Suara.com - Museum Tsunami Aceh bukan sekadar ruang pamer, melainkan tempat menyimpan memori duka ribuan nyawa yang hilang. Setelah dua dekade tragedi itu berlalu, tempat ini kini jadi ruang edukasi mitigasi tsunami.
GELAP menyergap begitu memasuki lorong itu. Lamat-lamat, suara zikir menyelusup ke telinga. Di antara remang-remang lampu biru, gemuruh ombak terdengar sayup-sayup, diselingi teriakan orang-orang. Makin jauh menyusuri lorong, percikan air terasa menetes dan menyentuh kepala.
Dari dinding di kedua sisi lorong yang lebarnya sekitar dua meter itu, air mengalir turun. Ketika mendongak ke atas, hanya langit-langit gelap yang tampak. Langkah pun terhenti karena lantai yang licin.
Mahrumin, dengan mata berkaca-kaca, hampir menangis saat melangkah di Lorong Tsunami itu.
"Saat pertama masuk ke sana, hati saya sangat bergetar sekali, terasa seperti tsunami terulang lagi," kata pria 58 tahun asal Kutacane, Aceh Tenggara, pada Kamis (5/12/2024).
Ini pengalaman pertama Mahrumin menyusuri lorong di Museum Tsunami Aceh. Meski tinggal di Aceh, dia berdomisili di kabupaten yang berjarak ratusan kilometer dari Banda Aceh, ibu kota provinsi, tempat museum itu berada.
Mahrumin bukanlah penyintas tsunami. Daerah tempat tinggalnya di kawasan pegunungan sisi tengah Aceh. Namun, ia merasa emosinya teraduk-aduk saat memasuki Museum Tsunami, terutama karena seorang keponakannya hilang ditelan bencana pada 26 Desember 2004 itu.
Mahrumin mengenang keponakannya, seorang anggota TNI, bernama Budi Hartono. Ketika musibah melanda, Budi tengah bertugas di kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh—titik mula ombak tsunami menyentuh daratan sebelum menyapu sebagian besar kota.
"Jenazahnya belum ditemukan sampai sekarang, tidak tahu bagaimana nasibnya," kata Mahrumin, dengan nada sedih.
Pada kunjungan siang menjelang sore itu, Mahrumin membawa serta keluarganya. Apa yang ia temui di dalam Museum Tsunami menjadi pembelajaran penting untuk mitigasi bencana di masa depan, terutama bagi generasi yang lahir setelah tragedi itu.
"Akan kami ceritakan kepada cucu mengenai tsunami. Supaya dia bisa mengingat dan mengerti nanti bagaimana kalau bencana ini terulang," kata Mahrumin.
Kejadian 20 Tahun Silam
Bencana itu bermula tepat pukul 07.58 WIB pada Ahad, 26 Desember 2004. Tanah Rencong diguncang gempa bumi 9,2 Skala Richter selama 8-10 menit. Getaran begitu kuat sehingga para pengendara sepeda motor di Kota Banda Aceh dan sekitarnya berhenti di tengah jalan. Mereka turun dari kendaraan, meletakkannya di tepi jalan, lalu duduk sembari berdoa.
Ketika gempa akhirnya mereda, warga kembali beraktivitas seperti biasa. Namun, sekitar 30 menit kemudian, gelombang tsunami setinggi 8-10 meter menghantam daratan. Warga panik dan berlarian menyelamatkan diri. Air laut menyapu habis segala sesuatu dalam radius 4 kilometer dari pantai, bahkan meluas hingga 3 kilometer lebih ke daratan.
Kota Banda Aceh dan Aceh Besar luluh lantak. Kota Calang di Aceh Jaya nyaris hilang dari peta, sementara Meulaboh di Aceh Barat hancur parah. Kerusakan juga melanda wilayah pesisir Nagan Raya, Pidie, Pidie Jaya, Simeulue, serta Kabupaten Nias di Sumatera Utara.
Tsunami tidak hanya melanda Indonesia, tetapi juga menjangkau pesisir negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, Sri Lanka, dan India. Bencana ini menjadi salah satu yang paling dahsyat di abad ke-21. Korban jiwa lebih dari 200 ribu orang, sementara setengah juta lainnya kehilangan tempat tinggal.
Proses evakuasi korban sangat berat. Banyak jenazah yang berserakan harus diurus oleh para relawan dan warga Aceh yang selamat, pekerjaan yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Kuburan massal digali untuk menampung ribuan korban. Bahkan bertahun tahun kemudian, kerangka korban tsunami masih ditemukan, terutama saat warga membangun rumah di pesisir pantai.
