Kasus Kekerasan Bos Toko Roti: Fenomena No Viral No Justice dan Kerentanan Pekerja di Indonesia
Home > Detail

Kasus Kekerasan Bos Toko Roti: Fenomena No Viral No Justice dan Kerentanan Pekerja di Indonesia

Bimo Aria Fundrika | Muhammad Yasir

Selasa, 17 Desember 2024 | 11:02 WIB

Suara.com - GEORGE Sugama Halim alias GSH tak berkutik saat ditangkap aparat kepolisian di Hotel Anugrah, Sukabumi, Jawa Barat, pada Senin, 16 Desember 2024 dini hari. Setelah dua bulan 'melenggang bebas', anak pemilik toko roti di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur itu akhirnya ditangkap atas kasus penganiayaan yang dilaporkan pekerja berinisial D (19).

Kasus itu bermula pada Kamis, 17 Oktober 2024. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa bagi D.

Jam menunjukkan pukul 9 malam, dan seperti biasa, D tengah sibuk bekerja. Malam itu, ia hanya berdua dengan temannya, bergantian menjaga toko.

Suasana toko cukup tenang, sampai anak pemilik toko — pelaku — datang dari luar, masuk, lalu duduk di sofa. 

Beberapa menit kemudian, seorang pengemudi GrabFood datang membawa makanan yang ternyata dipesan oleh pelaku.

Sosok George Sugama Halim, anak bos toko roti pelaku penganiayaan pegawai di Cakung, Jakarta (Instagram)
Sosok George Sugama Halim, anak bos toko roti pelaku penganiayaan pegawai di Cakung, Jakarta (Instagram)

D terdiam sejenak. “Saya nggak bisa, saya lagi kerja,” jawabnya tegas.

Penolakan itu bukan tanpa sebab. Sebelumnya, D sudah membuat perjanjian dengan adik pelaku. 

Ia tak mau lagi mengantar makanan atau melayani pelaku. Sebelum kejadian malam itu, pelaku pernah melempar meja ke arahnya — meski tak mengenai — sambil melontarkan hinaan yang membekas di hati.

“Orang miskin kaya lu nggak bakal bisa masukin gua ke penjara. Gua kebal hukum,” pelaku pernah berkata, merendahkan D dan keluarganya.

Itulah yang membuatnya menolak, apalagi tugas-tugas seperti itu jelas bukan bagian dari pekerjaannya sebagai kasir.

Tapi malam itu, pelaku memaksa. Ia menelepon ibunya, yang tak lain adalah bos D. Dari balik telepon, D mendengar suara sang ibu: “Lu punya kaki, jalan sendiri lah.” 

Namun, lagi-lagi, pelaku bersikeras. Tidak ada yang boleh mengantar makanan itu kecuali D. Ketika D menolak untuk kedua kalinya, amarah pelaku meledak.

Barang-barang mulai melayang. Patung batu, kursi, meja, mesin EDC — semua dilempar ke arah D. Satu per satu mengenai tubuhnya. Napas D terengah-engah, tubuhnya mulai memar. Saat itu, ayah pelaku datang, menarik D menjauh.

“Pulang saja!” kata sang ayah, mencoba menghentikan kekacauan. Tapi D belum sempat mengambil tas dan ponselnya yang tertinggal di dalam toko. 

Ketika ia kembali untuk mengambil barang-barangnya, pelaku kembali mengamuk. Kursi demi kursi dilemparkan, menghantam tubuh D berkali-kali hingga ia terpojok di sebuah ruangan penuh oven dan mesin kue.

Di tengah kepanikannya, D masih berusaha bertahan. Hingga akhirnya, sebuah loyang melayang ke arahnya. 

Loyang itu menghantam kepalanya keras, menyisakan luka sobek yang langsung mengucurkan darah. 

Rasa sakit menjalar, tapi di tengah ketakutan, D menemukan celah untuk kabur. Dengan tubuh penuh memar, ia berlari keluar toko.

Malam itu, dini hari 18 Oktober, D memberanikan diri melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Pulogadung. Tapi laporannya terombang-ambing. 

Dari Polsek Pulogadung dilempar ke Polsek Cakung, hingga akhirnya diarahkan ke Polres Metro Jakarta Timur. Di sana, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) mulai menangani kasus ini.

Penyidik PPA, Arief, mengingat betul proses yang dijalani D. 

