Suara.com - Pembredelan terhadap pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional, Jakarta, menambah daftar panjang pelanggaran kebebasan berekspresi terhadap seniman. Peristiwa ini menunjukkan kegagalan negara dalam merespons kritik dari warga negara.
Pameran bertema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang dijadwalkan berlangsung pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025, diputuskan ditunda oleh Galeri Nasional. Namun, bagi Yos, keputusan tersebut bukan sekadar penundaan, melainkan pembredelan.
Alasan utama pembredelan ini adalah penilaian bahwa beberapa karya Yos dianggap vulgar dan mengandung caci maki, sehingga dinilai tidak sesuai tema oleh kurator, Suwarno Wisetrotomo. Akibatnya, Yos tidak dapat mengakses karyanya saat pembukaan pameran karena ruang pameran dikunci oleh pihak Galeri Nasional.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam tindakan ini. Mereka menyebut hal itu merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan yang menaungi Galeri Nasional.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak asasi yang dijamin konstitusi. Menurut LBH Jakarta, negara seharusnya melindungi hak ini, bukan justru mengekangnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut menyoroti kasus ini. Komisioner Anis Hidayah menyatakan bahwa pembredelan pameran Yos merupakan bentuk pelanggaran kebebasan berkarya yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang HAM.
Komnas HAM telah mengambil tindakan dengan menyurati Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Direktur Galeri Nasional pada 20 Desember 2024. Surat tersebut meminta klarifikasi terkait pembredelan ini.
Demokrasi Santun?
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, menilai pembredelan terhadap karya Yos Suprapto menunjukkan upaya pembungkaman kebebasan berekspresi telah memasuki ruang-ruang formal. Ia mengaitkan peristiwa ini dengan pidato pertama Presiden Prabowo Subianto yang menekankan demokrasi santun tanpa caci maki.
"Ini berarti demokrasi santun yang dimaksud adalah demokrasi tanpa ekspresi. Tidak ada ruang bagi warga untuk menyuarakan pendapat terhadap pemerintah," ujar Delpedro kepada Suara.com pada Senin (23/12/2024).
Menurutnya, pengalaman Yos mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengelola ekspresi publik untuk perbaikan tata kelola negara. Ia khawatir pelanggaran terhadap hak berekspresi akan semakin sering terjadi di masa mendatang.
Delpedro menegaskan, tidak ada alasan bagi negara untuk melarang pameran Yos. Ia menyebut konsep santun seharusnya berkaitan dengan perilaku halus dan baik. Yos telah menunjukkan hal tersebut melalui karyanya tanpa merusak atau membakar fasilitas negara.
"Orang santun adalah orang yang mengutamakan kepentingan banyak orang di atas kepentingan pribadi, dan apa yang dilakukan Pak Yos mencerminkan hal itu. Ia rela berada dalam situasi yang berisiko untuk menyuarakan pandangannya tentang pangan melalui karya seni lukis," ujarnya.
Delpedro melihat tindakan negara ini sebagai langkah mundur dalam demokrasi dan kebebasan berekspresi. Karya seni seharusnya menjadi medium yang bebas dari pengekangan, terutama jika bertujuan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Ketakutan kepada Seni
Kasus pembungkaman seniman di Indonesia bukanlah hal baru. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Butet Kertaradjasa mengalami hal serupa.
Pada Desember 2023, Butet mengaku diintervensi oleh pihak kepolisian saat hendak menggelar pertunjukan "Musuh Bebuyutan" di Taman Ismail Marzuki. Ia diminta menandatangani surat yang melarangnya menyinggung isu politik.
"Salah satu itemnya berbunyi: saya tidak boleh bicara politik, acara saya tidak boleh untuk kampanye, tidak boleh ada tanda gambar, tidak boleh urusan pemilu," ujar Butet.
