Suara.com - Belakangan, nama Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Kalimantan Barat (BPJN Kalbar) Dedy Mandarsyah menjadi sorotan.
Tak hanya di kalangan publik, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK turut mendalami harta kekayaan pejabat negara tersebut.
Ihwal perhatian itu bermula dari aksi pemukulan yang dilakukan terhadap Luthfi Hadyhan yang rekaman videonya viral di media sosial (medsos). Luthfi yang merupakan Ketua Koas Mahasiswa Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri) di Rumah Sakit Siti Fatimah, Palembang dianiaya sopir Dedy, Fadilah alias Datuk.
Tindakan brutal Datuk itu terjadi lantaran anak sang majikan, Lady Aurellia harus menjalani piket saat Natal dan Tahun Baru. Jadwal piket untuk menjalani pendidikan klinis tersebut sejatinya dibuat atas kesepakatan dalam kelompok. Lady yang berkeberatan dengan hasilnya melapor kepada sang mama, Sri Meilina.
Mereka kemudian membuat janji bertemu dengan Luthfi di sebuah kafe yang berada di Kawasan Demang Lebar Daun, Palembang pada Rabu (11/12/2024) silam.
Pertemuan bermula hanya membicarakan persoalan jadwal koas Lady. Namun pembicaraan kian memanas hingga aksi pemukulan yang dilakukan Datuk tiba-tiba terjadi dan terrekam salah satu rekan Luthfi yang ikut menemani dalam pertemuan tersebut.
Akibatnya, Luthfi mengalami luka-luka hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sedangkan Datuk kini menjadi tersangka tunggal dalam aksi kriminil yang dilakukannya. Geraman hingga serapah netizen di dunia maya pun terpancing.
Tak berhenti sampai cerita penganiayaan, netizen pun mengorek latar belakang Lady Aurellia.
Menggelinding bak bola salju, kasus penganiayaan ternyata berbuntut panjang. Netizen pun menilisik latar belakang Dedy. Alhasil, jabatan menterengnya sebagai Kepala BPJN Kalbar terkuak.
Tak sampai situ, ramai-ramai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Dedy pun menjadi sorotan. Berdasarlan dilaporkan pada 14 Maret 2024, Dedy memiliki kekayaan Rp 9.426.451.869 atau Rp 9,4 miliar.
Kekayaannya itu terdiri dari satu unit mobil Honda CRV seharga Rp 450 juta, harta bergerak lainnya senilai Rp 830 juta, serta tiga aset tanah dan bangunan di Jakarta Selatan dengan nilai masing-masing Rp 200 juta dan Rp 350 juta, surat berharga senilai Rp 670 juta serta kas dan setara kas sebesar Rp 6,7 miliar. Dedy tercatat tidak memiliki utang.
Namun informasi yang beredar di medsos menyebut Dedy diduga memiliki rumah di Palembang. Bangunan di Jalan Supeno, Nomor 9 Palembang, diduga tidak dicatatkan Dedy dalam LHKPN miliknya.
Hasil telisik pun berkembang hingga ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK Herda Helmijaya yang mendengar viralnya hal itu tak tinggal diam.
Bahkan, menyatakan bakal segera memanggil Dedy untuk melakukan klarifikasi harta tersebut.
"Mudah-mudahan dalam dua minggu ke depan sudah mulai pemanggilan," kata Herda pada Minggu (15/12/2024) kemarin.
Selain rumah di Palembang, Tim LHKPN KPK juga bakal bekerja mengumpulkan data-data kekayaan Dedy. Bukan tanpa sebab, lembaga antirasuah menelusuri harta kekayaan Dedi. Sebab, namanya pernah tersebut dalam operasi tangkap tangan atau OTT dalam kasus dugaan korupsi di Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Kalimantan Timur November 2023.
"Saat KPK menangani kasus OTT BBPJN Kaltim akhir 2023, nama yang bersangkutan sebetulnya juga sudah disebut-sebut," ujar Herda.
Kekerasan Berujung KPK
Kasus kekerasan yang menyeret nama penyelenggara negara hingga berakhir berstatus tersangka di KPK, bukan suatu hal baru. Sebelumnya, ada nama mantan pejabat pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rafael Alun Sambodo.
Gratifikasi hingga tindak pidana pencucian uang Rafael Alun tersebut atas kejelian netizen. Hal itu berawal dari penganiayaan yang dilakukan anak lelakinya, Mario Dandy Satriyo terhadap remaja bernama David Ozora pada Februari 2023.
Kasus ini berujung pada penetapan tersangka atas status Rafael Alun di tanggan KPK sebagai pelaku gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang .
Ketika kasus mencuat, publik menguliti latar belakang Mario Dandy. Saat dibongkar di media sosial, terkuak latar belakang Rafael Alun yang merupakan memiliki jabtan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan.
Tak hanya itu, publik di media sosial menyoroti gaya hidup mewah Mario dan keluarganya. Dalam LHKPN yang dilaporkannya pada 2022 silam, Rafael mencatatkan kekayaan Rp 56,7 miliar yang didominasi tanah dan bangunan.
Namun, LHKPN yang dilaporkan Rafael ke KPK tidak sesuai dengan fakta, banyak harta yang tidak dilaporkan, termasuk mobil Jeep Rubicon yang digunakan Mario saat mendatangi korban untuk melakukan penganiayaan.
Kejanggalan itu dipertegas dengan jumlah harta Rafael yang disita KPK mencapai Rp 150 miliar atau sekira tiga kali lipat dari harta yang dilaporkan ke LHKPN.
Kenyataan itu berujung pahit bagi Rafael. Ia divonis 14 tahun penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhitung mulai 8 Januari 2024.