George Sugama Halim saat ditangkap di salah satu hotel di Sukabumi. (Foto: Istimewa)
George Sugama Halim saat ditangkap di salah satu hotel di Sukabumi. (Foto: Istimewa)

"Kami meminta D untuk segera visum di RS Polri Kramat Jati. Karena ini bukan kejadian tertangkap tangan, kami butuh waktu untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup," katanya.

Bukti-bukti akhirnya dikumpulkan. George, pria berusia 35 tahun, ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat Pasal 351 Ayat 2 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.

“Ancaman maksimalnya lima tahun penjara,” tegas Kombes Ade Ary Syam Indradi, Kabid Humas Polda Metro Jaya, dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Senin, 16 Desember 2024.

No Viral No Justice 

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies atau ISESS, Bambang Rukminto menilai lambatnya penanganan kasus yang dialami D merupakan problem lama yang terjadi di institusi kepolisian. 

Bambang menjelaskan, banyaknya laporan yang diterima pihak kepolisian membuat penyidik membuat skala prioritas. Namun skala prioritas itu justru acap kali dijadikan dalih untuk tidak menindaklanjuti kasus-kasus atau laporan masyarakat yang tidak mendapatkan 'dukungan' materi, kekuasaan dan kekuatan medsos melalui tagar #NoViralNoJustice.

"Dengan posisi korban yang lemah, sementara pelaku memiliki posisi yang dominan, patut diduga memang polisi bekerja karena tekanan viral lebih dulu," jelas Bambang kepada Suara.com, Senin (16/12/2024).

Bambang menyoroti peran Kompolnas yang dinilai lebih seperti juru bicara Polri ketimbang lembaga pengawas. Padahal, tugas utamanya adalah mengawasi kinerja Polri agar profesional dan independen, melalui pemantauan serta penilaian integritas anggota sesuai peraturan.

Ilustrasi polisi siaga jelang nataru. [Ist]
Ilustrasi polisi . [Ist]

Menurut Bambang, daripada menjelaskan lambatnya penanganan kasus akibat penyidik butuh waktu atau korban yang berpindah laporan, Kompolnas seharusnya mendalami alasan di balik perpindahan laporan tersebut. Bisa jadi, hal ini terjadi karena buruknya pelayanan kepolisian di tingkat lokal.

Ia mencontohkan kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis QHS pada Juni 2024. QHS, yang menjadi korban pelecehan di KRL, beberapa kali ditolak laporannya dan "diping-pong" antar kantor polisi dengan alasan lokasi kejadian tidak sesuai yurisdiksi.

"Seharusnya Kompolnas juga menelisik mengapa laporan berpindah-pindah. Bisa jadi karena pelayanan kepolisian di tempat pengaduan tersebut tidak maksimal atau tidak mendapat pelayanan yang baik," ungkap Bambang. 

Kerentanan Pekerja di Indonesia 

Kasus kekerasan yang dialami D semakin memperpanjang angka kekerasan yang dialami perempuan di lingkungan kerja. Berdasar catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan pada tahun 2023, dari 1.276 kasus kekerasan yang dilaporkan terjadi di ranah publik, 115 di antaranya berada di lingkungan tempat kerja. 

Sementara hasil survei yang dilakukan International Labour Organization (ILO) pada 2022 mengungkap, 70,93 persen atau 852 dari 1.173 pekerja di Indonesia mengaku pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Data tersebut menunjukkan bagaimana kerentanan pekerja di Indonesia. 

Potret Kekerasan di Dunia Kerja. (Suara.com/Iqbal Asaputro)
Potret Kekerasan di Dunia Kerja. (Suara.com/Iqbal Asaputro)

Hasil survei ILO juga mengungkap, jika dibandingkan pekerja laki-laki, pekerja perempuan lebih rentan mengalami tindak kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Namun lebih dari setengah responden laki-laki atau sekitar 54,01 dalam survei tersebut juga mengaku mengalami kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. 

"Angka yang tidak kecil ini mengingatkan bahwa ternyata semua bisa kena," tulis ILO dikutip Suara.com, Senin (16/12/2024).

Dari hasil survei ILO, terungkap pula bahwa sebagai besar pekerja di Indonesia yang pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan enggan melapor ke polisi. Selain sebagian besar pelaku merupakan atasan korban, mereka enggan melapor juga karena merasa aparat kepolisian tidak akan menindaklanjutinya. 

"Ditemukan indikasi kecilnya kepercayaan korban kepada pihak kepolisian di mana 50,08 persen korban merasa pihak kepolisian tidak akan melakukan apapun. Selain itu, ada antisipasi yang cukup besar (34,88 persen), bahwa pelaporan ke kepolisian memerlukan uang yang banyak," jelasnya. 

Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos menilai perlu perhatian lebih dari pemerintah untuk menekan angka kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Selain juga diperlukan hukuman yang lebih berat dan tegas dari aparat penegak hukum terhadap para pelaku.

Nining mengungkap kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi di lingkungan kerja tidak terlepas dari persoalan masih kentalnya budaya patriarki. Mirisnya, budaya tersebut juga terjadi di lingkungan aparat kepolisian. Sehingga korban justru kerap menjadi korban untuk kedua kalinya ketika melapor kasus yang dialaminya itu. 

"Secara objektif memang harus diakui ya. Selain data yang dikeluarkan ILO, memang ada tendensi negatif terhadap penegak hukum. Pertama penegak hukum yang belum punya perspektif kesetaraan gender. Kedua, memang para penegak hukum yang masih kental dengan budaya patriarki itu kemudian tidak melihat bahwa kekerasan ini akan memiliki dampak yang begitu besar," ujar Nining kepada Suara.com, Senin (16/12/2024).

Karena itu, Nining menyarankan Polri agar menempatkan sumber daya manusia atau SDM di Unit PPA yang benar-benar memahami isu perempuan dan kesetaraan gender. Sehingga dengan begitu mereka yang menangani kasus-kasus terkait kekerasan dan pelecehan nantinya bisa lebih berperspektif korban. 

"Saya baru ikut pelatihan terkait kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Bahkan ada yang menyampaikan bahwa Unit PPA ini tidak paham. Nah ini kan menjadi tugas negara," pungkasnya.

Di sisi lain, beberapa waktu lalu, Jaringan Advokasi Konvensi ILO 190 (JAK ILO 190) mendesak pemerintah Indonesia segera meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

Konvensi ini mampu mengatasi Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender (KPBG) dengan pendekatan inklusif dan responsif gender, yang memperhatikan kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak perempuan.

Ratifikasi Konvensi ILO 190 akan menghadirkan regulasi khusus yang melindungi semua pekerja—tanpa memandang status kerja, gender, kondisi fisik atau mental, etnisitas, maupun identitas sosial lainnya. Ini juga menunjukkan komitmen serius pemerintah dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan serta pelecehan.


Terkait

AMSI Sebut Demo RUU TNI Picu Eskalasi Kekerasan Pers: Bungkam Media dan Jurnalis
Jum'at, 28 Maret 2025 | 19:30 WIB

AMSI Sebut Demo RUU TNI Picu Eskalasi Kekerasan Pers: Bungkam Media dan Jurnalis

"...Serangkaian insiden ini merupakan upaya sistematis untuk membungkam media dan jurnalis..."

Update Kasus Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada: Komnas HAM Ungkap Temuan Baru, Apa Itu?
Kamis, 27 Maret 2025 | 19:08 WIB

Update Kasus Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada: Komnas HAM Ungkap Temuan Baru, Apa Itu?

Di awal bulan Juni 2024, Fajar meminta F agar dibawakan seorang anak perempuan yang berusia balita dengan alasan menyukai dan menyayangi anak kecil

Desak TNI Pembunuh Jurnalis di Kalsel Dihukum Berat, TB Hasanuddin: Jangan Ada Impunitas!
Kamis, 27 Maret 2025 | 16:04 WIB

Desak TNI Pembunuh Jurnalis di Kalsel Dihukum Berat, TB Hasanuddin: Jangan Ada Impunitas!

Jurnalis Juwita dibunuh oleh anggota TNI AL. Mayatnya dibuang seolah-seolah korban kecelakaan tunggal.

Terbaru
Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba
polemik

Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba

Minggu, 30 Maret 2025 | 21:45 WIB

Harapan untuk Timnas Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2026 masih ada. Patrick Kluivert diminta untuk tidak coba-coba formasi demi hasil maksimal.

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu polemik

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu

Sabtu, 29 Maret 2025 | 11:06 WIB

Apa yang menjadi tuntutan VISI dan AKSI untuk segera diselesaikan melalui Revisi UU Hak Cipta?

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL polemik

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL

Jum'at, 28 Maret 2025 | 22:56 WIB

Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers! polemik

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers!

Jum'at, 28 Maret 2025 | 14:21 WIB

Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi? polemik

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi?

Jum'at, 28 Maret 2025 | 08:26 WIB

Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah polemik

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah

Kamis, 27 Maret 2025 | 17:41 WIB

Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat! polemik

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat!

Kamis, 27 Maret 2025 | 11:59 WIB

Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.