Menagih Independensi KPK di Tengah Wacana Penyidik Tunggal Kasus Rasuah
Home > Detail

Menagih Independensi KPK di Tengah Wacana Penyidik Tunggal Kasus Rasuah

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Kamis, 12 Desember 2024 | 19:05 WIB

Suara.com - Wacana menjadikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga tunggal penyidikan kasus korupsi kembali muncul. Ide ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.

Yusril menyebut, wacana tersebut sejalan dengan Konvensi Antikorupsi PBB dan UU Nomor 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, ada tumpang tindih kewenangan antara KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri dalam penanganan perkara korupsi.

“KPK memiliki kewenangan spesifik untuk menangani kasus yang menarik perhatian publik atau dengan kerugian negara lebih dari satu miliar. Namun, kewenangan ini juga dimiliki oleh polisi dan kejaksaan,” jelas Yusril di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa (10/12/2024).

Meski begitu, wacana ini belum final. Yusril menegaskan bahwa gagasan tersebut masih perlu diskusi panjang. Bukan hanya dengan lembaga penegak hukum, tetapi juga akademisi dan aktivis antikorupsi.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra. (Suara.com/Dea)
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra. (Suara.com/Dea)

Jika wacana ini jadi direalisasikan, langkah pertama adalah merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. 

“Tidak bisa terburu-buru,” pungkas Yusril.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menilai independensi KPK harus menjadi perhatian utama sebelum wacana ini direalisasikan. Dalam Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption), salah satu kewajiban negara anggota adalah memiliki lembaga antikorupsi yang independen.

“Tujuannya agar penanganan perkara korupsi bebas dari potensi intervensi lembaga kekuasaan mana pun,” ujar Diky kepada Suara.com, Kamis (12/12/2024).

Peneliti ICW Diky Anandya memaparkan hasil analisis terkait tren korupsi sepanjang 2023 di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (19/5/2024). (Suara.com/Yaumal)
Peneliti ICW Diky Anandya memaparkan hasil analisis terkait tren korupsi sepanjang 2023 di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (19/5/2024). (Suara.com/Yaumal)

Disfungsi sistem kontrol kekuasaan

Namun, independensi KPK justru dipertanyakan sejak revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Revisi ini membuat KPK berada di bawah rumpun eksekutif, sementara status pegawainya beralih menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dalam tulisannya di The Conversation, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Anthoni Utra, menilai bahwa revisi UU KPK pada 2019 merupakan puncak dari upaya pelemahan yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.

Sejak 2009, DPR dan pemerintah sudah sembilan kali menggagas revisi UU KPK. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, revisi yang diajukan DPR selalu ditolak. Namun, upaya serupa kembali muncul pada masa pemerintahan Jokowi.

Sejak 2015, DPR dan pemerintah terus mengusulkan revisi tersebut, yang akhirnya terwujud pada September 2019.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Nabila Yusuf, dalam tulisannya di The Conversation menyatakan mulusnya revisi UU KPK merupakan contoh lemahnya checks and balances praktik legislasi di Indonesia. 

Sejak amandemen UUD 1945 keempat pada 2002, DPR memiliki kekuasaan utama dalam pembentukan UU, meski presiden tetap berwenang mengajukan, membahas, dan mengesahkan rancangan UU. Sayangnya, revisi UU KPK tahun 2019 menunjukkan kolaborasi DPR dan presiden mengabaikan partisipasi publik, meski protes besar terjadi.

Praktik ini mencerminkan pola politik totaliter. Dalam situasi ini, masyarakat dianggap tidak perlu dilibatkan. Demikian tulis Nabila mengutip Miriam Budiardjo. Dalam konteks ini, gagasan partisipasi hanya alat kontrol oleh elite politik.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) yang semestinya menjadi pengoreksi juga gagal menjalankan fungsinya sebagai penyeimbang kekuasaan antara presiden dan DPR. 

Di sisi lain, hasil analisis Transparency International Indonesia melalui Anti-Corruption Agency (ACA) Assessment menunjukkan penurunan signifikan kinerja KPK pasca-revisi UU tersebut. Dari 50 indikator yang terbagi dalam enam dimensi, independensi KPK tercatat menurun sebesar 55 persen. Selain itu, dimensi penyelidikan dan penuntutan juga mengalami penurunan hingga 22 persen.

Independensi, Syarat Mutlak Penyidik Tunggal

Diky Anandya menegaskan pentingnya merevisi Undang-Undang KPK untuk memulihkan independensi lembaga ini sebelum menjadikannya penyidik tunggal kasus korupsi. Independensi para pimpinan KPK juga harus dipastikan, selain Independensi kelembagaan 

"Proses pemilihan pimpinan dalam beberapa periode terakhir menunjukkan masalah ini," ujar Diky. 

