Suara.com - Kasus penembakan Kasat Reskrim Polres Solok Selatan AKP Ulil Ryanto Anshari menyingkap tabir keterlibatan aparat penegak hukum dalam bisnis hitam pertambangan.
Polres Solok Selatan mendadak riuh pada Jumat (22/11/2024) sekitar pukul 00.30. Dua letusan senjata api memecah keheningan dini hari itu. Kasat Reskrim Polres Solok Selatan AKP Ulil Ryanto Anshari tergeletak bersimbah darah. Pelipis dan pipinya tertembus peluru.
Di tengah malam kelabu itu, AKP Ulil dieksekusi oleh rekan kerjanya sendiri, Kabag Ops Polres Solok Selatan AKP Dadang Iskandar. Dua jam kemudian, Dadang menyerahkan diri ke Polda Sumatera Barat. Motif penembakan dilatari kasus tambang galian C ilegal.
Pada malam penembakan, Satuan Reskrim Polres Solok Selatan menangkap sopir pengangkut hasil tambang galian C. Dadang, yang ternyata membekingi aktivitas ilegal itu, meminta tolong ke Ulil untuk melepaskan rekanannya tersebut. Permintaan Dadang tak direspons Ulil hingga akhirnya berujung pada penembakan.
"Yang bersangkutan (AKP Dadang) mencoba meminta tolong tapi tidak ada respons, selanjutnya yang bersangkutan melakukan penembakan," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumbar Kombes Andry Kurniawan saat jumpa pers, Sabtu (23/11/2024) siang.
Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM menyebut keterlibatan aparat penegak hukum di lingkaran pertambangan ilegal bukan hal baru dan sudah menjadi rahasia umum.
Berdasarkan data Kementerian ESDM pada 2023, terdapat 2.700 titik tambang ilegal di Indonesia, kebanyakan berada di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.
Juru kampanye JATAM, Farhat menyebut, keberadaan aparat penegak hukum seperti polisi di lingkaran tambang ilegal memiliki modus beragam, seperti menjadi pihak yang menjamin keamanan operasional, penghubung dengan pengusaha, dan menjadi pemodal langsung.
Sayangnya, kata Farhat, tak ada penanganan serius oleh institusi Polri, bahkan terkesan sengaja membiarkan para anggotanya berkubang di bisnis hitam. Peristiwa polisi tembak polisi di Solok, menurut dia, menunjukkan adanya penyakit kronis di tubuh Polri terkait pertambangan ilegal.
"Dan itu sampai sekarang tidak bisa diatas oleh Polri sendiri," kata Farhat kepada Suara.com, Selasa (26/7/2024).
Ketidakmampuan Polri menindak anggotanya yang terlibat tambang ilegal, menurut Farhat terlihat dari kasus yang menyeret nama mantan Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto, yang kini menjabat Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Pada 2022, nama Agus disebut dalam video pengakuan mantan anggota polisi bernama Ismail Bolong. Dalam video, Ismail Bolong mengatakan dirinya sebagai pengepul batu bara hasil tambang ilegal di Kalimantan Timur. Agar tetap bisa berjalan, dirinya mengaku menyetorkan uang secara langsung senilai Rp6 miliar sebanyak tiga kali kepada Agus.
Setelah video itu viral, Ismail Bolong kembali muncul memberikan klarifikasi. Dia mengaku menyeret nama Agus, karena dalam tekanan Brigjen Hendra Kurniawan, mantan Karopaminal Divisi Propam Polri. Video, katanya, dibuat pada Februari 2022.
Dugaan keterlibatan Agus juga tertera dalam surat laporan hasil penyelidikan (LHP) dengan nomor R/ND-137/III/WAS.2.4/2022/Ropaminal tertanggal 18 Maret 2022 yang dilaporkan Hendra Kurniawan ke Ferdy Sambo saat menjabat sebagai Kadiv Propam Polri.
Terpisah, Ferdy Sambo, mengakui menerbitkan surat perintah penyelidikan dugaan setoran uang tambang ilegal kepada Agus dari Ismail Bolong. Agus membantah menerima uang setoran dari hasil tambang ilegal. Menurutnya informasi yang tertera di LHP tidak kuat menjadi bukti soal keterlibatannya. Belakangan kasus yang menyeret nama Agus itu, menguap begitu saja.
Farhat menilai, Polri seringkali terlibat konflik kepentingan saat berhadapan dengan anggotanya yang bermain tambang ilegal.
