Suara.com - GEORGE Sugama Halim alias GSH tak berkuti saat ditangkap aparat kepolisian di Hotel Anugrah, Sukabumi, Jawa Barat, pada Senin, 16 Desember 2024 dini hari. Setelah dua bulan 'melenggang bebas', anak pemilik toko roti di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur itu akhirnya ditangkap atas kasus penganiayaan yang dilaporkan pekerja berinisial D (19).
Kasus itu bermula pada Kamis, 17 Oktober 2024. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa bagi D.
Jam menunjukkan pukul 9 malam, dan seperti biasa, D tengah sibuk bekerja. Malam itu, ia hanya berdua dengan temannya, bergantian menjaga toko.
Suasana toko cukup tenang, sampai anak pemilik toko — pelaku — datang dari luar, masuk, lalu duduk di sofa.
Beberapa menit kemudian, seorang pengemudi GrabFood datang membawa makanan yang ternyata dipesan oleh pelaku.
D terdiam sejenak. “Saya nggak bisa, saya lagi kerja,” jawabnya tegas.
Penolakan itu bukan tanpa sebab. Sebelumnya, D sudah membuat perjanjian dengan adik pelaku.
Ia tak mau lagi mengantar makanan atau melayani pelaku. Sebelum kejadian malam itu, pelaku pernah melempar meja ke arahnya — meski tak mengenai — sambil melontarkan hinaan yang membekas di hati.
“Orang miskin kaya lu nggak bakal bisa masukin gua ke penjara. Gua kebal hukum,” pelaku pernah berkata, merendahkan D dan keluarganya.
Itulah yang membuatnya menolak, apalagi tugas-tugas seperti itu jelas bukan bagian dari pekerjaannya sebagai kasir.
Tapi malam itu, pelaku memaksa. Ia menelepon ibunya, yang tak lain adalah bos D. Dari balik telepon, D mendengar suara sang ibu: “Lu punya kaki, jalan sendiri lah.”
Namun, lagi-lagi, pelaku bersikeras. Tidak ada yang boleh mengantar makanan itu kecuali D. Ketika D menolak untuk kedua kalinya, amarah pelaku meledak.
Barang-barang mulai melayang. Patung batu, kursi, meja, mesin EDC — semua dilempar ke arah D. Satu per satu mengenai tubuhnya. Napas D terengah-engah, tubuhnya mulai memar. Saat itu, ayah pelaku datang, menarik D menjauh.
“Pulang saja!” kata sang ayah, mencoba menghentikan kekacauan. Tapi D belum sempat mengambil tas dan ponselnya yang tertinggal di dalam toko.
Ketika ia kembali untuk mengambil barang-barangnya, pelaku kembali mengamuk. Kursi demi kursi dilemparkan, menghantam tubuh D berkali-kali hingga ia terpojok di sebuah ruangan penuh oven dan mesin kue.
Di tengah kepanikannya, D masih berusaha bertahan. Hingga akhirnya, sebuah loyang melayang ke arahnya.
Loyang itu menghantam kepalanya keras, menyisakan luka sobek yang langsung mengucurkan darah.
Rasa sakit menjalar, tapi di tengah ketakutan, D menemukan celah untuk kabur. Dengan tubuh penuh memar, ia berlari keluar toko.
Malam itu, dini hari 18 Oktober, D memberanikan diri melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Pulogadung. Tapi laporannya terombang-ambing.
Dari Polsek Pulogadung dilempar ke Polsek Cakung, hingga akhirnya diarahkan ke Polres Metro Jakarta Timur. Di sana, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) mulai menangani kasus ini.
Penyidik PPA, Arief, mengingat betul proses yang dijalani D.
"Kami meminta D untuk segera visum di RS Polri Kramat Jati. Karena ini bukan kejadian tertangkap tangan, kami butuh waktu untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup," katanya.
Bukti-bukti akhirnya dikumpulkan. George, pria berusia 35 tahun, ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat Pasal 351 Ayat 2 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.
“Ancaman maksimalnya lima tahun penjara,” tegas Kombes Ade Ary Syam Indradi, Kabid Humas Polda Metro Jaya, dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Senin, 16 Desember 2024.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies atau ISESS, Bambang Rukminto menilai lambatnya penanganan kasus yang dialami D merupakan problem lama yang terjadi di institusi kepolisian.
Bambang menjelaskan, banyaknya laporan yang diterima pihak kepolisian membuat penyidik membuat skala prioritas. Namun skala prioritas itu justru acap kali dijadikan dalih untuk tidak menindaklanjuti kasus-kasus atau laporan masyarakat yang tidak mendapatkan 'dukungan' materi, kekuasaan dan kekuatan medsos melalui tagar #NoViralNoJustice.
"Dengan posisi korban yang lemah, sementara pelaku memiliki posisi yang dominan, patut diduga memang polisi bekerja karena tekanan viral lebih dulu," jelas Bambang kepada Suara.com, Senin (16/12/2024).
Bambang menyoroti peran Kompolnas yang dinilai lebih seperti juru bicara Polri ketimbang lembaga pengawas. Padahal, tugas utamanya adalah mengawasi kinerja Polri agar profesional dan independen, melalui pemantauan serta penilaian integritas anggota sesuai peraturan.