Contohnya, pemilihan pimpinan KPK 2024-2029 dinilai tidak objektif. Komposisi pimpinan didominasi aparat penegak hukum, seperti Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Salah satu pimpinan terpilih, Johanis Tanak, bahkan sempat tersandung dugaan pelanggaran etik karena berkomunikasi dengan pihak yang berperkara.

Diky menekankan, para pimpinan KPK harus benar-benar lepas dari keterikatan lembaga asal. 

"Mereka harus mengundurkan diri saat memimpin KPK, apalagi jika KPK menjadi lembaga tunggal penyidik korupsi," tegasnya.

Tantangan Politik dan Dukungan Publik

Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rohman, menyebut wacana ini menarik dan berpotensi direalisasikan. Namun, ia mengingatkan tantangan politisnya.

"Apakah partai koalisi pemerintah bersedia? Bisakah Presiden Prabowo meyakinkan mereka? Bagaimana menghadapi resistensi dari Polri dan Kejaksaan Agung?" tanya Zaenur. 

Jika semua itu dapat diatasi, menurutnya, wacana ini akan membawa perbaikan.

Namun, ia menilai langkah yang lebih mendesak adalah memulihkan independensi KPK melalui revisi UU KPK.

Wacana ini juga memicu perdebatan di Komisi III DPR RI. Hinca Panjaitan dari Fraksi Demokrat menyambut baik ide tersebut. Menurutnya, diskusi lebih lanjut diperlukan, termasuk mendengar masukan masyarakat.

Sebaliknya, Nasir Djamil dari Fraksi PKS menyebut wacana ini berlebihan. Ia khawatir KPK akan kewalahan.

"Kejaksaan dan Polri justru membantu KPK dengan kewenangan yang ada," ujarnya.


Terkait

CEK FAKTA: Benarkah Keluarga Jokowi Terlibat Korupsi Pertamina?
Minggu, 30 Maret 2025 | 18:00 WIB

CEK FAKTA: Benarkah Keluarga Jokowi Terlibat Korupsi Pertamina?

Hingga Rabu (27/03/2025) unggahan tersebut telah disukai oleh hampir 19.000 pengguna dan menuai 2.000-an komentar.

CEK FAKTA: Benarkah Ketua BAZNAS Korupsi Dana Zakat Rp 11,7 Triliun?
Minggu, 30 Maret 2025 | 15:51 WIB

CEK FAKTA: Benarkah Ketua BAZNAS Korupsi Dana Zakat Rp 11,7 Triliun?

Kabar itu beredar di media sosial (Medsos) Instagram. Yakni, akun "mus76_official".

Wali Kota Depok Izinkan ASN Mudik Pakai Mobil Dinas, KPK: Mestinya Cegah Penyalahgunaan Fasilitas
Sabtu, 29 Maret 2025 | 21:23 WIB

Wali Kota Depok Izinkan ASN Mudik Pakai Mobil Dinas, KPK: Mestinya Cegah Penyalahgunaan Fasilitas

KPK kritik Walikota Depok yang izinkan ASN mudik pakai mobil dinas. KPK ingatkan kepala daerah jadi teladan dan aset negara harus digunakan sesuai aturan. Gratifikasi langgar kode etik.

KPK Buka Layanan Kunjungan dan Pengiriman Barang untuk Tahanan pada Hari Raya Idulfitri
Sabtu, 29 Maret 2025 | 11:30 WIB

KPK Buka Layanan Kunjungan dan Pengiriman Barang untuk Tahanan pada Hari Raya Idulfitri

KPK beri kesempatan kunjungan keluarga dan kirim barang atau makanan untuk tahanan saat Idulfitri.

Terbaru
Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba
polemik

Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba

Minggu, 30 Maret 2025 | 21:45 WIB

Harapan untuk Timnas Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2026 masih ada. Patrick Kluivert diminta untuk tidak coba-coba formasi demi hasil maksimal.

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu polemik

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu

Sabtu, 29 Maret 2025 | 11:06 WIB

Apa yang menjadi tuntutan VISI dan AKSI untuk segera diselesaikan melalui Revisi UU Hak Cipta?

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL polemik

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL

Jum'at, 28 Maret 2025 | 22:56 WIB

Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers! polemik

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers!

Jum'at, 28 Maret 2025 | 14:21 WIB

Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi? polemik

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi?

Jum'at, 28 Maret 2025 | 08:26 WIB

Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah polemik

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah

Kamis, 27 Maret 2025 | 17:41 WIB

Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat! polemik

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat!

Kamis, 27 Maret 2025 | 11:59 WIB

Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.