Suara.com - Komisi III DPR RI telah menuntaskan uji kelayakan dan kepatutan untuk 10 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). DPR memilih lima dari sepuluh capim yang akan memimpin KPK periode 2024-2029, Kamis, 21 November 2024. Aparat penegak hukum dari Polri dan Kejaksaan Agung masih mendominasi pimpinan KPK kali ini.
Setyo Budiyanto, misalnya. Perwira tinggi Polri yang kini terpilih menjadi Ketua KPK, adalah jenderal polisi bintang tiga. Ia memang bukan wajah baru di KPK. Setyo sebelumnya menjabat sebagai Koordinator Supervisi Kedeputian Penindakan pada 2019 dan Direktur Penyidikan pada 2020.
Empat wakil ketua KPK yang terpilih antara lain Fitroh Rohcahyanto, seorang jaksa yang pernah menjabat Direktur Penuntutan KPK; Johanis Tanak, pensiunan jaksa yang menggantikan Lili Pintauli Siregar setelah terjerat pelanggaran etik; Ibnu Basuki Widodo, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang juga pernah menjabat di Pengadilan Tinggi Manado; dan Agus Joko Pramono, mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan.
Komposisi pimpinan KPK periode 2024-2029 ini jelas berbeda dengan sebelumnya, karena tidak ada perwakilan masyarakat sipil. Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai bahwa keberadaan perwakilan masyarakat sipil penting sebagai penjaga independensi KPK. Sayangnya, hal tersebut tidak menjadi pertimbangan Komisi III DPR RI.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menilai bahwa dominasi aparat penegak hukum dalam kepemimpinan KPK mencerminkan upaya DPR RI untuk melemahkan lembaga antikorupsi. Menurut Diky, upaya ini sudah dimulai sejak 2019, saat Komisi III DPR memilih Firli Bahuri sebagai Ketua KPK meski koalisi masyarakat sipil telah mengingatkan rekam jejaknya yang terindikasi pelanggaran etik. Peringatan itu diabaikan, dan Firli akhirnya menjadi Ketua KPK pertama yang berstatus tersangka korupsi.
Terpilihnya Johanis Tanak kembali juga menunjukkan kelalaian DPR dalam menilai rekam jejak calon pimpinan KPK. Tanak pernah disidang etik oleh Dewas KPK terkait komunikasi dengan Muhammad Idris Froyoto Sihite, yang terlibat kasus di KPK. Meskipun Dewas menyatakan Tanak tidak terbukti melanggar etik, anggota Dewas, Albertina Ho, menyatakan dissenting opinion karena yakin ada pelanggaran etik.
Upaya melemahkan KPK berlanjut dengan revisi UU KPK pada 2019, yang memudahkan pemecatan pegawai, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Revisi ini berdampak pada kinerja KPK, terutama dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang menurun drastis. ICW mencatat, pada 2018 KPK mengungkap 30 kasus lewat OTT, namun pada 2023 hanya 8 kasus.
Selain itu, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia juga menurun. Setelah revisi UU KPK dan terpilihnya Firli, IPK Indonesia turun ke angka 37 pada 2020, kemudian stagnan di angka 34 pada 2022 hingga 2024.
Kehadiran aparat penegak hukum di pucuk pimpinan KPK berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, karena bisa muncul loyalitas ganda, terutama terkait penyelidikan kasus di lembaga asal pimpinan terpilih.
"Kenapa kemudian ICW dari awal menolak pimpinan KPK berasal dari penegak hukum, akan semakin menambah panjang permasalahan loyalitas ganda yang menjadi permasalahan akut selama ini di KPK," kata Diky kepada Suara.com, Jumat (23/11/2024).
Ketua KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo, mengungkapkan bahwa banyak penyidik KPK yang masih berafiliasi dengan pihak luar, termasuk Polri, BIN, dan Kejaksaan. Hal ini memicu ketegangan, terutama dalam hubungan antara KPK dan Polri, yang pernah memanas dalam kasus "Cicak vs Buaya", terkait penyelidikan dugaan korupsi di tubuh Polri.
Keberadaan aparat penegak hukum di KPK juga dianggap bertentangan dengan semangat pendiriannya pada 2002. Pakar Hukum Tata Negara, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan bahwa KPK dibentuk karena ketidakmampuan Polri dan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus korupsi pada masa itu. "Dengan pilihan ini, Komisi III DPR RI telah mengabaikan fakta sejarah ini," tegasnya.
