Senin, 01 Jan 2024
Polemik Wacana Pemberian Amnesti dari Presiden Prabowo: Benarkah Tepat Sasaran?
Home > Detail

Polemik Wacana Pemberian Amnesti dari Presiden Prabowo: Benarkah Tepat Sasaran?

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Rabu, 18 Desember 2024 | 15:00 WIB

Suara.com - Presiden Prabowo Subianto mewacanakan pemberian amnesti atau penghapusan kepada 44 ribu narapidana. Penghapusan hukum diberikan kepada pengguna narkotika hingga kasus tahanan politik atau Tapol di Papua.

Wacana tersebut diumumkan pertama kali Menteri Hukum Supratman Andi Agtas usai mengikuti rapat terbatas dengan Prabowo beserta menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara.

"Presiden akan memberikan amnesti terhadap beberapa napi, yang saat ini sementara kami lakukan asesmen bersama dengan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan," kata Supratman Jumat (13/12/2024).

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. (Suara.com/Novian)
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. (Suara.com/Novian)

Pemerintah berencana memberikan amnesti dengan alasan kemanusiaan, mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, dan mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah. Ada empat kategori narapidana yang dipertimbangkan. Mereka yang terjerat kasus ITE karena penghinaan kepala negara. Narapidana yang sakit parah, mengalami gangguan jiwa, atau mengidap HIV/AIDS. Juga pelaku makar tanpa kekerasan di Papua. Dan pengguna narkoba yang seharusnya menjalani rehabilitasi.

Sebanyak 44 ribu narapidana diperkirakan akan menerima amnesti. Angka ini masih perlu diverifikasi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Setelahnya, pemerintah akan meminta persetujuan DPR RI. Ada juga gagasan melibatkan para penerima amnesti dalam program ketahanan pangan dan komponen cadangan.

Namun, rencana ini memicu perdebatan. Politisi Gerindra, Sugiat Santoso, mengusulkan agar amnesti diprioritaskan untuk tahanan politik. Menurutnya, langkah ini akan sejalan dengan Asta Cita yang mendukung penegakan HAM dan demokrasi. Ia tidak sepakat jika pengguna narkoba menjadi prioritas penerima amnesti.

"Jangan sampai kebijakan grasi massal ini hanya menyasar pelaku pidana umum, pecandu narkoba, sementara tahanan politik tidak disentuh," katanya.

Ilustrasi hukum (istockphoto)
Ilustrasi hukum (istockphoto)

Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR memiliki pandangan berbeda. Mereka mendukung pemberian amnesti kepada narapidana pengguna narkoba. Deputi Direktur ICJR Maidina Rahmawati menyatakan sedari dulu lembaganya menolak pemidanaan bagi penyalahgunaan narkoba.

"Bahwa pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi harus dikeluarkan dari pemenjaraan," kata Maidina kepada Suara.com, Selasa (17/5/2024).

Pada 2024, sebelum dilebur menjadi tiga kementerian, Kementerian Hukum dan HAM mencatat bahwa 52,97 persen penghuni penjara terlibat kasus penyalahgunaan narkoba. Dari total 271.385 narapidana, sebanyak 135.823 adalah tahanan dan narapidana kasus narkoba. Akibatnya, lembaga pemasyarakatan yang seharusnya hanya mampu menampung 140.424 orang terpaksa dijejali dengan jumlah yang hampir dua kali lipat.

Namun, ICJR tidak sepakat bahwa penghindaran pemenjaraan berarti semua pelaku penyalahgunaan narkoba harus menjalani rehabilitasi. Maidina menegaskan, tidak semua pengguna narkotika memiliki masalah serius yang memerlukan rehabilitasi. Data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2022 menyebutkan hanya 13 persen pengguna narkotika yang mengalami penggunaan bermasalah. Bahkan, hanya satu dari sembilan pengguna narkotika yang benar-benar membutuhkan rehabilitasi.

"Jika pengguna narkotika dikeluarkan dari pemenjaraan namun seluruhnya diwajibkan rehabilitasi, maka hal tersebut hanya memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke lembaga rehabilitasi," jelasnya.

