Menertawai Standar Hidup Layak BPS Rp1 Juta Per Bulan, Driver Ojol: Buat Makan Aja Kurang!
Home > Detail

Menertawai Standar Hidup Layak BPS Rp1 Juta Per Bulan, Driver Ojol: Buat Makan Aja Kurang!

Erick Tanjung | Muhammad Yasir

Rabu, 27 November 2024 | 12:13 WIB

Suara.com - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis standar hidup layak di Indonesia pada 2024 senilai Rp1,02 juta per bulan atau Rp12,34 juta setahun. Laporan BPS ini bertolak belakang dengan kenyataan yang dialami masyarakat. Misalnya di Jakarta, untuk seorang pekerja informal seperti pengemudi ojek online yang sudah berumah tangga dan belum memiliki anak saja butuh pendapatan Rp5 juta sebulan agar bisa hidup layak.

Pakar ekomomi menilai riset BPS tersebut salah karena mengukur standar hidup layak masyarakat dengan merujuk pada pengeluaran per kapita. Sehingga laporan BPS tersebut dapat mengaburkan realita yang terjadi di tengah masyarakat.


DALAM laporan bertajuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2024, BPS mengungkap standar hidup layak di Indonesia sejak empat tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Pada 2020 sebesar Rp11,01 juta. Kemudian meningkat pada 2021 menjadi Rp11,15 juta, 2022 Rp11,47 juta, dan 2023 Rp11,89 juta.

"Pada 2024, pengeluaran riil per kapita per tahun (yang disesuaikan) Indonesia mencapai Rp12,34 juta. Capaian ini meningkat Rp442 ribu atau 3,71 persen dibandingkan tahun sebelumnya, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan 2020–2023 yang sebesar 2,61 persen per tahun," tulis BPS dalam laporan IPM 2024 dikutip Suara.com, Selasa (26/11/2024).

Standar hidup layak merupakan satu dari tiga komponen IPM. Dua komponen lainnya, yakni umur harapan hidup saat lahir dan pengetahuan.

Walakin terus mengalami peningkatan, standar hidup layak di Indonesia saat ini dinilai jauh dari kenyataan. Salah satunya diutarakan Rihco Asri Saputra (32) warga Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang berprofesi sebagai pengemudi ojek online.

Sebagai kepala rumah tangga yang baru saja menikah, Richo menyebut untuk bisa hidup layak ia harus merogoh kocek jauh lebih besar dari standar BPS. Jika merujuk data BPS, Provinsi Jakarta merupakan wilayah dengan pengeluaran riil per kapita tertinggi, yakni sebesar Rp19,95 juta per tahun atau sekitar Rp1,66 juta per bulan.

"Gua tinggal di pinggiran Jakarta. Kalau cuma Rp1,6 juta, untuk biaya kontrakan, kebutuhan makan, dan lain-lain itu menurut gue sangat nggak cukup," kata Rihco kepada Suara.com, Senin (25/11).

Made with Flourish

Rihco blak-blakan, untuk biaya sewa kontrakan saja di pinggiran Jakarta ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp1,1 juta per bulan. Menurutnya untuk bisa hidup layak di Jakarta setidaknya mesti mengantongi uang sekitar Rp4-5 juta per bulan. Di mana sekitar Rp3 juta di antaranya itu diperlukan untuk kebutuhan makan selama sebulan bersama istri yang sedang hamil.

"Kalau cuma Rp1,6 juta hidup di Jakarta kayaknya buat gua sendiri aja bakalan gila sih ngaturnya kayak gimana. Makan pasti kurang gizi, sedangkan gua kerjanya aktif di jalanan. Udah pasti nggak cukup, makan bakal kekurangan gizi dan gampang sakit," ungkapnya.

Kesenjangan antara kenyataan dengan data standar hidup layak versi BPS juga diungkap Rahmadi (30). Perantau asal Bandung, Jawa Barat itu tertawa ketika ditanya bisa apa dengan uang Rp1,66 juta di Jakarta.

"Hahaha ada sih indekos Rp500 ribuan di Pejaten, tapi kayak TKP (tempat kejadian perkara) pembunuhan. Kamar mandi di luar, terus tidurnya juga mesti miring saking sempitnya," ujar Rahmadi.

Rahmadi sempat dapat tawaran tinggal di indekos tersebut. Tetapi ia menolak karena dirasa kurang layak. Sampai pada akhirnya ia memilih sebuah indekos seharga Rp1,2 juta di kawasan Gerogol, Jakarta Barat.

Menurut Rahmadi, persoalan terberat bagi perantau di Jakarta selain tempat tinggal adalah biaya makan. Dalam sehari setidaknya ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp100 ribu untuk tiga kali makan.

"Buat saya yang masih lajang aja begitu, apalagi kalau yang udah nikah. Kayaknya biayanya bakal lebih dari Rp6 juta," tuturnya.

