Suara.com - Kapolres Solok Selatan AKBP Arief Mukti dan jajarannya yang diduga terlibat mendukung tambang ilegal harus diusut tuntas. Semua pihak yang terlibat wajib diadili dan dipecat dari kepolisian. Kasus ini tak boleh berhenti pada pemecatan AKP Dadang Iskandar, eks Kabag Ops yang menembak rekannya hingga tewas. Jika Polri serius memulihkan citra sebagai penegak hukum dan pemberantas tambang ilegal, pembersihan mafia tambang di tubuh kepolisian harus jadi prioritas.
Palu sidang etik diketuk pada 26 November 2024. Di ruang sidang itu, AKP Dadang Iskandar, mantan Kabag Ops Polres Solok Selatan, resmi diberhentikan tidak hormat dari Kepolisian RI. Sidang etik ini tak hanya menjatuhkan sanksi bagi pelaku, tetapi juga membuka tabir gelap di balik kasus tambang ilegal di Solok Selatan, Sumatera Barat.
Dadang adalah pelaku penembakan rekannya sendiri, AKP Ulil Ryanto Anshari, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan. Peristiwa tragis itu terjadi di halaman Polres pada 22 November. Ulil ditembak karena menangkap seorang sopir yang diduga terkait tambang ilegal. Aksi Ulil dianggap mengganggu "jalur uang" yang selama ini berjalan di bawah radar.
Sidang etik Dadang memunculkan nama lain: Kapolres Solok Selatan, AKBP Arief Mukti. Dalam persidangan, Arief disebut menerima setoran Rp 600 juta per bulan dari bisnis tambang ilegal sejak menjabat pada 2022. Jika dihitung selama 28 bulan masa jabatannya, angka itu mencapai Rp 16,8 miliar.
Dua hari berselang, Kapolda Sumbar Irjen Pol Suharyono memimpin aksi yang disebut sebagai operasi penindakan tambang ilegal di Solok Selatan. Namun, pemandangan yang muncul justru mengundang tanya. Dalam sebuah foto yang viral, Arief, yang sebelumnya disebut dalam sidang etik, tampak ikut serta bersama Suharyono, berpose di depan sebuah bangunan yang terbakar di lokasi tambang.
Kabid Humas Polda Sumbar, Kombes Pol Dwi Sulistyawan, menyatakan operasi itu tidak menemukan aktivitas tambang. Ia mengklaim para pelaku sudah kabur sebelum petugas tiba. Namun, Wengki Putranto, Direktur WALHI Sumbar, membantah. Menurutnya, lokasi yang didatangi adalah tambang ilegal lama yang sudah tidak beroperasi.
Walhi Sumbar mempertanyakan kehadiran Arief dalam operasi tersebut.
Operasi itu seolah menambah tanda tanya besar. Jika dugaan aliran dana tambang ilegal sebesar Rp 16,8 miliar benar adanya, bagaimana mungkin penindakan ini bisa dipercaya sebagai langkah bersih-bersih? Masyarakat menunggu, apakah Polri serius menyelesaikan kasus ini, atau justru membiarkannya terkubur bersama tambang yang tak lagi beroperasi.
"Apakah ini bagian untuk menyamarkan kejahatannya? Seakan-akan mereka bertindak benar," kata Wengki kepada Suara.com, Rabu (18/12/2024).
Wengki melihat upaya penindakan itu tak lebih upaya memoles citra. Tak menyentuh akar masalah. Operasi ini, lanut Wengki, hanya ingin menunjukkan bahwa Polda Sumbar bergerak tapi substansinya nol besar. Dugaan keterlibatan jajaran Polres Solok Selatan, termasuk Kapolres AKBP Arief Mukti, dalam lingkaran tambang ilegal, menurutnya, tidak tersentuh.
WALHI Sumbar mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk turun tangan. Mereka meminta Mabes Polri mengambil alih kasus ini dan membentuk tim khusus untuk menyelidiki dugaan mafia tambang yang menyeret polisi.
Wengki ragu kasus ini akan tuntas jika tetap ditangani oleh Polda Sumbar. Ia juga menyoroti kekhawatiran bahwa kasus ini hanya akan berakhir dengan pemecatan AKP Dadang Iskandar tanpa mengungkap jejaring lainnya.
Bagi Wengki, jika kasus ini hanya berhenti pada Dadang, itu sama saja memberikan karpet merah bagi pengusaha tambang ilegal. Ini sekaligus menciptakan impunitas bagi polisi yang menikmati setoran bulanan.
Hingga kini, beberapa minggu setelah penembakan tragis di halaman Polres Solok Selatan, Polda Sumbar belum menetapkan satu pun tersangka terkait tambang ilegal. Status tersangka baru disematkan pada Dadang, pelaku penembakan.
