksa sejak 2022, membuat 3.000 keluarga kehilangan lahan garapan.

Bagi Yayak, simbol-simbol dalam karya Yos mencerminkan kegagalan ketahanan pangan di era Jokowi. Ia menilai tidak relevan jika tema pameran yang mengangkat kedaulatan pangan disampaikan dengan cara yang santun dan indah. 

"Pelukis adalah pencatat peradaban," tegas Yayak, menyoroti pentingnya seni sebagai kritik atas zaman.

"Caci maki itu kan penilaian. Jadi sebetulnya kata sopan santun itu yang mesti dicurigai. Untuk kepentingan siapa?" Kata Yayak saat dihubungi Suara.com.

Kritik Pengelolaan Tanah oleh Negara

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid (Instagram)
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid (Instagram)

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid punya penilaian sendiri. Menurutnya, karya Yos, lebih dari soal keindahan, tapi juga bentuk kritik. Ia adalah kritik terhadap kebijakan negara dalam mengelola tanah untuk masyarakat. Karya Yos ialah juga kritik terhadap negara yang tidak beretika dalam mengelola tanah untuk masyarakat.

"Sehingga masyarakat tidak punya kedaulatan atas tanahnya itu. Nah, sampai di titik itu saya bisa mengerti kenapa ada yang resah dari unsur kekuasaan itu," kata Usman beberapa waktu lalu.

Usman mengutip pernyataan pelapor khusus PBB, Hilal Elver soal kebijakan pangan di Indonesia yang dinilai cenderung monolitik, hanya berfokus pada beras. Kecenderungan itu  yang dianggap Usman yang berdampak terhadap banyaknya kasus penggusuran tanah masyarakat.

Dia mencontohkan proyek Merauke Food Estate yang berpotensi membabat hingga 4 juta hektare lahan di Papua Selatan untuk pembangunan area pertanian, termasuk untuk gula tebu dan sawah.

Atas nama pembangunan yang tidak memperhatikan hak hidup masyarakat, menurutnya tergambar dari konflik agraria yang terjadi di beberapa wilayah seperti Wadas, Banyuwangi, Lombok, Rempang, hingga Sulawesi. Atas sejumlah hal itulah, Usman menilai, karya-karya Yos yang gagal dipamerkan, merupakan rangkain persoalan pangan yang diterjemahkan dalam bentuk seni lukis.

"Ini menjadi suara bagi masyarakat yang hak-haknya terpinggirkan oleh pembangunan yang lapar tanah dan tidak ramah lingkungan," kata Usman.


Terkait

Kurator Galnas Ungkap Pameran Yos Suprapto di Galnas Berkali-kali Ditunda Sejak 2023
Jum'at, 27 Desember 2024 | 18:59 WIB

Kurator Galnas Ungkap Pameran Yos Suprapto di Galnas Berkali-kali Ditunda Sejak 2023

Sejak awal rencana pameran tersebut, Suwarno memang ditunjuk oleh Galnas juga Yos Suprapto untuk menjadi kuratornya.

Polemik Pameran Yos Suprapto di Galnas, Suwarno Wisetrotomo Ungkap Kejanggalan Seleksi Pameran
Jum'at, 27 Desember 2024 | 18:48 WIB

Polemik Pameran Yos Suprapto di Galnas, Suwarno Wisetrotomo Ungkap Kejanggalan Seleksi Pameran

Suwarno mengaku kalau dirinya langsung diminta oleh pihak Galnas dan Yos Suprapto sendiri untuk menjadi kurator.

Negara dan Seni: Dari Lagu Hati yang Luka hingga Pameran Lukisan Yos Suprapto
Jum'at, 27 Desember 2024 | 09:02 WIB

Negara dan Seni: Dari Lagu Hati yang Luka hingga Pameran Lukisan Yos Suprapto

Gagalnya pameran lukisan Yos Suprapto membawa kita kembali pada kasus pelarangan lagu Hati Yang Luka oleh Harmoko. Hal ini menunjukkan bahwa negara juga memantau karya seni.

Terbaru
80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror
polemik

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror

Minggu, 17 Agustus 2025 | 15:38 WIB

Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, jurnalis masih menghadapi intimidasi, teror, hingga kekerasan.

Review Jujur Merah Putih One for All: Film yang Seharusnya Tidak Dibuat polemik

Review Jujur Merah Putih One for All: Film yang Seharusnya Tidak Dibuat

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 11:46 WIB

Efek suaranya minim, mixing audionya berantakan, dan dubbing-nya seperti orang membaca teks sambil menunggu pesanan makanan datang.

Review Weapons, Horor Intelektual yang Mengguncang Pikiran nonfiksi

Review Weapons, Horor Intelektual yang Mengguncang Pikiran

Sabtu, 09 Agustus 2025 | 09:05 WIB

Weapons adalah film horor yang berani, cerdas, dan penuh emosi.

Rumah Hantu Jenderal Dudung: Gaji Prajurit Dikuliti, Sengkarut Dana Setengah Triliun Rupiah nonfiksi

Rumah Hantu Jenderal Dudung: Gaji Prajurit Dikuliti, Sengkarut Dana Setengah Triliun Rupiah

Senin, 04 Agustus 2025 | 18:10 WIB

Di balik derita para prajurit, terbentang sebuah skandal besar yang berpusat pada program ambisius era KSAD Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman.

Review Film Ghost Train, Cari Hantu demi Konten Berujung Petaka nonfiksi

Review Film Ghost Train, Cari Hantu demi Konten Berujung Petaka

Sabtu, 02 Agustus 2025 | 09:15 WIB

Seperti apa sebuah kereta menghantui para penumpang di Korea? Jawabannya ada di film Ghost Train.

Review A Normal Woman, Saat Kecantikan Tak Mampu Bikin Hidup jadi Sempurna nonfiksi

Review A Normal Woman, Saat Kecantikan Tak Mampu Bikin Hidup jadi Sempurna

Sabtu, 26 Juli 2025 | 09:05 WIB

Film A Normal Woman ketolong akting Marissa Anita yang ciamik!

Review Film I Know What You Did Last Summer, Nostalgia Berdarah yang Gagal Menyala nonfiksi

Review Film I Know What You Did Last Summer, Nostalgia Berdarah yang Gagal Menyala

Minggu, 20 Juli 2025 | 14:14 WIB

Awalnya film ini menjanjikan. Opening scene cukup solid dengan karakter yang tampaknya menarik.