Bias Antara Keadilan dan Reputasi, Mahasiswi Lapor Dosen Cabul Dituduh Halusinasi
Home > Detail

Bias Antara Keadilan dan Reputasi, Mahasiswi Lapor Dosen Cabul Dituduh Halusinasi

Eviera Paramita Sandi

Kamis, 21 November 2024 | 19:06 WIB

Suara.com - Masih teringat jelas di ingatan seorang mahasiswa Fakultas Imu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar tentang peristiwa pahit yang dialaminya saat melakukan bimbingan skripsi kepada dosennya, FS pada 25 September 2024.

Kala itu, ruang kerja FS memang sedang sepi. Tak disangka, pertemuan di suasana tenang yang seharusnya mendukung untuk fokus pada diskusi akademik itu malah berubah mimpi buruk.

“Setelah selesai bimbingan, saya pamit. Tapi dia melarang saya pulang,” cerita mahasiswi tersebut dengan suara yang bergetar menahan tangis.

Dosen FS yang ia harapkan untuk bisa memudahkan langkahnya menyelesaikan studi itu awalnya bertindak di luar batas, memegang tangannya lalu berusaha memeluk, mencium, bahkan menyentuhnya secara paksa.

Ia sadar ini merupakan pelecehan seksual.

“Saya melindungi diri, menolak sekuat tenaga. Tapi dia terus memaksa. Saya tolak terus sampai ada satu momen dia bisa cium dan peluk saya," ucapnya lagi sambil terisak, Selasa, 19 November 2024.  

Ia tak kuasa menahan isak tangis mengenang perlakuan pembimbing skripsi yang punya jabatan penting di kampusnya itu.

Perlakuan buas yang dilakukan oknum dosen ini membuat korban mengalami trauma berat setiap kali harus bertemu dosen lain atau melanjutkan bimbingan. Tak pelak, proses skipsinya pun terhambat.

Kegelisahan yang dirasakannya akhirnya membuat mahasiswi ini berani melapor ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Namun respons yang diterima malah menyakitkan bahkan menjatuhkan mentalnya.

Hal ini karena menurutnya Tim Satgas lebih mempercayai perkataan pelaku.

“Saya dipojokkan, tidak ada yang membela saya. Bahkan saya dianggap berhalusinasi. Mereka bilang, ‘Bagaimana mungkin dia melakukan itu? Dia baru pulang umrah,” ungkapnya. 

"Saya malah dibilangi halusinasi dan perempuan tidak baik. Di situ saya merasa disudutkan," keluhnya. 

Saat korban hampir menyerah, ada CCTV di ruang kerja dosen FS akhirnya bisa menjadi bukti nyata. Rekaman itu membungkam semua keraguan dosen yang menjadi teman pelaku.

Tindakan FS, yang selama ini ditutupi narasi religius dan status akademiknya, terbukti melanggar batas.

Namun bukti itu ternyata belum cukup membuat pelaku mendapatkan hukuman yang berat. Hal ini karena sanksi yang diberikan hanya berupa skorsing selama dua semester dan pencopotan jabatan. Hukuman ini jauh dari harapan korban yang mendambakan keadilan.

Ironi inilah yang akhirnya membuat aib di dunia pendidikkan ini terbuka ke publik setelah tahu ternyata pelaku hanya didenda skorsing. 

Bukan Hanya Satu Korban

Setelah satu korban berani bersuara, muncul pengakuan dari korban lain. Tercatat ada lima mahasiswi yang mengalami tindakan serupa.

Hal ini menguatkan dugaan bahwa kekerasan seksual di kampus bukanlah kasus tunggal, melainkan pola yang terus dibiarkan terjadi.

Meski diliputi trauma dan tekanan, korban tetap teguh untuk menuntut keadilan. Kisahnya kini menjadi sorotan publik, membuka mata banyak pihak bahwa kekerasan seksual bukanlah isu sepele.  

Korban ingin ceritanya menjadi pengingat bahwa tak ada tempat untuk predator seksual di lingkungan akademik. Publik tentu berharap besar kepada institusi pendidikkan seperti halnya perguruan tinggi untuk menjadi contoh ketegasan para kaum terpelajar untuk menghapuskan kekerasan seksual dalam bentuk apapun.

Universitas Hassanudin (Unhas) kini menghadapi sorotan tajam setelah hanya memberikan sanksi skorsing dua semester kepada FS, dosen Fakultas Ilmu Budaya yang terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya.

Bagi banyak pihak, sanksi skorsing bagi pelaku kekerasan seksual sangat ringan. Bahkan kampus Unhas seolah memberikan ruang perlindungan bagi pelaku.

Benarkah ini upaya menjaga nama baik institusi, atau memang ada yang salah dalam cara kampus menangani kekerasan seksual?

