Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali tindak lanjuti dugaan kejanggalan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik pejabat negara. Kali ini sorotan tertuju kepada Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Kalimantan Barat (BPJN Kalbar) Dedy Mandarsyah.
Langkah KPK yang mengusut kekayaan Dedy diharapkan berjalan transparan. Jika ditemukan unsur pidana, maka seharusnya ditingkat ke penyidikan. Pun sebaliknya, publik harus mendapat informasi apabila hasilnya tidak ada tindak pidana.
Ketegasan tersebut menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anindya harus ditunjukkan KPK agar publik bisa menilai bahwa tidak ada tebang pilih dalam menindaklanjuti dugaan kejanggalan kekayaan penyelenggara negara.
"Pada prinsipnya kinerja KPK perlu ditingkatkan dari segi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan klarifikasi LHKPN," kata Diky kepada Suara.com, Senin (16/12/2024).
Desakan itu disampaikan Diky dengan mengamati proses yang dilakukan KPK terhadap LHKPN milik mantan staf ahli Jaksa Agung, Asri Agung Putra. Sampai sejauh ini, KPK belum mengumumkan hasil investigasi dugaan kejanggalan kekayaan Asri.
Sikap KPK itu berbeda dari beberapa kasus sebelumnya, seperti mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan, Rafael Alun Trisambodo yang akhirnya divonis 14 tahun penjara atas kasus gratifikasi dan pencucian uang.
Padahal, kasus Rafael Alun kali pertama terungkap dari LHKPN yang janggal. Begitu juga dengan kasus mantan Kepala Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono, dan bekas Kepala Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Darmanto.
Kekinian, dalam Kasus Dedy dan Asril sebenarnya juga memiliki alur yang kurang lebih sama hingga LHKPN milik keduanya disorot KPK.
Kasus Dedy bermula dari kasus kekerasan yang menyeret putrinya Lady Aurellia Pramesti yang diduga menjadi penyebab aksi kekerasan terhadap Ketua Koas Mahasiswa Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri) di Rumah Sakit Siti Fatimah Palembang, Muhammad Luthfi Hadyhan.
Buntutnya, kasus tersebut menjadi viral hingga merambat ke harta kekayaan Dedy Mandarsyah. Penelisikan harta kekayaan Dedy tersebut ramai menjadi perbincangan publik di media sosial.
Merujuk pada LHKPN yang dilaporkan kepada KPK 14 Maret 2024, Dedy mencatatkan kekayaan Rp 9,4 miliar, yang berupa satu unit mobil Honda CRV seharga Rp 450 juta, harta bergerak lainnya senilai Rp 830 juta, serta tiga aset tanah dan bangunan di Jakarta Selatan dengan nilai masing-masing Rp 200 juta dan Rp 350 juta.
Selain itu, ada surat berharga senilai Rp 670 juta, serta kas dan setara kas sebesar Rp 6,7 miliar. Di LHKPN miliknya, Dedy tidak memiliki utang.
Belakangan, berdasarkan informasi yang beredar di medsos menyebut bahwa harta yang dilaporkan Dedy diduga tidak sesuai. Sebab, ada rumah yang beralamat di Jalan Supeno, Nomor 9 Palembang diduga milik Dedy dan tidak dicatatkan dalam LHKPN.
Dugaan tersebut kemudian direspons Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK Herda Helmijaya. Ia bahkan mengatakan, KPK berniat untuk mengklarifikasi.
Apalagi sebelumnya, KPK menyebut nama Dedy dalam operasi tangkap tangan atau OTT pada kasus dugaan korupsi di Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Kalimantan Timur (Kaltim) pada November 2023 silam.
Sementara untuk kasus Asril, LHKPN miliknya harus didalami KPK karena kontroversi unggahan yang diduga menantunya, Dwi Okta Jelita atau Jeje Jelita saat membela Kaesang Pangarep terkait penggunaan jet pribadi pada Agustus 2024 lalu.
Dalam postingannya di Instagram dengan nama akun @jelitajee, Jeje menceritakan pengalaman keluarganya yang kerap difasilitasi sejumlah pengusaha saat keluarga negeri.
