Suara.com - Pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional, Jakarta, resmi dibatalkan. Tidak ada kesepakatan antara Yos, kurator, dan pihak Galeri Nasional.
Pameran bertema "Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan" ini rencananya berlangsung pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025. Namun, karya Yos menuai kontroversi karena dinilai vulgar. Lukisan-lukisannya dianggap menampilkan ketelanjangan, caci maki, dan dianggap kehilangan metafora.
Penilaian tersebut disampaikan oleh kurator, Suwarno Wisetrotomo, dan kemudian diperkuat oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.
Yos menolak tudingan itu. Ia menjelaskan, ketelanjangan dalam seni adalah simbol kepolosan dan kejujuran.
"Manusia lahir telanjang, tanpa busana," tegasnya.
Menurut Yos, cara pandang seseorang menentukan makna karya seni. Ia mengutip Pablo Picasso: "The beauty is in the eye of the beholder," yang berarti keindahan bergantung pada siapa yang melihatnya.
Meski dibatalkan, perdebatan ini memicu diskusi lebih luas tentang seni, kebebasan berekspresi, dan tafsir estetika.
"Itu tadi kalau kita melihatnya dengan kacamata mesum, apa yang terjadi? Nah, ini seperti dikatakan oleh Menteri Kebudayaan tadi. Itu ada orang bersenggama. Di dalam otaknya yang dilihatnya itu," kata Yos di Kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu (21/12/2024) lalu.
Pembatalan pameran Yos Suprapto justru membuat karya-karyanya tersebar luas di media sosial dan pemberitaan. Namun, menurut seniman Yogyakarta, Iwan Wijono, perdebatan publik hanya berfokus pada aspek vulgar atau tidaknya karya tersebut.
Iwan menilai, seharusnya perdebatan mengarah pada persoalan pangan di Indonesia. Masalah utama adalah keterputusan manusia dengan alam, yang jarang menjadi sorotan.
Ia juga menyoroti bagaimana alam dikuasai oleh pebisnis dan pemerintah. Kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil turut memberangus keberlanjutan pertanian.
“kedaulatan pangan sendiri tidak terbahas secara utuh di perdebatan pemberangusan. Itu-kan tidak dibahas. Sampai sekarang pun tidak dibahas. Yang dibahas soal vulgar atau tidak vulgar," kata Iwan saat dihubungi Suara.com.
Kekuasaan dan Lahan
Sebelum pameran dibatalkan, dua karya Yos Suprapto, Konoha I dan Konoha II, awalnya dilarang dipamerkan atas permintaan kurator, Suwarno Wisetrotomo. Larangan itu kemudian meluas hingga mencakup tiga karya lainnya: Niscaya, Makan Malam, dan 2019.
Menurut Yos, kelima lukisan tersebut adalah hasil penelitian selama 15 tahun tentang persoalan pangan di Indonesia. Ia menekankan bahwa lahan pertanian, sebagai sumber pangan, tidak terpisahkan dari kekuasaan.
Salah satu karyanya, Konoha II, menampilkan kritik tajam terhadap kekuasaan. Lukisan itu menggambarkan seorang Raja Jawa dan perempuan telanjang menikmati buah-buahan serta wine.
Di bawah sang raja, sejumlah manusia saling menjilat, simbol pengikut setia. Di sisi lain, petani digambarkan berteriak sambil mengacungkan arit dan parang. Tak jauh dari mereka, tikus-tikus berkumpul di bawah sajian mewah sang raja.
Karya ini menyindir tajam relasi kekuasaan, eksploitasi, dan keterpinggiran petani.
"Lihatlah yang di samping itu apa? Di samping itu ada orang mengendap. Mereka makan remah-remahnya saja. Sementara yang di sampingnya, lihatlah? Di bawahnya itu apa? Ada rakyat kecil yang berteriak-teriak, tapi tidak gubris. Mereka tetap jilat pantat untuk mencapai tujuan," jelas Yos.
Sementara, lukisan Konoha I menggambarkan kekuasaan raja yang berdiri di atas penderitaan rakyat kecil. Sosok raja itu dianggap sejumlah pihak menyerupai Presiden Joko Widodo. Dalam karya tersebut, Yos Suprapto melukiskan seorang raja yang menginjak manusia, dikawal oleh orang-orang bersenjata berseragam hijau dan coklat.