Kerusakan infrastruktur sangat besar. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias mencatat lebih dari 120.000 rumah rusak atau hancur, 800 kilometer jalan dan 2.260 jembatan rusak, 693 fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas tak lagi berfungsi, serta 2.224 gedung sekolah rusak. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp60 triliun.
Proses rekonstruksi Aceh memakan waktu hingga 10 tahun. Secara bertahap, bangunan, rumah, pelabuhan, jalan, dan jembatan yang rusak dibangun kembali, hingga kondisi fisik wilayah terdampak membaik.
Sebuah museum dibangun untuk mengenang bencana tsunami yang melanda Aceh. Pada 2007, sayembara tingkat internasional digelar untuk menentukan konsep bangunan museum ini. Ridwan Kamil, yang kala itu merupakan dosen arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB), memenangkan kompetisi tersebut. Museum Tsunami Aceh kemudian diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009.
Ridwan Kamil merancang Museum Tsunami Aceh dengan konsep rumoh Aceh dan on escape hill, yang menggambarkan sebuah bangunan berdiri di atas bukit buatan yang juga berfungsi sebagai area evakuasi. Dalam proses desainnya, ia terinspirasi nilai-nilai Islam, kearifan budaya lokal, serta abstraksi dari peristiwa tsunami itu sendiri.
Bagi Ridwan Kamil, mendesain museum ini jadi pekerjaan yang sangat melelahkan batin. "Museum Tsunami menjadi proyek tersulit saya," ceritanya dalam buku Mengubah Dunia Bareng-Bareng (2015). "Saat mendesain, saya selalu teringat korban tsunami."
Namun, Ridwan Kamil ingin agar Museum Tsunami Aceh tidak hanya menjadi pengingat akan kesedihan dan kehilangan, tapi juga sebagai sarana pembelajaran. Oleh karena itu, ia membagi desain museum ke dalam dua bagian utama.
Bagian pertama berbentuk bukit dengan ruang besar di dalamnya yang dimaksudkan untuk mengenang masa lalu. Sementara bagian kedua, yang juga berbentuk bukit, dirancang sebagai rumah masa depan yang digunakan untuk pendidikan dan pembelajaran.
"Tsunami adalah proses alami. Kalau masyarakat paham akan gejalanya, kehilangan yang besar tidak akan terulang lagi. Saya ingin melahirkan generasi-generasi yang paham dan waspada terhadap bencana," sebut Ridwan Kamil.
Memorial Hall
"Sesampainya di laut kukabarkan semuanya. Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari."
Tembang Ebiet G. Ade mengalun begitu keluar dari Lorong Tsunami. Di ruangan yang luas itu, pencahayaan mulai terasa lebih terang meski masih tetap temaram. Dan laut yang terdengar dari lirik lagu berjudul 'Berita kepada Kawan' itu justru terlihat menyengkak dalam 26 panel.
Di Memorial Hall atau Ruang Renungan, galeri foto menampilkan lautan yang murka; mengakibatkan bangunan rata tanah, jembatan hancur, hingga menyeret kapal ke daratan. Namun, di tengah kehancuran Banda Aceh yang terpampang dalam potret-potret itu, masjid-masjid masih berdiri kokoh, seolah menjadi saksi kekuasaan Ilahi.
"Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita. Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa."
Nyanyian Ebiet terus mengiringi langkah para pengunjung. Suara itu berasal dari sebuah video yang diproyeksikan di dinding ruangan, memperlihatkan rekaman detik-detik tsunami menerjang Banda Aceh.
Dari ruang ini pengunjung melanjutkan langkah ke Sumur Doa. Di dalamnya ayat-ayat suci Al-Qur’an mengalun, menciptakan suasana duka mendalam. Nuansa kelam memenuhi ruangan, dengan cahaya lampu kuning menerangi nama-nama korban di dinding melingkar menyerupai cincin sumur.
Di langit-langit sumur sebuah tulisan "Allah" dalam aksara Arab tampak bersinar, menjadi simbol harapan dan pengingat akan kebesaran-Nya di tengah kehancuran.
Menurut M. Syahputra Azwar, Kepala Museum Tsunami Aceh, tiga titik tersebut menjadi yang paling berkesan dan menyentuh bagi para pengunjung. Lorong Tsunami, dengan suasana gelap dan percikan air, membawa mereka seolah-olah merasakan kembali momen mencekam dua dekade silam.
