Suara.com - Keberadaan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Kortas Tipikor di tubuh Polri diragukan. Kasus Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri jadi buktinya.
Sudah setahun lebih Firli Bahuri menyandang status tersangka, tepatnya sejak 22 November 2023. Selama itu pula kasus pemerasan yang menjerat pensiunan jenderal bintang tiga ini tak ada kejelasan. Firli diduga memeras mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo atau SYL.
Pada persidangan kasus korupsi SYL, terungkap sejumlah fakta. Di antaranya pemberian uang Rp1,3 miliar kepada Firli. SYL juga mengakui adanya pertemuan dengan Firli di gedung olahraga yang berada di Jakarta Barat.
Di tengah ketidakpastian kasus yang menjerat Firli, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menggagas pembentukan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Kortas Tipikor. Pembentukannya merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Oktober 2024.
Kortas Tipikor diklaim untuk melengkapi fungsi sebelumnya yang melekat di Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipdikor) Bareskrim Polri. Selain memiliki fungsi penyidikan dan penyelidikan, Kortas Tipikor memiliki fungsi pencegahan dan penelusuran, serta pengamanan aset.
Pembentukan Kortas Tipikor juga dianggap sebagai bentuk komitmen Polri dalam memberantas korupsi, sebagaimana disampaikan Listyo saat mengenalkan korps barunya itu pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember lalu di Jakarta Selatan.
"Sedikit pengenalan dengan Kortas Tipikor dan juga sebentar lagi akan kita optimalkan untuk bisa melaksanakan tugasnya bagi pencegahan dan pemberantasan korupsi," katanya.
Buruknya Kualitas Penyidik
Hanya saja komitmen pemberantasan korupsi lewat Kortas Tipikor dipertanyakan, mengingat kasus Firli yang menggantung.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anindya menilai pembentukan Kortas Tipikor menjadi percuma dengan berkaca pada kasus Firli Bahuri yang tak kunjung ditahan dan dibawa ke persidangan.
"Kualitas penanganan kasus yang mereka lakukan itu justru jauh dari harapan publik. Terutama itu bisa berkaca dari penanganan kasusnya Firli yang berlarut-larut," kata Diky kepada Suara.com, Rabu (11/12/2024).
Menurutnya pembentukan Kortas Tipikor hanya sekedar pergantian nama dari Dittipdikor dengan menambahkan beberapa kewenangan. Padahal kata Diky persoalan penanganan korupsi di Polri berkutat pada proses penyidikan.
"Tapi soal kompetensi penyidik itu belum mendapatkan solusi bagaimana peningkatannya," kata Diky.
Buruknya kompetensi penyidikan, terlihat jelas pada perkara Firli Bahuri. Pada perjalanan kasusnya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta beberapa kali mengembalikan berkas perkara Firli yang diserahkan penyidik Polda Metro Jaya.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menyatakan berkasnya masih ada yang belum dilengkapi, di antaranya kurang keterangan saksi. Terbaru Kasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Daerah Hukum Jakarta, Syahron Hasibuan, pada 6 Desember lalu, menyebut berkas perkara Firli sudah lengkap, hanya saja belum diserahkan penyidik.
Sementara Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak, pada 28 November lalu, menyebutkan, penyidik masih melengkapi P-19.
Buruknya kualitas penyidikan turut terlihat dari penyidik Polda Metro Jaya yang tidak melakukan penjemputan paksa kepada Firli. Terbaru pada agenda pemeriksaan pada 28 November, Firli kembali mangkir. Upaya Firli menghindari pemeriksaan, bukan yang pertama kali, tapi sudah sering terjadi.
Buruknya penyidikan tindak pidana korupsi oleh Polri juga terlihat pada kuantitas kasus yang ditanganinya yang jumlahnya jauh di bawah Kejaksaan Agung dan KPK.
Catatan ICW pada 2023 menunjukkan dari 192 kasus yang ditangani, Polri hanya menetapkan 385 tersangka. Tertinggal jauh dibanding Kejaksaan Agung yang mencatatkan 551 kasus dengan 1163 tersangka.
Kejaksaan Agung dan Polri sama-sama bisa menangani kasus korupsi di tingkat desa hingga provinsi serta nasional. Sementara KPK menorehkan penanganan 48 kasus dengan 147 tersangka. Catatan untuk KPK, kasus yang bisa ditanganinya hanya pada korupsi dengan nilai di atas Rp 1 miliar.
"Jadi buat apa membentuk Kortas Tipikor, kalau misalnya kompetensi penyidiknya saja, enggak jadi perhatian utama untuk ditingkatkan," ujar Diky.
Oleh karenanya Diky menilai, pembentukan Kortas Tipikor di tengah mandeknya kasus Firli Bahuri hanya akan semakin memperburuk citra Polri. Ditambah lagi, kata Diky, kasus penembakan di luar hukum yang marak dilakukan Polri dalam beberapa tahun terakhir.
"Maka, ya, bukan tidak mungkin, Polri akan semakin kehilangan marwahnya di mata publik," tegasnya.
Kegagalan Polri
Sementara Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito menilai kasus Firli sebagai penanda penting bentuk keseriusan Polri dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun, melihat penanganannya, Lakso merasa wajar jika publik pesimistis terhadap Polri pada perkara Firli.
"Jangan sampai publik melihat, Firli memang menjadi sosok tidak tersentuh dan aparat penegak hukum tidak berdaya dalam penanganannya," kata Lakso kepada Suara.com.
Dia menegaskan, kegagalan penanganan kasus Firli bukan hanya menjadi tanggung jawab Polda Metro Jaya, melainkan kegagalan institusi Polri. Kesalahannya menurutnya tak bisa hanya dilimpahkan kepada Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto.
"Kapolri sebagai penanggungjawab penanganan kasus memiliki posisi penting dalam menentukan sukses tidaknya penanganan kasus Firli ini," tegas Lakso.
Sementara Karyoto pada 20 November lalu, mengklaim bahwa kasus Firli Bahuri akan diselesaikannya. Sedangkan Listyo pada 4 Desember lalu meminta publik mengikuti prosedur hukum yang sedang berjalan. Pernyataan itu disampaikannya menanggapi soal Firli yang tak kunjung ditahan.
"Tentunya penyidik memiliki alasan-alasan subjektif," kata Listyo.
"Rendahnya skor pemajuan HAM memvalidasi gagalnya Presiden Jokowi dalam memenuhi janji-janji, baik dalam nawacita pertama maupun nawacita kedua," kata Insiyah.
"Jadi ibu kotanya (negara) sekarang itu ada di Daerah Khusus Jakarta," kata Manunggal.
Gerindra tidak mungkin memberikan ruang kepada Jokowi untuk bergabung setelah dipecat PDIP.
Dualisme terjadi antara Jusuf Kalla (JK) dan Agung Laksono.
Sejumlah polisi yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dapat promosi jabatan, bahkan ada yang naik pangkat jadi jenderal.
Ketua PPDI NTB, Asim Barnas, miris atas kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan Agus Buntung, penyandang disabilitas.
"Efek domino dari kenaikan harga barang mewah akan merembet ke berbagai sektor, melemahkan daya beli, dan memperbesar kesenjangan ekonomi," ujar Achmad.