Suara.com - Wacana pemilihan kepala daerah atau Pilkada dipilih kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dikritik. Pengamat hukum tata negara hingga pakar kepemiluan menilai ini sebagai langkah mundur demokrasi. Mereka juga mengungkap beragam persoalan yang mungkin timbul jika sistem tersebut kembali diberlakukan.
WACANA Pilkada dipilih oleh DPRD kembali bergulir. Sepuluh tahun lalu, Rancangan Undang-Undang atau RUU Pilkada dipilih oleh DPRD sempat disetujui oleh DPR RI. Namun, rancangan regulasi itu dicabut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu, presiden RI ke-6 itu mencabut aturan tersebut setelah mendapat penolakan keras dari masyarakat.
Kini Presiden Prabowo Subianto kembali menggulirkan wacana serupa. Dalam pidatonya di hari ulang tahun ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, pada Kamis, 12 Desember 2024 malam, Prabowo mengungkap biaya mahal di balik pelaksanaan Pilkada langsung —dipilih oleh rakyat— sebagai salah satu alasannya.
“Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” ungkap Prabowo.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah tak sepakat. Ia menilai alasan mahalnya biaya Pilkada langsung tidak serta-merta bisa dijadikan dasar untuk mengembalikan Pilkada dipilih oleh DPRD. Musababnya, biaya mahal justru lebih banyak dikeluarkan oleh para kontestan karena praktik mahar politik. Alih-alih mengembalikan sistem Pilkada dipilih DPRD, ia menyarankan agar melakukan perbaikan sistem pengelolaan pemilu atau electoral management.
"Bukan berarti mengembalikan ke DPRD. Seperti lumbung padi kena hama tikus, jangan lumbungnya yang dibakar. Tikusnya yang diusir keluar. Kan logika sederhana semacam itu," jelas Hamzah kepada Suara.com, Senin (16/12/2024).
Pilkada yang dipilih lewat DPRD, menurut Hamzah merupakan langkah mundur demokrasi. Ia tak memperbaiki persoalan yang ada. Hamzah khawatir praktik politik transaksional malah akan semakin tumbuh subur.
Saat berpidato di HUT ke-60 Partai Golkar, Prabowo juga mengklaim alasan mengembalikan Pilkada dipilih oleh DPRD demi mempermudah proses transisi kepemimpinan. Ketua Umum Partai Gerindra itu menjadikan negara tetangga seperti Malaysia dan India sebagai contohnya.
Hamzah justru menduga wacana mengembalikan Pilkada dipilih oleh DPRD sebagai upaya rezim Prabowo mempermudah kelompok oligarki untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya.
"Ini semacam upaya membajak proses partisipasi publik atau membajak ruang partisipasi rakyat oleh kepentingan kekuasaan rezim hari ini," ungkapnya.
Jalan Mundur Demokrasi
Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Yance Arizona juga mencurigai adanya agenda besar di balik wacana Pilkada dipilih kembali oleh DPRD. Ia menduga ada wacana besar lainnya, yakni pemilihan Presiden yang juga berpotensi dipilih kembali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR RI.
Pada Juni 2024 lalu, wacana Presiden kembali dipilih MPR RI sempat mencuat. Bahkan, saat itu Ketua Dewan Perwakilan Daerah atau DPD La Nyalla Mattalitti menyebut, Prabowo sebagai presiden terpilih telah setuju dengan usulan itu.
"Kalau hal ini dibiarkan bisa menggejala, jangan-jangan nanti pemilihan presiden pun juga mau dikembalikan dipilih oleh MPR, bukan lagi langsung oleh rakyat," ungkap Yance kepada Suara.com, Senin (16/12/2024).
Padahal, kata Yance, semangat demokratisasi yang diwariskan era reformasi adalah gagasan kedaulatan rakyat yang diwujudkan dengan pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung. Sehingga ia menilai pandangan Prabowo itu sebagai langkah mundur dan lemahnya komitmen terhadap demokrasi.
Terlebih alasan terkait mahalnya biaya Pilkada langsung menurut Yance tidak logis. Penyelenggaraan Pilkada langsung secara serentak, kata dia, itu dilakukan salah satunya juga bertujuan untuk meminimalisir biaya jika dibandingkan dengan pemilihan sebelumnya yang digelar secara tidak serentak.
Sementara terkait besarnya biaya yang dikeluarkan oleh kontestan, Yance menyebut itu bagian dari permasalahan kultur politik yang perlu dibenahi oleh masing-masing partai politik dan kontestan.