Sementara nama-nama lain dalam jajaran Polres Solok Selatan, termasuk Arief, masih luput dari sorotan hukum.
Berdasarkan pemantauan WALHI, Arief sejauh ini hanya diperiksa terkait kasus penembakan, bukan keterlibatannya dalam dugaan mafia tambang. Wengki menyebut, ada konflik kepentingan yang perlu dihindari jika kasus ini tetap berada di tangan Polda Sumbar, mengingat hubungan struktural antara Polres Solok Selatan dan Polda.
Kontradiksi lain turut diungkap WALHI. Beberapa hari setelah Irjen Pol Suharyono dilantik menggantikan Teddy Minahasa yang tersandung kasus narkoba, ia mengirimkan telegram kepada seluruh Polres dan Polsek di Sumbar.
Telegram bertanggal 19 Oktober 2022 itu meminta data jumlah tambang ilegal dan legal di wilayah masing-masing. Wengki menyebut hal tersebut menjadi kontradiktif.
"Artinya apa? Pada awal dia menjabat Kapolda, ini sudah kantongi data, mana tambangnya legal, mana tambangnya ilegal. Faktanya di sepanjang 2023-2024, itu tambang ilegal semakin masif di banyak kabupaten di Sumatera Barat," ujar Wengki.
Menurut data WALHI Sumbar, tambang emas ilegal di kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari mencakup 7.662 hektare: Sijunjung 1.174 hektare, Solok Selatan 2.939 hektare, Solok 1.330 hektare, dan Dharmasraya 2.179 hektare.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai fakta dalam sidang etik yang menyebut Kapolres Solok Selatan, AKBP Arief Mukti, menerima uang dari tambang ilegal, mempertegas dugaan keterlibatan aparat dalam operasi tambang ilegal di wilayah itu.
Juru kampanye JATAM, Farhat mengatakan jika keterlibatan Arief tidak diusut Polda Sumbar akan menimbulkan pertanyaan baru.
"Apakah mungkin bahwa level keterkaitan aparat penegak hukum ini hanya di level Polres Solok Selatan? Tetapi ini juga terhubung dengan beberapa aparat-aparat penegak hukum yang ada di Polda Sumatera Barat itu sendiri," kata Farhat kepada Suara.com.
Lambannya pengusutan tambang ilegal di Solok Selatan menarik perhatian Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Dalam pernyataannya, Farhat menilai ada indikasi kuat keterlibatan jajaran Polda Sumbar. Fakta sidang etik yang menyebut adanya setoran Rp 600 juta per bulan, menurutnya, seharusnya bisa menjadi pijakan Polda untuk menggali lebih jauh lewat penyidikan yang transparan dan menyeluruh.
Desakan agar kasus ini diambil alih Mabes Polri pun diamini JATAM. Terlebih, dalam skandal ini, seorang anggota Polri telah menjadi korban dari konflik kepentingan tambang ilegal. Meninggalnya AKP Ulil Ryanto Anshari seharusnya menjadi alarm keras bagi institusi Polri untuk membersihkan barisannya dari mafia tambang ilegal, tidak hanya di Solok Selatan, tetapi di seluruh wilayah Indonesia yang menjadi sarang tambang liar.
Momentum ini harus menjadi langkah nyata untuk menunjukkan komitmen Polri dalam pemberantasan tambang ilegal yang sering kali melibatkan aparat hukum sendiri.
Hingga berita ini diturunkan, Suara.com belum menerima tanggapan dari Kapolda Sumbar, Irjen Pol Suharyono. Upaya konfirmasi dilakukan pada Rabu, 18 Desember 2024, terkait perkembangan penyidikan kasus tambang ilegal, termasuk dugaan keterlibatan AKBP Arief Mukti. Selain itu, Suharyono juga dikonfirmasi mengenai telegramnya yang meminta data tambang ilegal dari seluruh Polres dan Polsek di Sumbar. Namun, hingga kini, Kapolda masih bungkam.
Pertimbangan PDIP memecat Pak Jokowi baru sekarang karena sudah bukan lagi presiden
Pemerintah berencana memberikan amnesti dengan alasan kemanusiaan, mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, dan mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah.
Kekinian, dalam Kasus Dedy dan Asril sebenarnya juga memiliki alur yang kurang lebih sama hingga LHKPN milik keduanya disorot KPK.
Jumlah kelas menengah tersebut menurun drastis bila dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk.
Setelah dua bulan 'melenggang bebas', anak pemilik toko roti di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur itu akhirnya ditangkap atas kasus penganiayaan.
Tak berhenti sampai cerita penganiayaan, netizen pun mengorek latar belakang Lady Aurellia.
Pilkada yang dipilih lewat DPRD, menurut Hamzah merupakan langkah mundur demokrasi.