Menurut Bambang, daripada menjelaskan lambatnya penanganan kasus akibat penyidik butuh waktu atau korban yang berpindah laporan, Kompolnas seharusnya mendalami alasan di balik perpindahan laporan tersebut. Bisa jadi, hal ini terjadi karena buruknya pelayanan kepolisian di tingkat lokal.
Ia mencontohkan kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis QHS pada Juni 2024. QHS, yang menjadi korban pelecehan di KRL, beberapa kali ditolak laporannya dan "diping-pong" antar kantor polisi dengan alasan lokasi kejadian tidak sesuai yurisdiksi.
"Seharusnya Kompolnas juga menelisik mengapa laporan berpindah-pindah. Bisa jadi karena pelayanan kepolisian di tempat pengaduan tersebut tidak maksimal atau tidak mendapat pelayanan yang baik," ungkap Bambang.
Kerentanan Pekerja di Indonesia
Kasus kekerasan yang dialami D semakin memperpanjang angka kekerasan yang dialami perempuan di lingkungan kerja. Berdasar catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan pada tahun 2023, dari 1.276 kasus kekerasan yang dilaporkan terjadi di ranah publik, 115 di antaranya berada di lingkungan tempat kerja.
Sementara hasil survei yang dilakukan International Labour Organization (ILO) pada 2022 mengungkap, 70,93 persen atau 852 dari 1.173 pekerja di Indonesia mengaku pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Data tersebut menunjukkan bagaimana kerentanan pekerja di Indonesia.
Hasil survei ILO juga mengungkap, jika dibandingkan pekerja laki-laki, pekerja perempuan lebih rentan mengalami tindak kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Namun lebih dari setengah responden laki-laki atau sekitar 54,01 dalam survei tersebut juga mengaku mengalami kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
"Angka yang tidak kecil ini mengingatkan bahwa ternyata semua bisa kena," tulis ILO dikutip Suara.com, Senin (16/12/2024).
Dari hasil survei ILO, terungkap pula bahwa sebagai besar pekerja di Indonesia yang pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan enggan melapor ke polisi. Selain sebagian besar pelaku merupakan atasan korban, mereka enggan melapor juga karena merasa aparat kepolisian tidak akan menindaklanjutinya.
"Ditemukan indikasi kecilnya kepercayaan korban kepada pihak kepolisian di mana 50,08 persen korban merasa pihak kepolisian tidak akan melakukan apapun. Selain itu, ada antisipasi yang cukup besar (34,88 persen), bahwa pelaporan ke kepolisian memerlukan uang yang banyak," jelasnya.
Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos menilai perlu perhatian lebih dari pemerintah untuk menekan angka kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Selain juga diperlukan hukuman yang lebih berat dan tegas dari aparat penegak hukum terhadap para pelaku.
Nining mengungkap kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi di lingkungan kerja tidak terlepas dari persoalan masih kentalnya budaya patriarki. Mirisnya, budaya tersebut juga terjadi di lingkungan aparat kepolisian. Sehingga korban justru kerap menjadi korban untuk kedua kalinya ketika melapor kasus yang dialaminya itu.
"Secara objektif memang harus diakui ya. Selain data yang dikeluarkan ILO, memang ada tendensi negatif terhadap penegak hukum. Pertama penegak hukum yang belum punya perspektif kesetaraan gender. Kedua, memang para penegak hukum yang masih kental dengan budaya patriarki itu kemudian tidak melihat bahwa kekerasan ini akan memiliki dampak yang begitu besar," ujar Nining kepada Suara.com, Senin (16/12/2024).
Karena itu, Nining menyarankan Polri agar menempatkan sumber daya manusia atau SDM di Unit PPA yang benar-benar memahami isu perempuan dan kesetaraan gender. Sehingga dengan begitu mereka yang menangani kasus-kasus terkait kekerasan dan pelecehan nantinya bisa lebih berperspektif korban.
"Saya baru ikut pelatihan terkait kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Bahkan ada yang menyampaikan bahwa Unit PPA ini tidak paham. Nah ini kan menjadi tugas negara," pungkasnya.
Di sisi lain, beberapa waktu lalu, Jaringan Advokasi Konvensi ILO 190 (JAK ILO 190) mendesak pemerintah Indonesia segera meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
Konvensi ini mampu mengatasi Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender (KPBG) dengan pendekatan inklusif dan responsif gender, yang memperhatikan kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak perempuan.
Ratifikasi Konvensi ILO 190 akan menghadirkan regulasi khusus yang melindungi semua pekerja—tanpa memandang status kerja, gender, kondisi fisik atau mental, etnisitas, maupun identitas sosial lainnya. Ini juga menunjukkan komitmen serius pemerintah dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan serta pelecehan.
Tak berhenti sampai cerita penganiayaan, netizen pun mengorek latar belakang Lady Aurellia.
Pilkada yang dipilih lewat DPRD, menurut Hamzah merupakan langkah mundur demokrasi.
"Kalau pengadilan tidak bisa memberikan efek jera terhadap para pemilik lembaga pendidikan itu, saya khawatir ini akan terus berulang terjadi," ujar Lia.
Ketika Prabowo menjabat Menhan, beberapa prajurit TNI eks Tim Mawar mendapat posisi strategis
Ide ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.
Ide ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.
"Penyandang disabilitas adalah manusia pada umumnya yang bisa menjadi tersangka atau pelaku, bisa menjadi korban, bisa menjadi saksi," kata Jonna.