"Gue juga jadi banyak tahu dari mertua gue, kita kalau keluar negeri itu di-cover sama pengusaha-pengusana yang emang ngasih fasilitas tanpa diminta, disuruh milih mau nginep di mana, naik pesawat apa, nggak pernah pusing, apalagi sekelas presiden," bunyi pernyataannya.
Gratifikasi
Unggahan tersebut kemudian menjadi sorotan publik di media sosial, dan menilai fasilitas yang diterima Jeje Jelita termasuk dalam kategori gratifikasi.
Alhasil, desakan publik agar KPK memeriksa LHKPN sang mertua Jeje, Asril, berkumandang. Dari hasil penelusuraan kala itu, ditemukan kejanggalan dalam laporan kekayaan Asril ke KPK.
Dalam LHKPN tertulis jumlah kekayaan yang tertera pada periode 2020, 2021, 2022 dan 2023 hampir stagnan pada angka Rp 3,4 miliar. Apabila terjadi penambahan dan pengurangan hanya berkisar pada angka Rp 5 juta, serta 80 juta.
Kejanggalan itu menuai sorotan, bahkan ICW menilai peningkatan dan pengurangan harta Asril patut ditelaah lebih jauh dalam kurun empat tahun belakangan.
Dalam keterangan terakhir mengenai perkara Asri pernah disampaikan Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan pada 5 September 2024 lalu. Saat itu, ia menyampaikan bahwa KPK sudah selesai menelaah LHKPN Asril.
Namun sayang, untuk hasilnya enggak dibeberkannya. Dia juga menyebut hasil tersebut dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung.
Suara.com kemudian berusaha menghubungi Pahala Nainggolan dan Juru Bicara KPK Tessa Mahardika pada Senin (16/12/2024) untuk meminta informasi terbaru mengenai hasil penulusuran LHKPN Asril, namun hingga berita ini dituliskan, keduanya belum memberikan jawaban.
Suara.com juga menghubungi Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar menanyakan hasil koordinasi pihaknya dengan KPK.
"Seharusnya ditanya ke KPK bagaimana hasil pendalamannya, apalagi yang bersangkutan (Asril) saat ini tidak lagi menjabat struktural," katanya kepada Suara.com pada Senin (16/12/2024).
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai bahwa kejanggalan LHKPN penyelenggara negara yang diviralkan masyarakat, sejatinya sedang mempermalukan KPK.
"Ini kan sebenarnya KPK itu seperti dipermalukan, karena apa? Masyarakatlah yang menemukan itu (kejanggalan kekayaan penyelenggara negara) dan KPK menindaklanjuti, padahal itu tugasnya KPK," kata Boyamin kepada Suara.com, Senin (16/12/2024).
Kasus-kasus yang berawal dari viral, dinilai Boyamin bentuk dari lambatnya KPK dalam menindaklanjuti kejanggalan harta penyelenggara negara.
"Karena KPK sendiri tidak pernah menindaklanjuti semua hal itu dengan cermat, teliti dan setengah ogah-ogahan mungkin," ujarnya.
Menurutnya, kasus seperti Rafael Alun hingga Andhi Pramono sudah sedari awal terungkap, apabila KPK cermat dan teliti saat menerima LHKPN para penyelengara negara. Apalagi, tidak ada sanski tegas bagi mereka yang mengisi LHKPN dengan tidak jujur.
Jumlah kelas menengah tersebut menurun drastis bila dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk.
Setelah dua bulan 'melenggang bebas', anak pemilik toko roti di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur itu akhirnya ditangkap atas kasus penganiayaan.
Tak berhenti sampai cerita penganiayaan, netizen pun mengorek latar belakang Lady Aurellia.
Pilkada yang dipilih lewat DPRD, menurut Hamzah merupakan langkah mundur demokrasi.
"Kalau pengadilan tidak bisa memberikan efek jera terhadap para pemilik lembaga pendidikan itu, saya khawatir ini akan terus berulang terjadi," ujar Lia.
Ketika Prabowo menjabat Menhan, beberapa prajurit TNI eks Tim Mawar mendapat posisi strategis
Ide ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.