"Seakan-akan merasakan seperti suasana tsunami," katanya kepada Suara.com pada Jumat (6/12).
Titik kedua adalah Memorial Hall. Sementara itu, titik ketiga, Sumur Doa, menjadi tempat yang penuh makna, mengajak pengunjung mengenang nama-nama korban sekaligus merenungkan kebesaran Allah.
Museum Tsunami Aceh saat ini juga menyasar pengunjung berusia di bawah 20 tahun atau lahir setelah tragedi itu. Misalnya, mengadakan pameran digital yang menarik bagi anak muda.
Ia menjelaskan bahwa terdapat sebuah ruangan yang menggambarkan kondisi laut sebelum tsunami. Dengan visualisasi yang nyata, pengunjung dapat menyaksikan bagaimana ombak besar datang.
“Seakan-akan dia akan menghantam pengunjung," kata Putra.
Di ruangan lain, ucap Putra, museum memiliki pameran digital yang interaktif. Pengunjung bisa mempelajari data-data terkait kondisi sebelum dan sesudah tsunami.
Sementara itu, Asratunnisa merasa sedih saat keluar dari Museum Tsunami Aceh.
"Saya terbayang bagaimana musibah ini melanda Aceh dulunya," kata perempuan 21 tahun asal Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya. Ia lahir setahun sebelum tsunami menerjang, dan desanya tak terdampak bencana itu.
Selain Lorong Tsunami, Asratunnisa begitu tersentuh ketika memasuki ruang audio visual. Di ruangan itu, diputar sebuah film dokumenter yang menggambarkan suasana pagi hari sebelum bencana terjadi, diikuti keruntuhan bangunan akibat gempa besar.
"Filmnya membuat saya merasa sedih," tuturnya.
Di sisi lain, menurut Syahputra, Museum Tsunami Aceh tak sekadar berfungsi sebagai ruang pamer, tapi juga tempat edukasi dan mitigasi bencana. Misalnya, rutin menggelar Smong Box yang mengundang anak sekolah ke museum untuk belajar mitigasi bencana.
Museum juga rutin menggelar simulasi evakuasi. Pada tahun ini, kegiatan tersebut diikuti pelajar dari berbagai sekolah di Banda Aceh.
"Kami menghadirkan pelajar, seolah-olah terjadi bencana, dan mereka lari ke rooftop lantai empat Museum Tsunami. Itu selalu dilakukan setiap tahunnya," katanya.
Secara desain, pagar Museum Tsunami Aceh dibuat pendek untuk memudahkan masyarakat melompati dan segera mengakses lantai empat sebagai tempat evakuasi darurat saat bencana.
"Hal ini pernah terjadi pada 2010, saat gempa hebat, semua orang berhamburan naik ke Museum Tsunami dengan akses yang lebih gampang," kata Putra.
Gempa yang dimaksud itu berkekuatan 7,2 Skala Richter (SR) yang mengguncang kawasan laut Meulaboh, Aceh, Minggu siang, 9 Mei 2010. Gempa itu berpotensi tsunami, meski peringatannya kemudian dicabut.
Saat ini, Museum Tsunami Aceh menerima sekitar 22 ribu pengunjung setiap bulan.
"Kami akan mencoba bertransformasi ke depan menjadi museum yang lebih terhubung ke anak muda dengan mendigitalisasi," katanya.
_____________________________________
Kontributor Aceh: Habil Razali
"Jadi ibu kotanya (negara) sekarang itu ada di Daerah Khusus Jakarta," kata Manunggal.
Gerindra tidak mungkin memberikan ruang kepada Jokowi untuk bergabung setelah dipecat PDIP.
Dualisme terjadi antara Jusuf Kalla (JK) dan Agung Laksono.
Sejumlah polisi yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dapat promosi jabatan, bahkan ada yang naik pangkat jadi jenderal.
Ketua PPDI NTB, Asim Barnas, miris atas kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan Agus Buntung, penyandang disabilitas.
"Efek domino dari kenaikan harga barang mewah akan merembet ke berbagai sektor, melemahkan daya beli, dan memperbesar kesenjangan ekonomi," ujar Achmad.
"Sikap Gus Miftah sangat berbahaya, karena bisa saja di antara para pengikutnya mengcopy paste perilakunya. Misalnya candaan-candaan yang seksis," ujar Gun Gun.