Momentum kasus polisi tembak polisi, sudah seharusnya menjadi titik bagi Polri untuk membersihkan anggotanya yang terlibat dengan pertambangan ilegal. Namun, kata Farhat, hal itu akan sulit dilakukan. Sebab, JATAM sudah beberapa kali mengingatkan namun tidak dihiraukan.
"Tetapi, itu, cenderung tidak ditindaki oleh kepolisian itu sendiri," katanya.
Jadi Beking
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto memberikan sejumlah pertanyaan kritis dalam peristiwa polisi tembak polisi di Solok. Dia mempertanyakan: siapa yang membeking usaha ilegal? apakah hanya oknum? bagaimana bila organisasi juga terlibat (atasan dan struktur organisasi)?
Bambang juga mempertanyakan, mengapa kasus dugaan beking tambang ilegal baru mencuat setelah adanya peristiwa polisi tembak polisi. Tanpa adanya kejadian itu apakah menjadi pertanda tidak ada persoalan beking-bekingan.
"Fakta yang beredar di masyarakat, beking-bekingan itu selalu ada. Dan terjadi sudah lama, baik dilakukan oleh oknum, maupun struktur organisasi," katanya kepada Suara.com.
Ditemukannya 7 selongsong peluru di sekitar rumah dinas Kapolres Solok Selatan AKBP Arief Mukti, memunculkan dugaan faktor emosi dan kemarahan dari Danang sebagai pelaku. Menurut Bambang, emosi seseorang dapat terpicu karena merasa diperlakukan tidak adil.
"Pelaku bisa jadi sudah sering memberi setoran dari tambang ilegal yang dilindunginya, tetapi masih diusik oleh korban atau institusinya, atau merasa bahwa penegakan hukum di Solok tebang pilih dan tidak adil. Semua bisa saja menjadi motif pelaku untuk melakukan penembakan," jelas Bambang.
Oleh karenanya, jika ingin menuntaskan kasus tersebut, tidak dapat dilakukan secara normatif dan prosedural saja. Polri harus membuka kasusnya secara terang-benderang dan mendalam, termasuk perkara dugaan beking-bekingan dan budaya setor kepada atasan.
Menurutnya budaya beking-bekingan dan setor atasan, salah satu manifestasi perubahan nilai yang menjalar kepada para anggota Polri sehingga menjadi lebih materialistik dan pragmatis. Kasus yang terjadi di Solok, adalah fenomena gunung es yang bisa terjadi di seluruh Polda di Indonesia.
"Jadi bukan karena Sumatera Barat-nya, tetapi penyimpangan perilaku aparat penegak hukum kita," kata Bambang.
Menanggapi kasus ini, Komisi Polisi Nasional atau Kompolnas melakukan pemantauan terhadap jalannya penyidikan yang dilakukan Polda Sumatera Barat.
Anggota Kompolnas, Choirul Anam menyebut pengawalan dilakukan, bukan hanya terkait dengan peristiwa penembakan, tapi juga memastikan penyelidikan kasus tambang ilegal yang dilakukan oleh korban Ulil, tetap berjalan secara profesional dan transparan.
"Ini harus kita kawal bersama-sama, agar persoalan-persoalan terkait tambang ini juga, terus anatomi kejahatannya sampai terjadi penembakan dengan latar belakang tambang, ini bisa dilakukan secara transparan oleh teman-teman kepolisian," kata Anam kepada Suara.com.
Sementara, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo lewat keterangan terbarunya melalui Irwasum Polri Irjen Dedi Prasetyo, menyebut tidak akan tebang pilih dalam pengusutan kasus ini.
"Bapak Kapolri mengambil langkah tegas terhadap siapapun anggota yang terbukti bersalah tanpa ada toleransi," kata Dedi Mabes Polri, Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Roy Marten, dalam pernyataan klarifikasinya ketika itu, membenarkan bahwa dirinya memang mengetahui seluk-beluk PT BBI.
"Karena tidak ada itikad baik dari pihak Wahana Mazmur Wisata, kami akhirnya melayangkan laporan resmi ke Polda Metro Jaya."
"Untuk tujuan masa depan, kawasan Bromo Tengger Semeru itu akan menjadi destinasi yang ramah lingkungan..."
Sebabnya, sigit meminta agar seluruh jajarannya untuk terus waspada dan sigap untuk menghadapi puncak arus mudik tersebut.
Apa yang menjadi tuntutan VISI dan AKSI untuk segera diselesaikan melalui Revisi UU Hak Cipta?
Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.
Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.
Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.
Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.
Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.
Nominal BHR dari aplikator ke pengemudi ojol yang Rp50 ribu sangat tidak manusiawi.