Maidina menekankan pentingnya perubahan kebijakan melalui revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu poin utama adalah dekriminalisasi pengguna narkotika. Pengguna narkoba untuk kepentingan pribadi seharusnya tidak dipidana, melainkan ditangani oleh lembaga kesehatan, bukan aparat penegak hukum.

Di sisi lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti potensi masalah dalam pemberian amnesti, terutama bagi narapidana korupsi. Pengacara publik YLBHI, Abdul Qoyim, mengingatkan bahwa kriteria seperti sakit berkepanjangan dapat dimanfaatkan untuk membebaskan koruptor.

Ilustrasi korupsi (unsplash/Fikry Anshor)
Ilustrasi korupsi (unsplash/Fikry Anshor)

Amnesti dinilai berisiko menjadi salah sasaran jika koruptor mendapat pengampunan tanpa mengembalikan uang negara yang telah dicuri. Apalagi, Undang-Undang Perampasan Aset hingga kini belum disahkan.

"Sehingga keluar dari penjara bisa saja dia masih tetap menikmati hasil korupsi," kata Abdul kepada Suara.com.

Lebih lanjut, YLBHI memberikan catatan kritis. Dalam konteks pemberian amnesti kepada narapidana yang dijerat dengan UU ITE dan pasal penghinaan kepada kepala negara, namun tidak dibarengi dengan perbaikan terhadap regulasi yang mengekang kebebasan berpendapat hanya menjadi sia-sia. Belum lagi persoalan di ranah kepolisian yang sering kali menebar rasa takut bagi masyarakat yang bersuara kritis. Padahal tugas kepolisian harusnya  melindungi masyarakat dalam kebebasan menyampaikan pendapat.

Kemudian terkait dengan kriminalisasi masyarakat Papua. Dalam konteks ini, YLBHI menilai harus dilihat secara lebih luas. Dalam banyak kasus masyarakat atau aktivis Papua  yang dikriminalisasi karena menyuarakan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan di tanah kelahirannya.

"Di tahap ini penyelesaian kasus Papua dengan amnesti tanpa menyelesaikan persoalan lingkungan dan hak asasi manusia di Papua merupakan kebijakan jangka pendek tanpa solusi," kata Abdul.

Senada dengan Abdul, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto juga menekan pentingnya perbaikan di hulu, yakni pasal-pasal yang marak digunakan untuk mengkriminalisasi. 

"Itu yang harus diperbaiki kan, itu kalau presidennya visinya lebih komprehensif lagi," kata Aan kepada Suara.com.

Menurutnya pemberian amnesti hanya menyelesaikan persoalan di hilir. Pasal karet yang marak digunakan mengkriminalisasi harus diperketat penggunaannya.

Di sisi lain, Aan menekan agar pemberian amnesti dilakukan dengan prosedur yang benar. Menurutnya yang harus dipertanyakan adalah bagaimana dampak pemberian amnesti ini secara hukum terhadap kasus yang ada.

Amnesti, katanya,  cocok diberikan kepada tahanan politik, karena perbuatannya tidak lagi dianggap sebagai kejahatan atau pidana. Namun untuk kasus narkoba, Aan menolak jika yang diberikan adalah amnesti. Menurutnya yang lebih tepat diberikan adalah grasi atau pengampunan.

"Untuk narkoba diberikan amnesti, ini berbahaya. Nanti akan menjadi hal yang jamak bahwa kejahatan di narkotika itu bukan merupakan suatu dipidana," katanya.

Pemberian grasi kepada pengguna narkoba harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Apakah mereka residivis? Seberapa banyak narkoba yang digunakan? Hal-hal seperti ini, menurut Aan, tak boleh luput dari perhatian.

