Suara.com - ADA 'perang bintang'. Mungkin peribahasa ini bisa menggambarkan situasi pemilihan kepala daerah di Jawa Barat. Mengingat terdapat 11 calon kepala daerah yang bertarung berlatar belakang selebritas.
Mereka di antaranya Ronal Surapradja yang menjadi pasangan Jeje Wiradinata sebagai calon wakil gubernur, dan Gitalis Dwi Natarina alias Gita KDI berpasangan dengan calon gubernur Acep Adang Ruhiat.
Kemudian ada Hengky Kurniawan sebagai calon Bupati Bandung Barat berpasangan dengan Ade Sudrajat. Di wilayah ini, Hengky berhadapan dengan adik ipar Raffi Ahmad, Jeje Ritchie sebagai calon bupati yang berpasangan dengan Asep Ismail, serta Gilang Dirga sebagai calon wakil bupati yang berpasangan dengan Didik Agus Triwiyono.
Di Kabupaten Bandung ada Sharul Gunawan sebagai calon bupati berpasangan dengan Gun Gun Gunawan. Pasangan Sharul-Gun Gun berhadapan dengan Ali Syakieb sebagai calon wakil bupati mendampingi Dadang Supriatna.
Tak ketinggalan penyanyi Alam Alatas atau lebih dikenal sebagai Alam Mbah Dukun maju sebagai calon Wakil Wali Kota Banjar mendampingi Akhmad Dimyati sebagai calon Wali Kota Banjar. Lucky Hakim maju sebagai calon Bupati Indramayu mendampingi Syaefudin. Presenter Ramzi juga turut mencoba peruntungan di dunia politik kekuasaan dengan maju sebagai calon Wakil Bupati Cianjur mendampingi Mohammad Wahyu Ferdian.
Pakar politik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Kristian Widya Wicaksono menilai alasan banyak selebritas yang maju menjadi calon kepala daerah di wilayah Jawa barat adalah kareba geografis. Karena daerah-daerah di Jawa Barat lebih dekat dengan Jakarta yang menjadi kota tempat para selebritas beraktivitas.
"Sehingga untuk orbitasi mereka antara kegiatan mereka di Jakarta dengan aktivitas mereka berpolitik tidak terlalu jauh," kata Kristian kepada Suara.com, Selasa (3/12/2024).
Selain pertimbangan geografis, Kristian menilai kehadiran para selebritas di Pilkada Jabar menunjukkan bahwa masyarakat lebih melihat popularitas ketimbang visi-misi dan program yang ditawarkan pasangan calon. Hal ini kemudian menjadi pertimbangan partai politik untuk menyandingkan kadernya dengan selebritas dalam pertarungan di pilkada. Setidaknya lebih mudah untuk memperkenalkan pasangan calon kepada masyarakat.
Kehadiran para pesohor di panggung politik memperebutkan kepemimpinan daerah bukan hal baru. Pada Pilkada Kabupaten Bandung Barat pada 2020 ada Hengky Kurniawan mendampingi Aa Umbara sebagai calon bupati melawan pasangan Doddy Imron Cholid-Pupu Sar Rohayati, dan Erlin Suharliah-Maman Sulaeman Sunjaya. Kala itu Aa Umbara-Hengky sukses meraih kemenangan dengan perolehan 420.137 suara.
Pada Pilkada Kabupaten Bandung 2020, Sahrul Gunawan menjadi calon wakil bupati mendampingi Dadang Supriatna sebagai calon bupati melawan pasangan Kurnia Agustina-Usman Sayogi, dan Yena Iskandar Masoem-Atep. Dadang-Sahrul sukses meraih kemenangan sebanyak 928.602 suara atau 56,01 persen.
Sejarah kemenangan Hengky dan Sahrul ini dipandang Kristian sebagai pemicu terjadinya 'Perang Bintang' di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat pada Pilkada 2024. Partai politik menurutnya melihat pola kemenangan yang mana selebritas bisa mendongkrak suara kadernya.
"Maka untuk memperlebar probabilitas kemenangan dengan memanfaatkan popularitas artis ini. Apalagi didukung dengan peristiwa di masa lalu yang menenangkan artis," tuturnya.
Popularitas Tak Menjamin
Kendati demikian, popularitas tidak bisa menjadi jaminan untuk mempertahankan kekuasaan. Misalnya, Hengky di Pilkada Bandung Barat dan Kurniawan di Pilkada Kabupaten Bandung sebagai petahana berpotensi kalah menurut hasil perhitungan sementara. Di Bandung Barat Hengky dan pasangannya hanya memperoleh 23,96 persen suara, ditumbangkan oleh adik ipar Rafi Ahmad, Jeje Govinda dan pasangannya yang memperoleh 37,84 persen suara.
Begitu pula Sahrul Gunawan yang kalah dari Ali Syakieb-Dadang Supriatna. Hasil hitung cepat Sahrul memperoleh 43,18 persen suara, sedangkan Ali Syakieb meraih 56,82 persen suara.