Meski sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tapi dalam putusan hakim pada Maret 2024, Rafael tetap harus mendekam di penjara selama 14 tahun. Sementara putranya Mario divonis 12 tahun penjara dalam kasus penganiayaan terhadap David.
Kasus Rafael kemudian membesar di medsos. Pengungkapan kasus korupsi terhadap LHKPN para pejabat negara pun bergulir.
Usai Rafael, sejumlah penyelenggara negara menjadi bidikan selanjutnya. Beberapa di antaranya, mantan Kepala Bea dan Cukai Makassar, Andhi Pramono, dan mantan Kepala Bea dan Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Andi pun divonis 10 penjara tahun, sementara Eko dijatuhi hukuman 6 tahun penjara.
Terbongkarnya kasus gratifikasi pejabat menjadi peringatan keras dari warga. Hal itu pula yang diucapkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Komisioner lembaga antirasuah ini pernah mengatakan agar masyarakat dan media massa memviralkan penyelenggara negara yang 'nakal' melaporkan kekayaannya.
Marwata menilai, cara-cara itu bisa membuat penyelenggara negara tidak berani berbuat hal yang mencederai integritasnya.
"Sehingga apa? Banyak yang gerak. Itu kan juga salah satu dorongan supaya pejabat tidak bertindak macam-macam. Kan begitu. Itu sebetulnya dorongnya ke sana," Alex pada Agustus 2023 silam.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai usaha masyarakat yang menguliti kekayaan penyelenggara negara di media sosial, menunjukkan kesadaran masyarakat untuk memastikan pejabat bersih dari korupsi.
Hal itu dimulai dari kasus Rafael Alun yang menjadi atensi warga. Meski begitu, ia tetap mewanti-wanti agar azas praduga tak bersalah tetap dikedepankan sambil menunggu KPK bekerja.
Bila kemudian ditemukan unsur tindak pidana yang kuat, KPK harus berani melakukan penyelidikan.
"KPK juga sudah punya preseden yang berasal dari kasus kecil kemudian menjadi besar, seperti kasus Rafael Alun," kata Zaenur kepada Suara.com, Senin (16/2/2024).
Tak Jujur Laporkan LHKPN
Dalam perspektif lainnya, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anindya menilai sorotan publik di media sosial terhadap harta kekayaan Dedy, dan kasus Rafel menunjukkan ketidakpercayaan terhadap LHKPN yang dilaporkan penyelenggara negara ke KPK.
Pandangan tersebut didasari adanya perilaku penyelenggara negara yang beranggapan, LHKPN hanya formalitas belaka. Alhasil, data yang disampaikan tidak sesuai.
Keberanian penyelenggara negara untuk tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaan ini seringkali terjadi lantaran tidak adanya sanksi pidana bagi mereka yang tidak jujur. Selama ini, hukuman yang mereka dapat hanya bersifat adminitrasi seperti penundaan kenaikan pangkat atau jabatan.
"Sehingga tidak jarang, publik menemukan bahwa terdapat kejanggalan dari laporan harta yang disampaikan dalam dokumen LHKPN berbeda dengan realitanya," kata Diky kepada Suara.com.
Tak hanya itu, kasus Rafael hingga Andhi Pramono, serta Dedy yang saat ini menjadi sorotan, mengindikasikan kewenangan KPK untuk melakukan pemeriksaan dan klarifikasi terhadap LHKPN belum optimal.
Padahal, LHKPN menjadi salah satu instrumen penting pencegahan korupsi melalui penilaian dan penelusuran kewajaran peningkatan harta kekayaan para penyelenggara negara.
Diky kemudian mendesak KPK untuk meningkatkan kinerja dalam menjalankan fungsi pencegahan dengan melakukan pemeriksaan dan klarifikasi.
Ia menilai sudah saatnya kewenangan untuk melakukan pemeriksaan secara inisiatif harus dilaksanakan, tanpa harus menunggu adanya aduan.
Pun tak kalah penting, pemberian sanksi pidana bagi penyelengara negara yang tidak jujur melaporkan kekayaannya.
"Rumusan yang tepat untuk mengakomodir sanksi pidana terhadap hal tersebut, salah satunya dengan mengadopsi norma Illicit Enrichment (peningkatan harta kekayaan yang diduga bersumber dari pendapatan yang tidak sah) ke dalam revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," ujar Diky.
Mengamini Diky, Zaenur mengungkapkan, cara paling tepat untuk memberikan efek jera yakni dengan upaya kriminalisasi illicit enrichment.
Penyelenggara negara yang kekayaannya tidak wajar harus diinvestigasi dan diminta untuk membuktikannya. Apabila tidak bisa dibuktikan, maka pilihan perampasan dan dimasukkan ke kas negara.
"Illicit enrichment ini paling tepat diatur di Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu perlu revisi," katanya.
Pilkada yang dipilih lewat DPRD, menurut Hamzah merupakan langkah mundur demokrasi.
"Kalau pengadilan tidak bisa memberikan efek jera terhadap para pemilik lembaga pendidikan itu, saya khawatir ini akan terus berulang terjadi," ujar Lia.
Ketika Prabowo menjabat Menhan, beberapa prajurit TNI eks Tim Mawar mendapat posisi strategis
Ide ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.
Ide ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.
"Penyandang disabilitas adalah manusia pada umumnya yang bisa menjadi tersangka atau pelaku, bisa menjadi korban, bisa menjadi saksi," kata Jonna.
Rotasi 300 jenderal TNI merupakan bagian dari konsolidasi Prabowo sebagai panglima tertinggi.