Wacana pemberdayaan narapidana sebagai bagian dari Komcad ditolak tegas olehnya. Indonesia, katanya, tidak kekurangan warga negara baik. Komcad seharusnya diisi oleh orang-orang terpilih, bukan narapidana. Namun, soal keterlibatan dalam program ketahanan pangan, Aan menyatakan dukungan. Program semacam itu dianggap bermanfaat, memberi narapidana peluang untuk bertahan hidup.

Abdul dari YLBHI juga menolak gagasan pelibatan narapidana dalam Komcad. Alasannya jelas, program ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bertentangan dengan alasan pemberian amnesti, yakni faktor kesehatan.

Maidina dari ICJR punya pandangan lain. Menurutnya, wacana ini membuka risiko eksploitasi terhadap narapidana. Jika narapidana dilibatkan dalam pekerjaan sebagai bagian dari pembinaan, maka hak mereka atas upah harus dijamin. Tidak ada pembinaan tanpa keadilan.

"Dan hal tersebut bahkan bisa dilakukan saat ini tanpa perlu mendasarkan hal tersebut dengan rencana amnesti," ujarnya.

Terbaru
Laporan Harta Pejabat Negara Disorot Netizen, KPK Masih Tebang Pilih?
polemik

Laporan Harta Pejabat Negara Disorot Netizen, KPK Masih Tebang Pilih?

Rabu, 18 Desember 2024 | 11:32 WIB

Kekinian, dalam Kasus Dedy dan Asril sebenarnya juga memiliki alur yang kurang lebih sama hingga LHKPN milik keduanya disorot KPK.

Manuver Politik atau Solusi Jitu? Bedah Efektivitas Stimulus Ekonomi di Tengah PPN 12 Persen polemik

Manuver Politik atau Solusi Jitu? Bedah Efektivitas Stimulus Ekonomi di Tengah PPN 12 Persen

Selasa, 17 Desember 2024 | 17:38 WIB

Jumlah kelas menengah tersebut menurun drastis bila dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk.

Kasus Kekerasan Bos Toko Roti: Fenomena No Viral No Justice dan Kerentanan Pekerja di Indonesia polemik

Kasus Kekerasan Bos Toko Roti: Fenomena No Viral No Justice dan Kerentanan Pekerja di Indonesia

Selasa, 17 Desember 2024 | 11:02 WIB

Setelah dua bulan 'melenggang bebas', anak pemilik toko roti di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur itu akhirnya ditangkap atas kasus penganiayaan.

Dari Pukulan Sopir Hingga KPK Bidik Harta Kepala BPJN Kalbar polemik

Dari Pukulan Sopir Hingga KPK Bidik Harta Kepala BPJN Kalbar

Senin, 16 Desember 2024 | 19:08 WIB

Tak berhenti sampai cerita penganiayaan, netizen pun mengorek latar belakang Lady Aurellia.

Mewaspadai Siasat di Balik Wacana Pilkada Dipilih Oleh DPRD: Jalan Mundur Demokrasi polemik

Mewaspadai Siasat di Balik Wacana Pilkada Dipilih Oleh DPRD: Jalan Mundur Demokrasi

Senin, 16 Desember 2024 | 15:00 WIB

Pilkada yang dipilih lewat DPRD, menurut Hamzah merupakan langkah mundur demokrasi.

Ironi! Vonis Ringan Penganiaya Balita: Kekerasan Anak Berulang di Daycare Depok polemik

Ironi! Vonis Ringan Penganiaya Balita: Kekerasan Anak Berulang di Daycare Depok

Jum'at, 13 Desember 2024 | 14:16 WIB

"Kalau pengadilan tidak bisa memberikan efek jera terhadap para pemilik lembaga pendidikan itu, saya khawatir ini akan terus berulang terjadi," ujar Lia.

Eks Tim Mawar Dapat Jabatan Penting, Penegakan HAM Era Prabowo Makin Genting polemik

Eks Tim Mawar Dapat Jabatan Penting, Penegakan HAM Era Prabowo Makin Genting

Kamis, 12 Desember 2024 | 19:49 WIB

Ketika Prabowo menjabat Menhan, beberapa prajurit TNI eks Tim Mawar mendapat posisi strategis