Suara.com - Masalah kesehatan mental anak perlu menjadi perhatian bersama. Hasil penelitian menunjukkan 34 persen atau tiga dari 10 pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental. Kasus pembunuhan yang melibatkan anak berhadapan dengan hukuman atau ABH di Lebak Bulus sudah semestinya menjadi peringatan darurat akan pentingnya layanan konseling di sekolah.
SABTU, 30 November 2024 lalu peristiwa pembunuhan yang melibatkan anak berhadapan dengan hukuman atau ABH berinisial MAS (14) di Perumahan Taman Bona Indah, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan membuat geger publik.
Anak yang masih duduk di bangku kelas 1 sekolah menengah atas atau SMA itu tega menghabisi nyawa ayah dan nenek, serta melukai ibunya dengan sebilah pisau.
Peristiwa tragis ini terjadi sekitar pukul 01.00 WIB dini hari. Ayah pelaku berinisial APW (40) dan neneknya berinisial RM (69) ditemukan tewas bersimbah darah di lantai dasar rumah.
Mereka dibunuh MAS ketika sedang tertidur. Sementara AP (40) ibu kandungan MAS selamat meski mengalami luka parah akibat tusukan pisau.
Seorang warga sekitar berinisial I bercerita kepada Suara.com, AP sempat memanjat pagar rumah untuk menyelamatkan diri. Saat itu MAS mengejar, lalu menusuk korban hingga mengalami luka parah pada bagian punggung dan pipi.
"Ibunya sempat loncat pagar karena waktu itu pagarnya digembok. Terus anaknya ngejar, tapi mungkin karena berdarah, dikira sudah meninggal lalu ditinggal pergi," kata I saat ditemui Suara.com di lokasi, Sabtu (30/11/2024).
Dari pantauan media ini, terlihat jejak bercak darat di tembok dan pagar rumah korban. Bercak darah juga ditemukan di depan pagar tetangga AP. Lokasi itu merupakan titik di mana AP ditemukan sekuriti tergeletak bersimbah darah.
"Kalau dari cerita satpam itu ditikam berkali-kali, ada luka terbuka di pundaknya," tuturnya.
Tak lama usai kejadian, sekuriti Perumahan Taman Bona Indah menangkap MAS saat hendak melarikan diri ke arah lampu merah Karang Tengah.
Ia ditangkap dalam kondisi tangan dan pakaian berlumur darah. Selain berupaya melarikan diri, MAS juga sempat membuang pisau dapur yang digunakan untuk menusuk korban. Pisau tersebut ditemukan di jalan yang berjarak sekitar 25 meter dari rumahnya.
Saat diperiksa penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak atau PPA Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan, MAS mengaku melakukan tindakan sadis ini karena mendengar 'bisikan'.
Bekerja sama dengan Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia atau APSIFOR, penyidik kekinian tengah mendalami motif hingga latar belakang kejiwaan pelaku.
Pada Senin, 16 Desember 2024 penyidik merujuk MAS ke Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. APSIFOR merekomendasikan agar kejiwaan MAS diobservasi selama 14 hari.
"Nanti ditindaklanjuti oleh dokter kejiwaan tentunya dari RS Polri Kramat Jati," jelas Kasie Humas Polres Metro Jakarta Selatan AKP Nurma Dewi saat dikonfirmasi, Rabu (18/12/2024).
Kesehatan Mental Pelajar
Hasil penelitian yang dilakukan Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) bersama Mendengar Jiwa Institute menemukan 34 persen atau tiga dari 10 pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental.
Penelitian yang dilakukan di dua SMA Negeri di Jakarta Timur dan satu SMA berbasis keagamaan di Jakarta Selatan itu melibatkan 741 pelajar dan 97 guru sebagai responden.
Peneliti Utama HCC, Ray Wagiu Basrowi menilai hasil penelitian ini menunjukkan fakta yang memprihatinkan terkait kesehatan mental pelajar SMA di Jakarta.
Pasalnya, temuan dari hasil penelitiannya itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan data atau hipotesis kajian-kajian sebelumnya.
"Ini merupakan risiko yang harus dianalisis lebih mendalam," jelas Ray dikutip Suara.com, Kamis (19/12/2024).
Ray menjelaskan, 34 persen pelajar SMA di Jakarta yang mengalami indikasi masalah kesehatan jiwa itu terbagi dalam empat komponen subskala.
Subskala pertama, sebanyak 26 persen di antaranya terindikasi mengalami masalah dengan teman sebaya yang berkaitan dengan kecenderungan menyendiri, tidak memiliki satu teman baik, atau sering diganggu oleh anak lain.