Ketakutan pemerintah terhadap karya seni juga terlihat dari fenomena mural. Pada 2021, mural bergambar wajah mirip Jokowi dengan tulisan "404: Not Found" di Tangerang dihapus aparat setelah viral. Mural lain bertuliskan "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Pasuruan, Jawa Timur, bernasib serupa.
Pada 2017, pameran seni bertema "Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa" di Pusat Studi HAM UII Bantul, Yogyakarta, dibubarkan oleh Pemuda Pancasila. Pameran tersebut menampilkan puisi Wiji Thukul dan lukisan-lukisan lain yang dianggap sensitif.
Pelukis Yayak Yatmaka menyebut pelarangan karya seni sebagai praktik anti-kecerdasan. "Itu mental rendah. Mengapa takut kepada gambar?" ungkapnya. Yayak juga pernah mengalami pelarangan.
Pada sebuah pameran di Taman Ismail Marzuki, lukisan-lukisannya yang menggambarkan Munir, Wiji Thukul, dan Marsinah dilarang dipajang. Alasannya, pameran akan dibuka oleh Sutiyoso, mantan gubernur DKI Jakarta sekaligus jenderal TNI purnawirawan.
Pembungkaman seni ini menegaskan pola berulang. Negara dan pihak tertentu seringkali memandang karya seni sebagai ancaman, bukan sebagai ruang refleksi dan kritik.
Permasalahan Kurator dan Seniman
Syakieb Sungkar, kurator sekaligus pelukis, menyampaikan pandangan berbeda. Menurutnya, kasus Yos bukanlah pembredelan, melainkan ketidaksepakatan antara seniman dan kurator.
"Ini bukan dalam level pemerintah melarang suatu pameran," ujarnya.
Syakieb menjelaskan bahwa pameran adalah hasil kesepakatan antara seniman dan kurator, dengan peran masing-masing. Seniman menciptakan karya, sementara kurator memilih, menyusun, dan memberikan tafsir agar pameran dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon juga menolak anggapan pembredelan. Ia menyatakan bahwa kementeriannya mendukung kebebasan berekspresi. Fadli menganggap masalah ini murni persoalan kuratorial.
"Lukisan itu dipasang sendiri oleh senimannya, bukan oleh kurator. Beberapa karya tidak sesuai tema, ada yang bermotif politik, makian, atau bahkan telanjang," kata Fadli.
Sebanyak lima lukisan Yos yang dipermasalahkan meliputi Konoha I, Konoha II, Niscaya, Makan Malam, dan 2019. Konoha I menggambarkan seorang raja mirip Presiden Joko Widodo duduk di singgasana, menginjak punggung rakyat kecil. Penjaga berseragam hijau dan cokelat menenteng senjata di sekelilingnya. Konoha II menampilkan rantai kekuasaan yang didukung penjilat. Para penjilat digambarkan telanjang, menjilat pantat satu sama lain, hingga puncaknya seorang raja menikmati hidangan bersama seseorang yang juga telanjang.
Kedua karya ini awalnya dipermasalahkan oleh Suwarno, kurator pameran, beberapa hari sebelum pameran dibuka. Masalah ini kemudian meluas hingga mencakup tiga lukisan lainnya.
Yos menyebut Suwarno sudah mengunjungi rumahnya tiga kali dan tidak pernah secara spesifik menyebut karyanya vulgar atau penuh makian.
Yos membantah pernyataan Fadli Zon dengan tegas. Baginya, tuduhan vulgar dan tendensius menunjukkan ketidakpahaman Fadli terhadap seni.
"Berarti dia tidak paham dengan bahasa seni atau bahasa budaya. Lebih baik dia tidak perlu menjadi menteri kebudayaan," ujar Yos.
Pelanggaran Kebabasan Berkesenian Meningkat
Kebebasan berkesenian di Indonesia masih jauh dari ideal. Koalisi Seni, sebagai lembaga yang mendokumentasikan pelanggaran kebabasan berkesenian sejak tahun 2010, mencatat tren peningkatan kasus pelanggaran kebebasan berkesenian.