Fenomena Gunung Es

Aktivis perempuan Sulawesi Selatan, Ema Husain sangat mengecam kasus ini. Apalagi pelaku hanya disanksi administratif berupa skorsing yang dinilai tak memenuhi rasa keadilan kepada korban.

"Saya sangat mengecam. Aduh, sanksinya sangat tidak adil. Ini bagusnya karena mencuat, bagaimana dengan yang tidak karena korban tidak berani," tegasnya saat dihubungi Suara.com, Kamis, 21 November 2024.

Aktivis perempuan asal Sulawesi Selatan, Husaimah Husain atau Emma Husain [Istimewa]
Aktivis perempuan asal Sulawesi Selatan, Husaimah Husain atau Emma Husain [Istimewa]

Ema menyebut kasus ini hanya puncak dari fenomena gunung es. Di balik dinding kampus, kasus serupa mungkin terjadi lebih sering, namun tidak terungkap karena korban takut bersuara.

"Relasi kuasa yang tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa sering kali menjadi pintu masuk bagi pemerasan seksual," katanya.

Bahkan ia menuturkan kasus kekerasan seksual seperti ini, jika tidak ditindak tegas, akan terus menjadi siklus yang berulang.

Hukuman ringan untuk pelaku bukan solusi dan sanksi yang cukup. Hal ini karena mempermalukan korban dan memberi pesan seolah predator seksual masih bisa merasa aman di lingkungan akademik.

Unhas dinilai memberikan sanksi yang tak seberapa kepada pelaku, hal ini menyiratkan dilema institusi pendidikan tinggi: melindungi nama baik atau mendorong perubahan budaya yang bebas dari kekerasan seksual.

Menurut Emma kasus semacam ini seharusnya diteruskan ke ranah hukum pidana. Tidak hanya berhenti di hukuman internal yang hanya formalitas.

"Satgas PPKS wajib mendukung korban untuk melapor ke polisi, bukan sekadar memberi hukuman internal," tegasnya.

Emma melihat bahwa kasus kekerasan seksual kerap terjadi di kampus disebabkan oleh sekstorsi atau pemerasan seksual karena posisi yang tidak imbang. Misalnya, dosen yang memperdaya mahasiswi dengan ancaman nilai.

"Ini pemerasan seksual. Jika dibawa ke dalam konteks korupsi ibaratnya kejahatan yang terjadi, dimana pelaku punya relasi yang tidak imbang dengan korban dan ada unsur paksaan karena ketergantungan nilai. Korban merasa bagaimana pun harus lulus," jelasnya.

Korban dan para aktivis mendesak transparansi dan reformasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Karena jika dibiarkan, kasus ini hanya akan menambah deretan panjang cerita korban yang tidak mendapatkan keadilan.

Langkah Unhas kini dipertanyakan, akankah kampus termahsyur di Sulawesi Selatan ini akan mendengar suara korban dan publik, atau terus menormalisasi pelanggaran dengan alasan menjaga reputasi?

Senada dengan Ema Husain, Komnas perempuan pun sepakat jika kasus ini diselesaikan lewat jalur hukum. Pihaknya siap mendampingi korban.

Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad menegaskan bahwa kasus ini sudah bisa dijerat dengan tindak pidana kekerasan seksual dan ia meminta korban jangan takut melapor.

"Komnas Perempuan mendorong agar para korban sebaiknya melaporkan secara pidana. Ini harus diselesaikan secara pidana. Tidak cukup dengan skorsing," tegasnya.

Cak Fu sapaannya menilai kasus kekerasan seksual di kampus terus terjadi karena ringannya sanksi yang diberikan ke pelaku. Itu karena Satgas TPKS-nya tidak mendapat dukungan yang baik dari pimpinan kampus.

"Padahal kan kita sudah ada Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 dan nomor 55 tahun 2024. Kenapa selalu disanksi ringan, karena pimpinan perguruan tingginya tidak punya perspektif utama terhadap kekerasan seksual," ungkapnya.

Faktor lain, menurut Cak Fu, karena pimpinan kampus selalu ingin melindungi nama baik institusi.

"Bisa jadi tujuannya untuk melindungi nama baik kampus. Tapi itu tidak boleh dilakukan. Jadi korban silahkan laporkan pidananya jangan takut," tegasnya.

Bantahan Unhas

Menanggapi tudingan bahwa korban mendapat perlakuan tidak adil selama penyelidikan, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas, Prof. Farida Patittingi, dalam keterangan tertulisnya membantah keras.

Ia menjelaskan bahwa tim Satgas PPKS telah memberikan layanan pendampingan psikologis kepada korban untuk memulihkan trauma.

"Korban sudah dua kali mendapatkan sesi pemulihan psikologi. Bahkan, pada pertemuan terakhir, ia menyatakan kondisinya sudah pulih," ungkapnya.

Farida juga menyebut bahwa sanksi yang diberikan kampusnya sudah sangat berat.

"Sanksi yang kami berikan sangat berat," tegasnya.