Logika Terbalik BPS

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Achmad Hanif Imaduddin menilai ketidaksesuaian antar standar hidup layak versi BPS dengan kenyataan yang di alami masyarakat ini terjadi karena kesalahan metodologis. BPS menurutnya melakukan kekeliruan karena mengukur standar hidup layak tersebut merujuk pada pengeluaran per kapita.

Made with Flourish

Menghitung standar hidup layak dengan mengacu pada rata-rata pengeluaran riil per kapita, kata Hanif, sudah pasti tidak akan sesuai dengan realita yang ada di tengah masyarakat. Apalagi di tengah lemahnya daya beli masyarakat akibat deflasi. Artinya, bisa jadi pengeluaran masyarakat itu bukan merujuk pada standar hidup layak melainkan keterbatasan mereka karena faktor ekonomi.

"Kalau misalnya yang dihitung adalah pengeluaran, jatuhnya pasti seakan-akan dalam sejuta kita bisa hidup sebulan. Padahal di mana-mana, misalnya di Solo ataupun di Jogja, nggak mungkin kita bisa hidup dengan uang segitu," jelas Hanif kepada Suara.com, Senin (25/11).

Hanif berpendapat, untuk bisa menggambarkan kondisi hidup layak di masyarakat, BPS semestinya melakukan penghitungan dengan merujuk pada harga-harga bahan pokok, tanah, listrik hingga air. Penghitungan ini juga perlu dilakukan hingga ke daerah-daerah terpencil agar bisa memberikan gambaran yang utuh.

Selain memperbaiki metodologisnya, Hanif menilai BPS juga perlu memperbaiki indikatornya. Indikator-indikator yang digunakan tersebut menurutnya mesti mempertimbangkan juga kearifan lokal masyarakat yang berbeda antara di satu wilayah dengan lainnya.

"BPS sebenarnya bisa melibatkan stakeholder yang lain. Kan banyak juga institusi-institusi di kampus, yang ibaratnya nggak cuma BPS doang yang jago statistik, kan ada juga yang lain. Itu mungkin bisa dilibatkan, supaya dapat second opinion," katanya.

Hanif menilai perbaikan dalam mengukur standar hidup layak di Indonesia ini perlu segera dilakukan. Sebab kekeliruan data yang disajikan bisa mengaburkan permasalahan yang ada di masyarakat.

"Kekhawatiran pertama jelas, nanti pemerintah seakan-akan merasa tidak ada masalah, padahal kondisi di bawah dan di ekonomi itu sedang genting. Kedua, kalau ini diteruskan, ya jelas tolok ukur secara global bakal berbeda," tasdasnya.


Terkait

Hadapi Kendala di Lapangan karena Bulan Ramadan, Uji Petik DTSEN Baru 25 Persen
Senin, 17 Maret 2025 | 16:18 WIB

Hadapi Kendala di Lapangan karena Bulan Ramadan, Uji Petik DTSEN Baru 25 Persen

Gus Ipul memang telah mengakui kalau bansos selama ini kurang tepat sasaran.

Surplus Neraca Perdagangan RI Mulai Kehabisan 'Bahan Bakar'
Senin, 17 Maret 2025 | 13:44 WIB

Surplus Neraca Perdagangan RI Mulai Kehabisan 'Bahan Bakar'

Neraca perdagangan barang Indonesia mencatatkan surplus sebesar 3,12 miliar dolar AS pada Februari 2025.

Indonesia Alami Deflasi Tahunan Setelah 25 Tahun, Tanda Apa?
Senin, 03 Maret 2025 | 16:29 WIB

Indonesia Alami Deflasi Tahunan Setelah 25 Tahun, Tanda Apa?

Deflasi tahunan ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak deflasi tahunan terakhir tercatat pada Maret 2000.

Terbaru
Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL
polemik

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL

Jum'at, 28 Maret 2025 | 22:56 WIB

Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers! polemik

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers!

Jum'at, 28 Maret 2025 | 14:21 WIB

Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi? polemik

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi?

Jum'at, 28 Maret 2025 | 08:26 WIB

Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah polemik

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah

Kamis, 27 Maret 2025 | 17:41 WIB

Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat! polemik

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat!

Kamis, 27 Maret 2025 | 11:59 WIB

Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.

Sudah Lama Diperjuangkan, Bonus Lebaran Ojol Malah Jadi 'Bumerang'? polemik

Sudah Lama Diperjuangkan, Bonus Lebaran Ojol Malah Jadi 'Bumerang'?

Rabu, 26 Maret 2025 | 21:05 WIB

Nominal BHR dari aplikator ke pengemudi ojol yang Rp50 ribu sangat tidak manusiawi.

Nama Febri Diansyah di Pusaran Kasus SYL: Bagaimana Advokat Bisa Terseret Dugaan Pencucian Uang? polemik

Nama Febri Diansyah di Pusaran Kasus SYL: Bagaimana Advokat Bisa Terseret Dugaan Pencucian Uang?

Selasa, 25 Maret 2025 | 12:05 WIB

Kemunculan nama Febri dan rekan-rekannya memicu pertanyaan, bagaimana advokat bisa terseret dalam dugaan pencucian uang kliennya sendiri?