Suara.com - Tax amnesty atau pengampunan pajak yang akan diterapkan pemerintah dinilai tidak adil di tengah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen. Kebijakan tersebut akan berdampak pada masyarakat menengah ke bawah.
Ketimpangan akan semakin lebar, bahkan bisa mengakibatkan kondisi ekonomi masyarakat kecil semakin sulit. Sekalipun belakangan, Presiden Prabowo Subianto menyebut PPN 12 persen itu akan berlaku selektif hanya untuk barang mewah.
PAJAK Pertambahan Nilai atau PPN merupakan pajak yang wajib dibayarkan saat melakukan transaksi jual beli yang termasuk dalam objek Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Kebijakan terkait kenaikan PPN 12 persen ini tercantum dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di era pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian atau Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkap tiga alasan pemerintah menaikkan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025. Pertama demi meningkatkan pendapatan negara. Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan ketiga guna menyesuaikan dengan standar internasional. Di mana rata-rata PPN di seluruh dunia, termasuk negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), memberlakukan tarif PPN sebesar 15 persen.
Presiden Prabowo Subianto belakangan menyampaikan, PPN 12 persen ini akan diterapkan secara selektif hanya untuk barang mewah. Pertimbangannya, demi melindungi rakyat kecil.
Namun, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat justru menilai dampak daripada kenaikan PPN 12 persen tidak sesederhana yang dipikirkan pemerintah. Walaupun secara langsung menyasar kelompok ekonomi atas, kebijakan tersebut disebut akan turut memberikan dampak yang merambat ke kelompok masyarakat menengah dan kecil.
"Efek domino dari kenaikan harga barang mewah akan merembet ke berbagai sektor, melemahkan daya beli, dan memperbesar kesenjangan ekonomi. Pemerintah harus berhati-hati dalam merancang dan menerapkan kebijakan fiskal seperti ini," kata Achmad kepada Suara.com, Senin (9/12/2024).
Salah satu efek yang sering diabaikan dari kebijakan seperti ini adalah dampak tidak langsung terhadap barang dan jasa lain yang terkait dengan barang mewah. Achmad mencontohkan, peningkatan PPN untuk kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi industri pendukung seperti layanan perbaikan, asuransi, hingga suku cadang. Jika produsen dan penyedia jasa di sektor ini menaikkan harga untuk menyesuaikan dengan kenaikan tarif pajak, maka masyarakat menengah yang menggunakan produk atau layanan tersebut juga akan terdampak.
Hal serupa, kata Achmad, juga terjadi pada sektor properti. Properti dengan harga tertentu dalam kategori barang mewah akan dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi yang kemudian berdampak pada harga sewa, biaya perawatan, hingga biaya bahan bangunan. Pada akhirnya, biaya tambahan tersebut lagi-lagi akan dibebankan kepada konsumen akhir, termasuk kelompok masyarakat menengah dan kecil.
Mengapa Kelompok Kecil Ikut Terdampak?
Achmad menyebut dampak kenaikan PPN 12 persen untuk barang mewah akan turut dirasakan kelompok ekonomi kecil melalui mekanisme ekonomi yang disebut spillover effect. Ia menjelaskan, ketika barang-barang yang terkait dengan barang mewah mengalami kenaikan harga, biaya hidup secara keseluruhan juga akan mengalami peningkatan. Akhirnya, konsumen dari semua lapisan ekonomi termasuk menengah dan kecil harus membayar harga yang lebih tinggi untuk barang kebutuhan sehari-hari.
Kelompok masyarakat ekonomi kecil, kata Achmad, juga sering kali bekerja di sektor-sektor yang mendukung konsumsi barang mewah. Ketika permintaan barang mewah menurun akibat kenaikan pajak, pekerjaan mereka pun ikut terdampak.
"Contohnya, pekerja di industri perhotelan, catering untuk acara-acara besar, atau bahkan pedagang kecil yang berjualan di sekitar kawasan mewah bisa kehilangan pendapatan jika konsumsi di sektor ini menurun," jelasnya.
Daripada menggunakan tarif flat PPN 12 persen untuk semua barang mewah, Achmad menyarankan pemerintah memberlakukan tarif pajak progresif berdasarkan nilai barang. Pendekatan ini dinilai lebih adil dan tidak terlalu membebani kelompok masyarakat menengah.
Sementara untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan ini, pemerintah dapat memberikan insentif bagi produsen lokal yang memproduksi barang serupa dengan barang mewah impor. Selain sebagai bentuk dukungan terhadap industri lokal, langkah ini menurut Achmad bisa menjadi alternatif penyedian produk yang lebih terjangkau bagi konsumen.
"Pajak yang tinggi tidak seharusnya menjadi beban tambahan bagi kelompok yang paling rentan, melainkan alat untuk menciptakan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ujar Achmad.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut adanya perbedaan tarif PPN 12 persen untuk barang mewah dan PPN 11 persen untuk barang lainnya adalah pertama kali dalam sejarah. Kebijakan tersebut diyakini selain akan membuat bingung pelaku usaha dan konsumen, juga akan menimbulkan permasalahan baru.
"Contohnya adalah toko peralatan elektronik. Faktur pajaknya juga akan lebih kompleks. Pelaku usaha ritel bisa teruskan ke konsumen dengan harga barang yang lebih mahal. Daya beli kelas menengah akan terancam, meski PPN 12 persen diterapkan ke barang mewah," ungkap Bhima kepada Suara.com, Senin (9/12/2024).