Menurutnya, dosen FS telah dinonaktifkan dari jabatan akademik serta diberhentikan sementara dari tugas-tugas tridarma selama satu setengah tahun ke depan.

Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas, Prof. Farida Patittingi
Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas, Prof. Farida Patittingi

Farida menjelaskan bahwa keputusan ini tidak diambil sembarangan. Proses investigasi dilakukan secara mendalam, mulai dari pengumpulan bukti hingga mendengarkan keterangan pihak-pihak terkait.

"Kami memastikan korban mendapatkan ruang aman untuk menyampaikan kronologi kejadian," tambahnya.

Sanksi yang diberikan, menurut Farida, bertujuan untuk memberi efek jera dan menjadi pengingat bagi seluruh sivitas akademika agar selalu menjaga integritas dan etika dalam tugas mereka.

Sedangkan komitmen Unhas menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual memastikan bahwa penyelidikan kasus kekerasan seksual yang melibatkan dosen FS dilakukan dengan transparansi dan objektivitas.

Proses ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

"Ini bukan sekadar penyelesaian kasus, tapi langkah strategis untuk membangun budaya kampus yang melindungi semua warganya," jelasnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing


Terkait

Update Kasus Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada: Komnas HAM Ungkap Temuan Baru, Apa Itu?
Kamis, 27 Maret 2025 | 19:08 WIB

Update Kasus Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada: Komnas HAM Ungkap Temuan Baru, Apa Itu?

Di awal bulan Juni 2024, Fajar meminta F agar dibawakan seorang anak perempuan yang berusia balita dengan alasan menyukai dan menyayangi anak kecil

Musala di Mall Makassar Ini Arsitekturnya Bikin Kagum, Serasa di Istanbul!
Senin, 24 Maret 2025 | 17:43 WIB

Musala di Mall Makassar Ini Arsitekturnya Bikin Kagum, Serasa di Istanbul!

Tempat ibadah ini bukan sekadar ruang salat biasa, tetapi dibangun dengan konsep arsitektur Islam Byzantium (kekaisaran Romawi Timur).

UU TPKS: Jalan Terjal Beban Pembuktian dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Kamis, 20 Maret 2025 | 14:33 WIB

UU TPKS: Jalan Terjal Beban Pembuktian dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Tidak sedikit korban pelecehan seksual terkendala dalam soal pembuktian, maka sangat diperlukan adanya ketersediaan perangkat hukum yang dapat mengakomodasi kepentingan korban

Terbaru
Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah
polemik

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah

Kamis, 27 Maret 2025 | 17:41 WIB

Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat! polemik

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat!

Kamis, 27 Maret 2025 | 11:59 WIB

Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.

Sudah Lama Diperjuangkan, Bonus Lebaran Ojol Malah Jadi 'Bumerang'? polemik

Sudah Lama Diperjuangkan, Bonus Lebaran Ojol Malah Jadi 'Bumerang'?

Rabu, 26 Maret 2025 | 21:05 WIB

Nominal BHR dari aplikator ke pengemudi ojol yang Rp50 ribu sangat tidak manusiawi.

Nama Febri Diansyah di Pusaran Kasus SYL: Bagaimana Advokat Bisa Terseret Dugaan Pencucian Uang? polemik

Nama Febri Diansyah di Pusaran Kasus SYL: Bagaimana Advokat Bisa Terseret Dugaan Pencucian Uang?

Selasa, 25 Maret 2025 | 12:05 WIB

Kemunculan nama Febri dan rekan-rekannya memicu pertanyaan, bagaimana advokat bisa terseret dalam dugaan pencucian uang kliennya sendiri?

Budaya Pungli THR Ormas: Kesenjangan Ekonomi Hingga Lemahnya Penegakan Hukum polemik

Budaya Pungli THR Ormas: Kesenjangan Ekonomi Hingga Lemahnya Penegakan Hukum

Selasa, 25 Maret 2025 | 09:28 WIB

Pungli permintaan THR oleh ormas disebabkan negara gagal memberikan penghidupan kepada warganya.

Wacana Pencabutan Moratorium PMI ke Arab Saudi: Jangan Hanya Demi Devisi, Tapi Abai Nasib Pekerja polemik

Wacana Pencabutan Moratorium PMI ke Arab Saudi: Jangan Hanya Demi Devisi, Tapi Abai Nasib Pekerja

Senin, 24 Maret 2025 | 12:09 WIB

Moratorium yang telah berlaku selama 10 tahun ini akan dibuka dengan target pengiriman 600 ribu PMI.

Polisi Peras Miliar Rupiah Dana Sekolah: Korupsi Menggurita di Tubuh Polri? polemik

Polisi Peras Miliar Rupiah Dana Sekolah: Korupsi Menggurita di Tubuh Polri?

Senin, 24 Maret 2025 | 09:04 WIB

"Prinsip equality before the law seolah tidak berlaku bagi anggota kepolisian," ujar Bambang.