Suara.com - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis standar hidup layak di Indonesia pada 2024 senilai Rp1,02 juta per bulan atau Rp12,34 juta setahun. Laporan BPS ini bertolak belakang dengan kenyataan yang dialami masyarakat. Misalnya di Jakarta, untuk seorang pekerja informal seperti pengemudi ojek online yang sudah berumah tangga dan belum memiliki anak saja butuh pendapatan Rp5 juta sebulan agar bisa hidup layak.
Pakar ekomomi menilai riset BPS tersebut salah karena mengukur standar hidup layak masyarakat dengan merujuk pada pengeluaran per kapita. Sehingga laporan BPS tersebut dapat mengaburkan realita yang terjadi di tengah masyarakat.
DALAM laporan bertajuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2024, BPS mengungkap standar hidup layak di Indonesia sejak empat tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Pada 2020 sebesar Rp11,01 juta. Kemudian meningkat pada 2021 menjadi Rp11,15 juta, 2022 Rp11,47 juta, dan 2023 Rp11,89 juta.
"Pada 2024, pengeluaran riil per kapita per tahun (yang disesuaikan) Indonesia mencapai Rp12,34 juta. Capaian ini meningkat Rp442 ribu atau 3,71 persen dibandingkan tahun sebelumnya, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan 2020–2023 yang sebesar 2,61 persen per tahun," tulis BPS dalam laporan IPM 2024 dikutip Suara.com, Selasa (26/11/2024).
Standar hidup layak merupakan satu dari tiga komponen IPM. Dua komponen lainnya, yakni umur harapan hidup saat lahir dan pengetahuan.
Walakin terus mengalami peningkatan, standar hidup layak di Indonesia saat ini dinilai jauh dari kenyataan. Salah satunya diutarakan Rihco Asri Saputra (32) warga Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang berprofesi sebagai pengemudi ojek online.
Sebagai kepala rumah tangga yang baru saja menikah, Richo menyebut untuk bisa hidup layak ia harus merogoh kocek jauh lebih besar dari standar BPS. Jika merujuk data BPS, Provinsi Jakarta merupakan wilayah dengan pengeluaran riil per kapita tertinggi, yakni sebesar Rp19,95 juta per tahun atau sekitar Rp1,66 juta per bulan.
"Gua tinggal di pinggiran Jakarta. Kalau cuma Rp1,6 juta, untuk biaya kontrakan, kebutuhan makan, dan lain-lain itu menurut gue sangat nggak cukup," kata Rihco kepada Suara.com, Senin (25/11).
Rihco blak-blakan, untuk biaya sewa kontrakan saja di pinggiran Jakarta ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp1,1 juta per bulan. Menurutnya untuk bisa hidup layak di Jakarta setidaknya mesti mengantongi uang sekitar Rp4-5 juta per bulan. Di mana sekitar Rp3 juta di antaranya itu diperlukan untuk kebutuhan makan selama sebulan bersama istri yang sedang hamil.
"Kalau cuma Rp1,6 juta hidup di Jakarta kayaknya buat gua sendiri aja bakalan gila sih ngaturnya kayak gimana. Makan pasti kurang gizi, sedangkan gua kerjanya aktif di jalanan. Udah pasti nggak cukup, makan bakal kekurangan gizi dan gampang sakit," ungkapnya.
Kesenjangan antara kenyataan dengan data standar hidup layak versi BPS juga diungkap Rahmadi (30). Perantau asal Bandung, Jawa Barat itu tertawa ketika ditanya bisa apa dengan uang Rp1,66 juta di Jakarta.
"Hahaha ada sih indekos Rp500 ribuan di Pejaten, tapi kayak TKP (tempat kejadian perkara) pembunuhan. Kamar mandi di luar, terus tidurnya juga mesti miring saking sempitnya," ujar Rahmadi.
Rahmadi sempat dapat tawaran tinggal di indekos tersebut. Tetapi ia menolak karena dirasa kurang layak. Sampai pada akhirnya ia memilih sebuah indekos seharga Rp1,2 juta di kawasan Gerogol, Jakarta Barat.
Menurut Rahmadi, persoalan terberat bagi perantau di Jakarta selain tempat tinggal adalah biaya makan. Dalam sehari setidaknya ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp100 ribu untuk tiga kali makan.
"Buat saya yang masih lajang aja begitu, apalagi kalau yang udah nikah. Kayaknya biayanya bakal lebih dari Rp6 juta," tuturnya.
Logika Terbalik BPS
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Achmad Hanif Imaduddin menilai ketidaksesuaian antar standar hidup layak versi BPS dengan kenyataan yang di alami masyarakat ini terjadi karena kesalahan metodologis. BPS menurutnya melakukan kekeliruan karena mengukur standar hidup layak tersebut merujuk pada pengeluaran per kapita.
Menghitung standar hidup layak dengan mengacu pada rata-rata pengeluaran riil per kapita, kata Hanif, sudah pasti tidak akan sesuai dengan realita yang ada di tengah masyarakat. Apalagi di tengah lemahnya daya beli masyarakat akibat deflasi. Artinya, bisa jadi pengeluaran masyarakat itu bukan merujuk pada standar hidup layak melainkan keterbatasan mereka karena faktor ekonomi.
"Kalau misalnya yang dihitung adalah pengeluaran, jatuhnya pasti seakan-akan dalam sejuta kita bisa hidup sebulan. Padahal di mana-mana, misalnya di Solo ataupun di Jogja, nggak mungkin kita bisa hidup dengan uang segitu," jelas Hanif kepada Suara.com, Senin (25/11).
Hanif berpendapat, untuk bisa menggambarkan kondisi hidup layak di masyarakat, BPS semestinya melakukan penghitungan dengan merujuk pada harga-harga bahan pokok, tanah, listrik hingga air. Penghitungan ini juga perlu dilakukan hingga ke daerah-daerah terpencil agar bisa memberikan gambaran yang utuh.
Selain memperbaiki metodologisnya, Hanif menilai BPS juga perlu memperbaiki indikatornya. Indikator-indikator yang digunakan tersebut menurutnya mesti mempertimbangkan juga kearifan lokal masyarakat yang berbeda antara di satu wilayah dengan lainnya.
"BPS sebenarnya bisa melibatkan stakeholder yang lain. Kan banyak juga institusi-institusi di kampus, yang ibaratnya nggak cuma BPS doang yang jago statistik, kan ada juga yang lain. Itu mungkin bisa dilibatkan, supaya dapat second opinion," katanya.
Hanif menilai perbaikan dalam mengukur standar hidup layak di Indonesia ini perlu segera dilakukan. Sebab kekeliruan data yang disajikan bisa mengaburkan permasalahan yang ada di masyarakat.
"Kekhawatiran pertama jelas, nanti pemerintah seakan-akan merasa tidak ada masalah, padahal kondisi di bawah dan di ekonomi itu sedang genting. Kedua, kalau ini diteruskan, ya jelas tolok ukur secara global bakal berbeda," tasdasnya.
"Karena kan perspektif yang masih mendiskriminasi perempuan itu rata-rata dimiliki oleh laki-laki," ujar Kurnia.
DPR memilih lima dari sepuluh capim yang akan memimpin KPK periode 2024-2029, Kamis, 21 November 2024.
Dukungan Anies terhadap Pramono-Rano jauh lebih berpengaruh jika dibandingkan dukungan Jokowi kepada RK-Suswono.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.