Suara.com - PADA 27 November 2024, pemilihan kepala daerah secara serentak digelar di berbagai wilayah di Indonesia. Pilkada ini kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaiknya di daerah masing-masing.
Namun, dalam perjalanannya saat kampanye Pilkada dinodai pernyataan yang mengobjektifikasi perempuan atau seksis yang dilontarkan beberapa calon kepala daerah. Di Jakarta, ketiga pasangan calon menuai kritikan karena pernyataan seksis.
Dimulai dengan Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut satu Suswono yang menyarankan agar para janda menikahi pria miskin. Setelah pernyataan mendapatkan kritikan tajam dari berbagai kalangan masyarakat, Suswono menyampaikan permintaan maaf secara terbuka melalui akun media sosialnya.
Tak hanya Suswono, Calon Gubernur Jakarta Ridwan Kamil juga melontarkan pernyataan soal pemenuhan nafkah 'lahir dan batin' untuk para janda.
Calon Gubernur nomor urut dua dari jalur independen, Dharma Pongrekun tak kalah menghebohkan. Dia menyebut, guru perempuan sengaja ditempatkan di taman kanak-kanak untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian kelompok LGBT.
Sementara Calon Gubernur nomor urut tiga, Pramono Anung juga terlacak punya rekam jejak serupa. Pada 2010 lalu Pramono pernah melontarkan lelucon yang mengobjektifikasi perempuan lewat akun media sosial Twitter/X miliknya. Dalam postingannya kala itu Pramono menyebutkan persamaan loket dengan salah satu anggota tubuh perempuan, dan diakhir tulisannya dibubuhkan tagar #nyataiah.
Pada saat mendaftarkan diri sebagai cagub bersama Rano Karno di KPU pada 28 Agustus lalu, Pramono mengaku tidak menyesal dengan postingannya itu. Dia berdalih, hal itu hanya bercandaan yang khas di Twitter/X pada era 2010.
Tak hanya di Pilkada Jakarta, pernyataan seksis juga datang dari Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, Murad-Michael. Saat memberikan pesan penutup pada debat terbuka, mereka melontarkan kalimat bernada seksis berbunyi “tusuk di tengah yang sedap.”
Peneliti dari pusat penelitian politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Kurniawati Hastuti Dewi menilai, berbagai pernyataan seksis yang dilontarkan beberapa calon kepada daerah menunjukkan pemahaman yang masih rendah tentang perempuan dan demokrasi.
Padahal, jumlah pemilih perempuan pada Pemilu 2024 lalu mencapai 50,09 persen. Angka ini setidaknya menunjukkan kontribusi suara perempuan yang sangat besar dalam proses demokrasi Indonesia. Karena pemahaman yang rendah, alhasil sudut pandang yang terbentuk menempatkan perempuan sekedar objek dan pelengkap elektoral.
"Kalau (ditempatkan sebagai) subjek, dia (perempuan) akan dihormati," kata Kurnia kepada Suara.com, Senin (25/11/2024).
Kurangnya perspektif gender itu terlihat dari cara calon kepala daerah menerjemahkan persoalan perempuan dalam visi-misi.
Hasil studi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang dirilis pada 9 September 2024, menunjukkan bahwa isu perempuan dan anak dalam visi-misi serta program calon kepala daerah masih kurang dari 18 persen. Misalnya di Pilkada Jakarta, ketiga paslon dalam program kerjanya mesih menitikberatkan perempuan sebagai objek. Sejumlah program yang digembor-gemborkan paslon di antaranya terkait edukasi, pemberdayaan/pelatihan perempuan, dan layanan pusat pengaduan. Dalam program itu tak ada yang melibatkan laki-laki. Padahal kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi salah satu faktornya adalah kurangnya edukasi kepada laki-laki.
Kurnia menjelaskan, berbicara soal kesetaraan gender tak bisa hanya dilihat dari sisi perempuan. Menurutnya, untuk mengadvokasi isu perempuan harus turut melibatkan kerja sama laki-laki.
"Karena kan perspektif yang masih mendiskriminasi perempuan itu rata-rata dimiliki oleh laki-laki," ujarnya.
Kurnia pun tak heran dengan ketiga paslon kepala daerah Jakarta yang melontarkan kalimat seksis. Sebab sikap itu sudah tercermin dari cara mereka menyusun program kerja berkaitan dengan isu perempuan.
"Artinya kan memang dalam benak mereka atau benak tim suksesnya, persoalan gender ini persoalan perempuan saja. Bukan laki-laki yang harus merubah perspektifnya," tutur dia.
Kurnia mengingatkan kepada para pemilih, khususnya perempuan agar memilih pemimpin yang memiliki perspektif gender. Sebab bakal sangat berbahaya jika pemimpin terpilih tidak memahami dengan benar tentang persoalan perempuan. Kekhawatirannya, kebijakan yang diambil berpotensi tidak ramah bagi perempuan.