Kemudian, 23 persen pelajar SMA Jakarta terindikasi mengalami gangguan emosional yang menunjukkan memiliki kekhawatiran, kecenderungan mudah takut, ada keluhan sakit pada badan atau sering tidak bahagia dan hilang percaya diri.
Selanjutnya, 29 persen terindikasi mengalami gangguan hiperaktivitas selama di sekolah, perhatian mudah teralihkan, dan konsentrasi sering buyar. Sedangkan sisanya, 18 persen pelajar terindikasi mengalami masalah perilaku sering marah, berkelahi, berbohong, dan bersifat curang.
Hasil penelitian ini, lanjut Ray, juga menemukan 10,9 persen pelajar SMA merasa rentan dengan kondisi status kesehatan mentalnya.
”Ini menjadi tanda awas bahwa self-awareness atau aspek kesadaran diri remaja terhadap kesehatan mental sebenarnya masih rendah, meskipun sudah banyak informasi mendalam yang tersedia mengenai kesehatan mental," ungkapnya.
Hambatan Penanganan Mental Pelajar
Hasil penelitian yang dilakukan HCC dan FKI bersama Mendengar Jiwa Institute ini juga menemukan beberapa persoalan terkait penanganan kesehatan mental pelajar.
Salah satunya, banyak guru yang belum memahami bagaimana cara menangani anak-anak dengan permasalahan mental.
Di sisi lain dari hasil penelitian tersebut, terungkap bahwa banyak pelajar SMA yang justru cenderung lebih memilih teman sebagai tempat konsultasi dan diskusi terkait masalah kesehatan mental mereka.
Bahkan, tujuh dari 10 atau 67 persen pelajar SMA mengaku tidak pernah mengunjungi ruang bimbingan konseling atau BK untuk melakukan konseling. Padahal, ruang BK menjadi ruang penting dalam mitigasi dan penanganan.
Sebanyak 35 persen pelajar menganggap, ruang BK hanya untuk siswa bermasalah. Sedangkan, 37 persen lainnya justru menilai tidak perlu ada ruang untuk konseling.
”Ini membuktikan, peran teman sebagai rekan konseling sebaya atau peer counselor bisa menjadi salah satu agen mitigasi,” ujar Ray.
Direktur Eksekutif FKI Nila F Moeloek mengungkap, peer disccussion atau teman curhat 50 persen memang efektif menekan risiko depresi remaja dan tindakan perundungan di sekolah.
Namun menurutnya, pendekatan peran teman sebagai rekan konseling sebaya harus dilakukan sangat hati-hati.
Menteri Kesehatan periode 2014-2019 itu menjelaskan, pelajar usia remaja merupakan individu yang masih perlu bimbingan.
Sehingga, konsultasi antarsesama tetap harus disiasati ruang lingkup sebagai saluran bercerita saja dan bukan untuk dilakukan sebagai upaya mitigasi konseling.
"Karena nantinya akan ada kemungkinan potensi saran yang tidak akurat sebab mereka tetap harus dibimbing, dan ini juga merupakan tugas orang tua, keluarga, serta guru di sekolah," tutur Nila.
Nila mengatakan, selain pelajar harus terampil peer disccussion dan guru juga harus mahir konseling dan skrining.
Dengan begitu lingkungan sekolah diharapkan menjadi zona nyaman untuk kesehatan jiwa. Apalagi sebagian besar waktu anak banyak dihabiskan di lingkungan sekolah.
"Ini penting untuk dilakukan sebab sekolah berpeluang menjadi lokus mayor masalah kesehatan mental. Upaya rebranding ruang BK juga dapat menjadi solusi alternatif agar tidak terkesan menstigma pelajar yang hendak melakukan konseling di sana," katanya.
Jika Polri serius memulihkan citra sebagai penegak hukum dan pemberantas tambang ilegal, pembersihan mafia tambang di tubuh kepolisian harus jadi prioritas.
Pertimbangan PDIP memecat Pak Jokowi baru sekarang karena sudah bukan lagi presiden
Pemerintah berencana memberikan amnesti dengan alasan kemanusiaan, mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, dan mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah.
Kekinian, dalam Kasus Dedy dan Asril sebenarnya juga memiliki alur yang kurang lebih sama hingga LHKPN milik keduanya disorot KPK.
Jumlah kelas menengah tersebut menurun drastis bila dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk.
Setelah dua bulan 'melenggang bebas', anak pemilik toko roti di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur itu akhirnya ditangkap atas kasus penganiayaan.
Tak berhenti sampai cerita penganiayaan, netizen pun mengorek latar belakang Lady Aurellia.