Suara.com - Kurang Dari Sepekan 3 Nyawa Melayang: Semakin Pertegas Polisi Aktor Paling Sering Siksa Masyarakat Sipil
Dalam waktu kurang dari satu pekan, terjadi tiga aksi brutal yang dilakukan anggota Polri. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menggambarkannya lewat dua kata "Polisi Pembunuh".
Kasus pertama adalah polisi tembak polisi yang terjadi Polres Solok Selatan, Sumatera Barat, pada Jumat (22/11/2024) dini hari. Kepala Bagian Operasi Polres Solok Selatan, Ajun Komisaris Polisi Dadang Iskandar menembak rekannya sendiri Kepala Satuan Reserse Kriminal Ajun Komisaris Polisi Ulil Ryanto Anshar.
Motif penembakan karena kasus tambang ilegal. Dadang yang menjadi beking tambang ilegal meminta Ulil membebaskan salah satu tersangka tambang galian C ilegal yang ditangkap. Permintaan ditolak, pistol bertindak. Dor! Dua peluru menembus kepala Ulil.
Dua hari berselang, timah panas polisi kembali memakan korban. Gamma Rizkynata Oktafandy (16), Pelajar SMK Negeri 4 Semarang, tumbang, diterjang peluru anggota Satnarkoba Polrestabes Semarang, Aipda Robig Zaenuddin (38) pada Minggu (24/11/2024) dini hari.
Polisi mengklaim Gamma adalah anggota geng yang sedang tawuran. Versi polisi, Gamma bersama dua rekannya yang mengendarai sepeda motor hendak menyerang Aipda Robig yang sedang membubarkan aksi tawuran.
Klaim sepihak kepolisian ini dibantah mentah-mentah pihak sekolah dan teman sekelas Gamma. Menurut mereka Gamma merupakan pelajar baik, tidak neko-neko, dan jauh dari yang namanya tawuran.
Kronologi lain menyebutkan, pemicu penembakan terhadap Gamma karena korban dan rekannya yang mengendarai sepeda motor bersenggolan dengan anggota polisi yang juga berkendara. Insiden kecil ini memicu amarah Aipda Robig hingga memuntahkan peluru dari senjata apinya.
Hari yang sama meninggalnya Gamma, pada Minggu (24/11/2024), Beni (45) tewas ditembak oleh anggota Brimob di perkebunan kelapa sawit milik PT Bumi Permai Lestari (BPL), Bangka Barat, Bangka Belitung.
Korban bersama beberapa rekannya disebut hendak mencuri sawit. Polisi mengaku sudah mengeluarkan tembakan peringatan sebanyak 12 kali, tapi tak dihiraukan. Klaim polisi, tindakan tegas awalnya dilakukan dengan menyasar kaki Beni yang berusaha kabur, namun salah satu peluruh disebut mengenai pinggang, hingga akhirnya korban meninggal dunia.
Tiga peristiwa beruntun selama kurang dari sepekan ini semakin mempertegas posisi kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang paling banyak melakukan penyiksaan kepada masyarakat sipil.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai rentetan peristiwa yang terjadi menunjukkan budaya kekerasan di tubuh kepolisian.
Komisi Nasional Hak Manusia (Komnas HAM) mencatat terdapat 282 laporan penyiksaan pada periode 1 Januari 2020 hingga 24 Juni 2024. Sebanyak 75 persen menunjukkan pihak yang paling banyak dilaporkan adalah kepolisian. Jumlahnya 176 kasus. Sementara 15 kasus melibatkan TNI, dan 10 kasus melibatkan petugas lapas dan/atau rumah tahanan negara (rutan).
Catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan hal sama. Terdapat 645 kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri pada periode Juli 2023 hingga Juni 2024.
Terdapat 754 korban luka dan 38 korban meninggal.
Rinciannya, 460 kasus di antaranya berkaitan dengan penembakan, 52 penganiayaan, 37 penyiksaan, dan 49 penangkapan sewenang-wenang, 37 pembubaran, dan 33 intimidasi.
Maidina mengatakan kasus kekerasan ini seolah dibiarkan begitu saja, tanpa adanya evaluasi terkait pengunaan kekuatan, khususnya senjata api.
"Nah ini yang perlu kami kritisi. Bahwa ini sudah terjadi menahun, tapi responsnya enggak pernah komprehensif," kata Maidina kepada Suara.com, Senin (2/12/2024).
Menurutnya peristiwa kekerasan yang terus berulang menunjukkan Polri tidak merespons kesalahan-kesalahan. Jika tidak ingin kejadian serupa terulang, Madina menyarankan, Polri harus mengevaluasi secara menyeluruh.
Kegagalan Sistemik
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, menilai tiga kasus yang terjadi baru-baru ini menunjukkan kekerasan yang dilakukan Polri semakin mengkhawatirkan.
Amnesty International Indonesia mencatat sejak 16 Januari hingga 24 November 2024, terdapat 31 kasus pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat. Sebanyak 23 kasus diantaranya, dilakukan oleh anggota polisi.
"Apa yang salah dengan kepolisian kita?" ujar Usman Hamid.
Menurutnya penggunaan senjata api dalam penanganan tindak pidana merupakan pilihan terkahir. Namun berkaca dari peristiwa di Semarang dan Bangka menunjukkan kesan, senjata api menjadi alat utama penegakan hukum.
"Kejadian-kejadian ini tidak dapat dianggap sebagai insiden terisolasi, tapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api dan pola pikir aparat yang cenderung represif," tegas Usman.
Amnesty International Indonesia mendesak agar DPR RI dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengevaluasi kinerja dan kepemimpinan Polri. Hal itu untuk memastikan pertanggungjawaban yang tuntas. Penegakan hukum ditegaskan Usman, bukan hanya bagi pelaku lapangan, namun juga pejabat komando soal penggunaan senjata api.
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus menjelaskan penggunaan senjata api sudah diatur pada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009. Di dalamnya ditekankan, penggunaan senjata api adalah upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.
"Dan yang paling penting adalah senjata api itu digunakan untuk melumpuhkan, bukan untuk membunuh," tegas Yunus kepada Suara.com.
Dalam kasus Gamma dan Benni, KontraS mencatat telah terjadi dua pelanggaran hak asasi manusia. Pertama hilangnya hak hidup, hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.
Kedua hak atas peradilan yang adil. Polisi sebagai aparat penegak hukum, seharusnya membawa tersangka kejahatan ke pengadilan, bukan malah bertindak sebagai pengadil itu sendiri.
"Yang terjadi, dan kami lihat di dua kasus baik di Bangka Belitung maupun di Semarang justru polisi melakukan penghukuman sejak awal dengan menembak mati korban," kata Yunus.
Political fatigue atau kelelahan politik menjadi faktor kedua yang menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta 2024.
Polisi tidak boleh menjadi agen algojo negara dan melakukan perampasan nyawa warga dengan sewenang-wenang, karena itu melanggar hak asasi manusia.
kekalahan Andika-Hendi menjadi sejarah sebab untuk pertama kalinya paslon PDIP kalah di Jawa Tengah.
keterlibatan aparat penegak hukum di lingkaran pertambangan ilegal bukan hal baru
Di tengah melemahnya daya beli, pengguna pay later mengalami peningkatan karena menjadi alternatif masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk bisa menggambarkan kondisi hidup layak di masyarakat, BPS semestinya melakukan penghitungan dengan merujuk pada harga-harga bahan pokok, tanah, listrik hingga air.
"Karena kan perspektif yang masih mendiskriminasi perempuan itu rata-rata dimiliki oleh laki-laki," ujar Kurnia.