"Kami tidak hanya mencatat pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi, tetapi juga hak-hak lainnya, seperti hak atas upah yang layak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk mendapatkan akses yang setara," ujar Koordinator Penelitian Ratri Ninditya kepada Suara.com, Selasa, (24/12/2024)
Hingga saat ini, pada 2024 terdapat 46 kasus pelanggaran yang telah ditemukan, meskipun data ini masih sementara dan belum final. Kasus-kasus tersebut mencakup hak berkarya tanpa sensor dan intimidasi sebanyak 37 kasus, hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi, dan pengupahan atas karya sebanyak 25 kasus, serta hak atas kebebasan berpindah tempat sebanyak 17 kasus. Kasus-kasus ini melibatkan beberapa sektor seni, di antaranya musik, film, seni rupa, tari, teater, dan sastra.
Ratri menjelaskan, pada 2024, pelaku pelanggaran terbanyak masih berasal dari negara, dengan 64% pelaku merupakan entitas negara, termasuk polisi dan pejabat pemerintah daerah. Sementara itu, pelaku non-negara meliputi ormas, individu dengan pengaruh di komunitas seni, serta pendiri sanggar.
"Ketika sebuah karya seni disensor, negara sering kali tidak melindungi seniman," kata Ratri.
Mereka juga mengamati peningkatan sensor terhadap kritik terhadap negara. Misalnya, kasus 'Garuda Biru' di mana musisi dilarang tampil karena karya mereka dianggap bermuatan politik.
"Sensor juga terjadi pada komedian yang menyampaikan kritik agama atau negara, hingga berujung pada hukuman penjara. Dalam kasus di Galeri Nasional ini, kami mencatat tanggapan yang mengecewakan dari Kementerian Kebudayaan. Mereka terlihat ragu atau enggan melindungi korban sensor. Padahal, seniman memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya sebagai bagian dari hak asasi manusia," tambah Ratri.
Lebih lanjut, Ratri menegaskan bahwa seniman merupakan bagian dari pejuang hak asasi manusia. Menurutnya hal itu jarang disadari oleh masyarakat luas, terutama oleh aktor negara.
"Kita perlu menyadari bahwa pekerja seni adalah pejuang hak asasi manusia, dan ini harusnya ditanamkan. Sayangnya, perlindungan terhadap seniman di Indonesia masih belum sekuat perlindungan bagi jurnalis. Belum ada peraturan yang tegas yang mengatur perlindungan terhadap seniman," kata Ratri.
Ia juga mengajak masyarakat untuk melihat lagi pasal-pasal dalam peraturan: apakah sudah cukup melindungi para pelaku seni. Selain itu, perlu ada dialog dengan aparat penegak hukum untuk meningkatkan kesadaran tentang hal ini.
"Jika karya dipermasalahkan, seniman berhak membela diri dengan alasan yang sah. Kebebasan berekspresi memiliki batas yang jelas, namun jika karya dikritik atau disensor, pihak yang mengkritik atau menyensor harus bertanggung jawab memberikan penjelasan yang jelas.
Klaim Haryono membantu Anton dalam peristiwa pembunuhan Budiman karena berada di bawah tekanan itu perlu dibuktikan dan digali kebenaran materiilnya dalam persidangan.
Benarkah penyidik telah mengantongi informasi dan bukti awal terkait keterlibatan Budi Arie dalam perkara tersebut?
Tak jarang peziarah mengalami kejadian mistis di kuburan massa Gampong Siron.
Dalam undang-undang, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya yang langsung merugikan masyarakat.
Prabowo menyatakan bakal memberikan maaf kepada koruptor asal mereka mengembalikan uang negara yang telah dicuri.
Sejumlah 34 persen atau tiga dari 10 pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental.
Jika Polri serius memulihkan citra sebagai penegak hukum dan pemberantas tambang ilegal, pembersihan mafia tambang di tubuh kepolisian harus jadi prioritas.