Diky dari ICW mempertanyakan urgensi keberadaan aparat penegak hukum di pucuk pimpinan KPK, terutama karena tidak ada ketentuan dalam UU KPK yang mengharuskan pimpinan berasal dari aparat. Jika mereka dianggap memiliki kapasitas lebih dalam pemberantasan korupsi, mengapa tidak diberdayakan di lembaga asalnya, seperti Kejaksaan atau Kepolisian, untuk memperbaiki penindakan korupsi di lembaga tersebut?
Menanggapi kritikan ini, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, membela hasil seleksi pimpinan KPK. Ia menjelaskan bahwa proses seleksi dilakukan secara ketat, dengan semua anggota komisi mengajukan pertanyaan tajam kepada para calon, yang akhirnya diputuskan melalui voting.
Suara.com menghubungi tiga pimpinan KPK terpilih—Setyo Budiyanto, Johanis Tanak, dan Fitroh Rohcahyanto—untuk menanggapi kritikan yang ditujukan kepada mereka. Hanya Fitroh yang memberikan respons, menganggap wajar adanya keraguan publik dan berjanji bersama pimpinan lainnya untuk menunjukkan sikap objektif dalam penanganan perkara korupsi.
"Artinya murni hanya demi kepentingan hukum, tanpa dipengaruhi kepentingan lain, termasuk tanpa melihat hubungan pelaku korupsi dengan instansi tertentu. Sebagaimana tagline yang saya angkat 'KPK Idola', waktulah yang akan menjawab kritik itu," katanya kepada Suara.com.
Gejala KPK Dilemahkan?
Tanda-tanda upaya Komisi III DPR untuk melemahkan KPK terlihat jelas dalam proses uji kelayakan capim KPK, dengan beberapa pernyataan kontroversial.
Misalnya, Anggota Komisi III DPR, Rudianto Lalo, mempertanyakan relevansi Operasi Tangkap Tangan (OTT) dalam pemberantasan korupsi. Menanggapi itu, Tanak justru mengatakan bahwa OTT tidak tepat, karena tidak tercantum dalam KUHP. Jawaban tersebut disambut tepuk tangan meriah dari anggota Komisi III DPR. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai Tanak sengaja mengeluarkan pernyataan tersebut untuk menyenangkan anggota dewan, yang memang cenderung takut terhadap OTT.
Tanda lainnya adalah pernyataan Anggota Komisi III, Hasbiallah Ilyas, yang menyarankan Wisnu Baroto—calon Dewan Pengawas KPK—untuk menelepon terduga korupsi sebelum melakukan penangkapan.
"Kalau nanti bapak (Wisnu) terpilih, bapak harus mengambil sikap ekstrem, kalau sudah tahu misalnya salah satu pejabat negara, gubernur atau bupati melakukan korupsi atau indikasi melakukan korupsi, itu paling tidak kita sampaikan, kita telepon," kata Ilyas Rabu (22/11/2024).
Dengan hal itu, katanya, tindak pidana korupsi dapat dicegah, kerugian negara dapat dihindarkan. Menurutnya penindakan yang berjalan memakan biaya yang mahal sehingga merugikan keuangan negara.
Kontroversi selanjutnya datang dari Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman saat uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Dewas KPK pada Rabu (20/11/2024). Kepada Benny Jozua Mamoto, politisi Gerindra itu meminta agar sesi wawancara doorstop dengan media ditiadakan, jika terpilih menjadi anggota Dewas KPK. Menurutnya doorstop jadi saluran saling serang antara pimpinan KPK dengan Dewas periode sebelumnya.
Apalagi, katanya, jika doorstop berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani KPK. Habiburokhman lantas meminta hal-hal tersebut tidak dilakukan, dan seharusnya menunjuk juru bicara sebagai saluran resmi menyampaikan informasi.
Benny Jozua Mamoto pun sepakat dengan permintaan Habiburokhman. Belakangan, Benny terpilih menjadi ketua Dewas KPK.
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) merespons hal tersebut. AJI menilai pernyataan Habiburokhman sebagai bentuk intervensi terhadap aparat penegak hukum. Di sisi lain sebagai upaya menghalangi hak narasumber, dan media mendapatkan informasi sehingga dapat mengancam kebebasan pers.
Dukungan Anies terhadap Pramono-Rano jauh lebih berpengaruh jika dibandingkan dukungan Jokowi kepada RK-Suswono.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.