"Saya menilai kesalahannya justru bukan pada sistemnya, meskipun dalam beberapa hal perlu dibenahi. Kesalahan paling besar terletak dalam kultur demokrasi kita dan kita telah lama kehilangan keteladanan pemimpin yang demokratis. Gagasan yang dilontarkan Presiden Prabowo juga cerminan lemahnya komitmen pemimpin politik terhadap nilai-nilai dasar demokrasi," ujar Yance.
Penegakkan Hukum
Pendapat serupa juga disampaikan pakar kepemiluan sekaligus Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Ia menilai mengembalikan sistem Pilkada dipilih oleh DPRD tidak lantas menjamin hilangnya praktik money politik di Indonesia.
Titi lantas menjelaskan, perubahan sistem Pilkada dari semula dipilih oleh DPRD menjadi pemilihan langsung melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, itu justru dilatarbelakangi oleh praktik politik uang yang tinggi. Di mana ketika itu terjadi jual beli dukungan atau jual beli kursi dan suara dari para anggota DPRD demi keterpilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh para anggota DPRD atau candidacy buying.
Pilkada dipilih oleh DPRD ini diketahui pernah berlaku di masa Presiden RI ke-2 Soeharto. Sekalipun dipilih oleh DPRD, Soeharto selaku penguasa rezim Orde Baru atau Orba, kala itu memiliki wewenang yang kuat dalam menentukan kepala daerah demi kepentingan kekuasaannya. Wewenang tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Di mana pada Pasal 11 dijelaskan, Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh; a. Presiden bagi daerah tingkat I; b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi daerah tingkat II.
Syahdan, setelah 32 tahun Soeharto berkuasa —termasuk menguasai pemerintahan daerah— pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut mengatur Pilkada tetap dipilih DPRD, tanpa intervensi atau campur tangan presiden dan menteri dalam negeri atau Mendagri. Namun dalam pelaksanaannya sistem tersebut justru menyuburkan politik uang atau transaksional antara calon kepala daerah dan DPRD.
Di tahun 2004 kemudian muncul gagasan untuk mengubah Pilkada tak lagi dipilih oleh DPRD melainkan dipilih langsung oleh masyarakat seperti pemilihan anggota legislatif dan presiden. Sampai akhirnya lahir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di masa Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Titi mengungkap persoalan terkait politik uang ini bukan terletak pada metode pemilihan langsung atau tidak langsung. Tetapi justru terletak pada lemahnya penegakan hukum dan buruknya demokratisasi di internal partai politik.
"Apabila pemilihan dikembalikan ke DPRD mungkin saja biayanya menjadi lebih murah, tapi tidak serta-merta menghilangkan praktik politik uang dan juga politik biaya tinggi dalam proses pemilihannya. Karena yang menjadi akar persoalannya, yaitu buruknya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai tidak pernah benar-benar dibenahi dan diperbaiki," kata Titi kepada wartawan, Jumat (13/12).
Titi mengingatkan, perubahan sistem Pilkada ini tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Di mana berdasar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/PUU-XXII/2019 telah menyatakan bahwa pembentuk undang-undang jangan acap kali mengubah mekanisme pemilihan langsung yang ada di Indonesia. Selain itu ia juga merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi No.85/PUU-XX/2022 yang menyatakan, bahwa Pilkada adalah Pemilu sehingga harus diselenggarakan sesuai dengan asas dan prinsip Pemilu yaitu luber dan jurdil. Serta pelaksanaannya dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang juga menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP.
"Dalam pandangan saya lebih baik pemerintah fokus menata konsolidasi demokrasi di Indonesia tanpa harus banyak membuat narasi yang bisa menimbulkan kontroversi karena mempreteli hak rakyat dalam berdemokrasi," pungkasnya.
"Kalau pengadilan tidak bisa memberikan efek jera terhadap para pemilik lembaga pendidikan itu, saya khawatir ini akan terus berulang terjadi," ujar Lia.
Ketika Prabowo menjabat Menhan, beberapa prajurit TNI eks Tim Mawar mendapat posisi strategis
Ide ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.
Ide ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.
"Penyandang disabilitas adalah manusia pada umumnya yang bisa menjadi tersangka atau pelaku, bisa menjadi korban, bisa menjadi saksi," kata Jonna.
Rotasi 300 jenderal TNI merupakan bagian dari konsolidasi Prabowo sebagai panglima tertinggi.
komitmen pemberantasan korupsi lewat Kortas Tipikor dipertanyakan, mengingat kasus Firli yang menggantung.