Kristian berpendapat situasi yang dialami oleh Sahrul dan Hengky menunjukkan pola mereka sebagai kepala daerah berlatar belakang selebritas tidak memiliki kemampuan merawat kekuasaan sebagai kepala daerah.
"Artinya kita harus lihat lagi sebenarnya kompetensi mereka dalam mengelola kekuasaan seperti apa? Kan itu butuh stamina. Ada siklus mereka bisa terpilih lagi, dan terpilih lagi, nah ini tidak berhasil mereka jaga," terangnya.
Pengalaman Hengky dan Sahrul juga harus menjadi pelajaran bagi para selebritas yang meraih kemenangan di Pilkada Jabar. Kekuasaan yang mereka raih saat ini tidak menjamin bisa mereka pertahankan pada pilkada selanjutnya.
Di sisi lain, popularitas juga tak selalu menjadi jaminan membawa kemenangan. Di wilayah Jabar mungkin berhasil, tapi di kabupaten/kota wilayah lain belum tentu sukses.
Contohnya penyanyi Krisdayanti yang maju sebagai calon Wali Kota Batu berpasangan dengan Kresna Dewanata Prosakh. Hasil hitung sementara, Krisdayanti-Kresna berada pada urutan ketiga dengan perolehan 26.234, takluk dengan pasangan Firhando Gumelar dan H. Rudi yang meraih 38.610 suara.
Fakta itu menunjukan popularitasnya sebagai artis kondang tidak menjamin sukses di Pilkada. Padahal ini bukan pengalaman politik pertama Krisdayanti, ia pernah menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024.
Menurut Kristian, perilaku politik ditentukan oleh faktor yang paling memengaruhi perilaku politik juga. Hal yang paling berpengaruh adalah faktor terdekat.
"Artinya belum tentu juga karena dia artis (mudah menang), tetapi pemilihnya tidak dekat dengan hal-hal tersebut. Maka bisa jadi preferensi politiknya tidak harus selalu artis kan, bisa jadi pemilih menjatuhkan pilihan atas alasan lain, bukan alasan popularitas," jelasnya.
Dia menjelaskan, secara geopolitik antara pemilih di Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki perbedaan preferensi politik. Di Jawa Barat, popularitas sebagai selebritas bisa menjadi modal meraih kemenangan, tapi tidak berlaku di Jawa Timur.
Minim Kompetensi
Keputusan para selebritas terjun dalam pilkada hingga terpilih menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan. Pasalnya, mereka dinilai tak memiliki kompetensi sebagai pemimpin dalam mengelola pemerintahan daerah.
"Mereka paham nggak sih mengelola jalannya roda pemerintahan daerah itu seperti apa? Mereka paham nggak situasi regulasi yang akan menjadi lingkungan tempat mereka bekerja itu seperti apa? Mereka paham nggak bagaimana caranya bekerja bersama dengan birokrasi pemerintah daerah?" ucapnya mempertanyakan.
Menurut Kristian, setidaknya untuk menjadi kepala daerah minimal lulusan sarjana administrasi pemerintahan. Dia pun meragukan para artis memilki kemampuan dan pemahaman tentang tata kelola pemerintahan. Sebagus apapun program yang sudah disusun, tapi tidak memiliki kemampuan dalam menjalankannya bakal sia-sia. Pada situasi itu masyarakat yang akhirnya menjadi korban.
"Kita akan menerima janji-janji politik yang tidak akan pernah bisa diimplementasikan sampai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," ujar Kristian.
Sejarah mencatat, ada figur selebritas yang ditengah masa pemerintahan memilih mundur dari jabatan sebagai kepala daerah. Contohnya Lucky Hakim pada Februari 2023 mundur sebagai Wakil Bupati Indramayu. Ketika itu alasannya tidak mendapatkan tugas sebagai wakil bupati. Namun, beredar kabar hubungannya tidak harmonis dengan Nina Agustina selaku bupati.
Kemudian Diky Chandra pada September 2011 mungundurkan diri sebagai Wakil Bupati Garut. Sebelumnya dia menang pada Pilkada Garut mendampingi Aceng Fikri sebagai bupati. Dicky mengaku mundur karena alasan pribadi. Belakangan tersiar kabar dia mundur lantaran sulit menjalin komunikasi dengan para pejabat di Kabupaten Garut.
mempertegas posisi kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang paling banyak melakukan penyiksaan kepada masyarakat sipil.
Political fatigue atau kelelahan politik menjadi faktor kedua yang menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta 2024.
Polisi tidak boleh menjadi agen algojo negara dan melakukan perampasan nyawa warga dengan sewenang-wenang, karena itu melanggar hak asasi manusia.
kekalahan Andika-Hendi menjadi sejarah sebab untuk pertama kalinya paslon PDIP kalah di Jawa Tengah.
keterlibatan aparat penegak hukum di lingkaran pertambangan ilegal bukan hal baru
Di tengah melemahnya daya beli, pengguna pay later mengalami peningkatan karena menjadi alternatif masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk bisa menggambarkan kondisi hidup layak di masyarakat, BPS semestinya melakukan penghitungan dengan merujuk pada harga-harga bahan pokok, tanah, listrik hingga air.