Menurut Yos, penguasa hidup dari rakyat kecil melalui pajak. Kekuasaan, katanya, terkait langsung dengan hilangnya ketahanan pangan karena berakar pada penguasaan lahan rakyat.
Seniman Bambang Adyatmata alias Yayak Yatmaka menegaskan bahwa kekuasaan dan pangan tidak bisa dipisahkan. Yayak, yang pernah ditangkap saat konflik agraria di Desa Wadas, menyebut bahwa tema karya Yos relevan dengan kegagalan pemerintahan Jokowi, khususnya dalam proyek food estate.
Menurut WALHI, pada Oktober 2024, food estate adalah warisan buruk era Jokowi. Proyek Strategis Nasional ini menyebabkan penggusuran paksa, kriminalisasi petani, perusakan lingkungan, dan perampasan lahan. Akibatnya, 15.000 hektare lahan di Sumatra dan 10.000 hektare di Papua dialihfungsikan secara paksa sejak 2022, membuat 3.000 keluarga kehilangan lahan garapan.
Bagi Yayak, simbol-simbol dalam karya Yos mencerminkan kegagalan ketahanan pangan di era Jokowi. Ia menilai tidak relevan jika tema pameran yang mengangkat kedaulatan pangan disampaikan dengan cara yang santun dan indah.
"Pelukis adalah pencatat peradaban," tegas Yayak, menyoroti pentingnya seni sebagai kritik atas zaman.
"Caci maki itu kan penilaian. Jadi sebetulnya kata sopan santun itu yang mesti dicurigai. Untuk kepentingan siapa?" Kata Yayak saat dihubungi Suara.com.
Kritik Pengelolaan Tanah oleh Negara
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid punya penilaian sendiri. Menurutnya, karya Yos, lebih dari soal keindahan, tapi juga bentuk kritik. Ia adalah kritik terhadap kebijakan negara dalam mengelola tanah untuk masyarakat. Karya Yos ialah juga kritik terhadap negara yang tidak beretika dalam mengelola tanah untuk masyarakat.
"Sehingga masyarakat tidak punya kedaulatan atas tanahnya itu. Nah, sampai di titik itu saya bisa mengerti kenapa ada yang resah dari unsur kekuasaan itu," kata Usman beberapa waktu lalu.
Usman mengutip pernyataan pelapor khusus PBB, Hilal Elver soal kebijakan pangan di Indonesia yang dinilai cenderung monolitik, hanya berfokus pada beras. Kecenderungan itu yang dianggap Usman yang berdampak terhadap banyaknya kasus penggusuran tanah masyarakat.
Dia mencontohkan proyek Merauke Food Estate yang berpotensi membabat hingga 4 juta hektare lahan di Papua Selatan untuk pembangunan area pertanian, termasuk untuk gula tebu dan sawah.
Atas nama pembangunan yang tidak memperhatikan hak hidup masyarakat, menurutnya tergambar dari konflik agraria yang terjadi di beberapa wilayah seperti Wadas, Banyuwangi, Lombok, Rempang, hingga Sulawesi. Atas sejumlah hal itulah, Usman menilai, karya-karya Yos yang gagal dipamerkan, merupakan rangkain persoalan pangan yang diterjemahkan dalam bentuk seni lukis.
"Ini menjadi suara bagi masyarakat yang hak-haknya terpinggirkan oleh pembangunan yang lapar tanah dan tidak ramah lingkungan," kata Usman.
Sejak awal rencana pameran tersebut, Suwarno memang ditunjuk oleh Galnas juga Yos Suprapto untuk menjadi kuratornya.
Suwarno mengaku kalau dirinya langsung diminta oleh pihak Galnas dan Yos Suprapto sendiri untuk menjadi kurator.
Gagalnya pameran lukisan Yos Suprapto membawa kita kembali pada kasus pelarangan lagu Hati Yang Luka oleh Harmoko. Hal ini menunjukkan bahwa negara juga memantau karya seni.
Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.
Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.
Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.
"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.
"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.
"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.
No free lunch. Pasti akan ada yang dikorbankan untuk mendapatkan bantuan tersebut, mulai dari politik hingga sumber daya alam, ungkap Huda.