Sementara, pengamat komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto Djoewanto menilai pernyataan seksis yang dilontarkan calon kepala daerah membahayakan sekaligus merugikan mereka sendiri. Sebab, daya kritis masyarakat yang semakin tajam.
"Saya kira mereka sudah melepaskan kesempatan untuk bisa menarik perhatian, menarik suara dari kalangan perempuan," kata Ignatius kepada Suara.com.
Ignatius memaknai pernyataan seksis dilontarkan calon kepala daerah menunjukkan sudut pandang patriarki yang kental. Padahal ada banyak materi kampanye yang dapat dikembangkan guna menarik perhatian pemilih.
Menurutnya, para paslon kepala daerah seharusnya lebih sensitif, khususnya terkait dengan pengunaan kata janda. Dalam berbagai kasus banyak perempuan menjadi orang tua tunggal hidup dalam keprihatinan.
"Mereka harus menghidupi keluarga, menghidupi anak-anak dengan berperan ganda," kata Ignatius.
Tantangan Calon Pemimpin Perempuan
Selain persoalan mengobjektifikasi perempuan, tantangan yang lebih berat dialami calon kepala daerah perempuan. Bagaimana tidak, kedudukannya sebagai perempuan diragukan dan direndahkan sebagai calon pemimpin. Tak jarang sudut pandang merendahkan itu datang dari sesama kontestan Pilkada.
Calon Wakil Gubernur Banten saat debat merendahkan lawannya, yakni Airin Rachmi Diany. Dia menyebut menjadi gubernur itu memiliki beban yang berat, sehingga tidak layak dijabat oleh perempuan. Menurutnya yang pantas menjadi gubernur adalah laki-laki.
Di Sleman, beredar baliho paslon bupati dan wakil bupati nomor urut 2, Harda Kiswaya-Danang Maharsa yang terkesan merendahkan pasangan pesaingnya Kustini Sri Purnomo-Sukamto.
Di baliho yang beredar menunjukkan foto wajah Harda dan Danang yang bertuliskan, "Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang". Artinya memilih pemimpin kok perempuan, pemimpin itu harus laki-laki.
Setelah baliho keduanya beredar luas, Harda-Danang memberikan klarifikasi bahwa baliho itu bukan mereka yang membuat dan memasang. Kepada tim suksesnya Harda-Danang meminta agar mencari pelaku yang memasang baliho itu.
Di Aceh, calon kepala daerah perempuan mendapatkan tantangan yang lebih berat. Dalam narasi yang beredar, perempuan diharamkan menjadi pemimpin. Dari informasi yang dihimpun, narasi itu muncul dari ulama Aceh, Abu Mud, seorang petinggi Partai Adil Sejahtera, partai lokal Aceh. Bagi mereka yang menentang narasi itu dicap menentang syariat Islam.
Sebagai peneliti yang concern isu gender dan Islam dalam politik, Kurnia menyayangkan masih munculnya narasi-narasi seperti itu. Menurutnya, perdebatan boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin di tingkat lokal atau nasional sudah lama terselesaikan.
Dalam penelitian disertasinya tentang Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menyebutkan bahwa dua organisasi Islam terbesar itu sepakat tidak melarang perempuan menjadi pemimpin. Kurnia menilai, narasi itu bentuk kemunduran dalam Pilkada di tengah meningkatnya keterwakilan perempuan di berbagai daerah.
Dia menuturkan, narasi perempuan tak layak menjadi pemimpin itu merupakan salah satu cara paling mudah bagi pesaing untuk menjatuhkan lawan politiknya dengan menyerang identitas gender. Cara ini sekaligus menunjukkan budaya patriarki yang masih kental--memposisikan perempuan sebagai kelompok kelas kedua.
"Sebetulnya itu hanya politik untuk membuat narasi yang menjatuhkan. Tapi itu kan juga tidak adil, karena sebetulnya baik perempuan maupun laki-laki punya hak yang sama untuk berkompetisi di ruang Pilkada," kata Kurnia.
Sementara itu, Komnas Perempuan menilai narasi tersebut sebagai bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan dalam penyelenggaran pemilihan umum. Cara-cara itu bertentangan dengan konstitusi dan norma-norma hak asasi manusia.
Komnas Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan dalam kontestasi elektoral meliputi; segala bentuk kekerasan yang ditujukan kepada perempuan karena ia perempuan, atau kekerasan yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional karena partisipasi dan/atau aspirasi mereka untuk mendapatkan jabatan politik dan/atau terlibat dalam aktivitas politik dalam penyelenggaraan Pemilu. Kekerasan ditujukan guna membatasi, menghalangi dan melemahkan perempuan. Dampaknya perempuan berada dalam posisi tidak setara dalam memilih, dipilih, mencalonkan diri, berkampanye, berserikat, berkumpul, berekspresi atau berpendapat atas dirinya sendiri.
DPR memilih lima dari sepuluh capim yang akan memimpin KPK periode 2024-2029, Kamis, 21 November 2024.
Dukungan Anies terhadap Pramono-Rano jauh lebih berpengaruh jika dibandingkan dukungan Jokowi kepada RK-Suswono.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.