Bhima juga mewanti-wanti terjadinya preemptives inflation atau inflasi yang mendahului kebijakan pajak. Apalagi di tengah kondisi mendekati momen Tahun Baru dan Natal yang secara seasonal harga barang jasa akan naik.
"Jadi pengusaha akan kompensasi ketidakjelasan aturan PPN 12 persen ke konsumen akhir," kata dia.
Menurut Bhima, Kementerian Keuangan atau Kemenkeu perlu merincikan kategori barang mewah kena PPN 12 persen secara lebih jelas. Sekalipun itu menurutnya akan nampak aneh lantaran adanya perbedaan tarif barang ini semestinya juga harus mengubah Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Hanya karena sudah injury time jelang pelaksanaan PPN 12 persen per Januari 2025 maka aturan dibuat mengambang. Seharusnya kalau mau perhatikan daya beli masyarakat terbitkan Perpu hapus pasal 7 di UU HPP soal PPN 12 persen. Itu solusi paling baik," tegas Bhima.
Tak Efektif
Sama seperti kebijakan Tax Amnesty, Bhima menilai kenaikan PPN 12 persen secara selektif untuk barang mewah tidak akan efektif mendorong penerimaan negara lebih besar. Musababnya, masih banyak persoalan atau distorsi di balik pemungutan pajak barang mewah. Salah satunya, pola konsumsi masyarakat kelas atas yang acap kali justru belanja barang mewah di luar negeri.
Selain itu, Bhima mengungkap persoalan lain seperti munculnya fenomena belanja lewat jasa titip atau Jastip. Di mana sebagian dari mereka masih banyak yang tidak membayar PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah atau PPnBM serta bea masuk.
"Kebocoran barang mewah masih marak di Indonesia," tuturnya.
Menurut Bhima, di tengah situasi ekonomi dan kebijakan pemerintah yang berlaku tahun depan —banyaknya pungutan baru dan terjadinya perlambatan harga komoditas ekspor— akan menbuat konsumen barang mewah menunda pembelian. Dalam kondisi itu, akan ada kecenderungan tingkat saving atau simpanan di bank maupun surat berharga semakin naik. Berdasar data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Bhima menyebut per Juli 2024 simpanan di atas Rp5 miliar mengalami pertumbuhan 10,4 persen year on year/YoY.
Bhima menilai kebijakan kenaikan PPN 12 persen ini juga kontradiktif dengan Tax Amnesty.
“Usulan Tax Amnesty jilid III juga memicu perubahan perilaku orang kaya yang khawatir ada pengungkapan harta berupa barang mewah, ditambah harus menyisihkan uang untuk bayar tebusan. Itu kontradiksi dengan efek PPN 12 persen terhadap penerimaan pajak di 2025,” bebernya.
Selain memberlakukan kenaikan PPN 12 persen untuk barang mewah, pemerintah juga berencana memberlakukan pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III di 2025. Kebijakan ini dikritik lantaran dinilai hanya menguntungkan orang-orang kaya pengemplang pajak.
Kebijakan ini pertama kali dikeluarkan Presiden Jokowi pada 18 Juli 2016-31 Maret 2017 yang dikenal dengan Tax Amnesty Jilid I. Enam tahun kemudian pada 1 Januari-30 Juni 2022, Jokowi kembali memberlakukan kebijakan Tax Amnesty Jilid II.
Sementara wacana Presiden Prabowo memberlakukan kebijakan Tax Amnesty Jilid III ini muncul setelah masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025 yang telah disetujui DPR RI.
Bhima menilai langkah pemerintah memberlakukan kembali kebijakan Tax Amnesty "blunder" jika semata-mata ingin meningkatkan penerimaan pajak negara.
"Rasio pajak kan sudah terbukti tidak naik paska Tax Amnesty Jilid ke I dan II. Apa pengaruhnya tax amnesty? Jelas tidak ada," ungkap Bhima.
Alih-alih meningkatkan penerimaan pajak, Bhima khawatir kebijakan justru akan menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat menengah dan kecil. Selain juga akan memicu moral hazard lantaran terlalu sering diberlakukan.
"Pasti pengemplang pajak akan berasumsi setelah Tax Amnesty III akan ada lagi. Ini moral hazardnya besar sekali," pungkas Bhima.
Apple masih belum memenuhi sejumlah syarat penting agar perangkat tersebut bisa resmi dipasarkan di Tanah Air.
Imbasnya, harga barang dan jasa sudah telanjur naik. Menurut pengamat, harga-harga yang sudah naik ini akan susah kembali untuk diturunkan.
Menurutnya, LHKPN merupakan salah satu bentuk pengawasan terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Industri otomotif dihadapkan pada naiknya PPN menjadi 12 persen dan berlakunya opsen pajak.
Kalau boleh jujur, Pandji jadi man of the match pertunjukan The Founder5.
Kalau memang harus dihapus saya setuju, tapi lebih ke semangat penghapusan diskriminasinya, kata Shinte.
Firli disebut memiliki peran dalam mengintervensi kasus yang juga menjerat Harun Masiku.
Suatu ketika, Raymond pernah meminta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk menuliskan Tidak Beragama pada kolom agama di KTP.
Mendikdasmen Abdul Mu'ti menyatakan pengetahuan soal pasar modal memungkinkan dimasukkan dalam mata pelajaran matematika.
Tak hanya itu, salah satu dokumen berisi upaya Jokowi mengkriminalisasi mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam kasus Formula E.
"Hasto sudah mengusulkan sejumlah nama kepada Ibu Mega. Ketua umum sendiri baru pulang dari Hong Kong hari ini," kataSumber Suara.com,Selasa (7/1).