Suara.com - Masih teringat jelas di ingatan seorang mahasiswa Fakultas Imu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar tentang peristiwa pahit yang dialaminya saat melakukan bimbingan skripsi kepada dosennya, FS pada 25 September 2024.
Kala itu, ruang kerja FS memang sedang sepi. Tak disangka, pertemuan di suasana tenang yang seharusnya mendukung untuk fokus pada diskusi akademik itu malah berubah mimpi buruk.
“Setelah selesai bimbingan, saya pamit. Tapi dia melarang saya pulang,” cerita mahasiswi tersebut dengan suara yang bergetar menahan tangis.
Dosen FS yang ia harapkan untuk bisa memudahkan langkahnya menyelesaikan studi itu awalnya bertindak di luar batas, memegang tangannya lalu berusaha memeluk, mencium, bahkan menyentuhnya secara paksa.
Ia sadar ini merupakan pelecehan seksual.
“Saya melindungi diri, menolak sekuat tenaga. Tapi dia terus memaksa. Saya tolak terus sampai ada satu momen dia bisa cium dan peluk saya," ucapnya lagi sambil terisak, Selasa, 19 November 2024.
Ia tak kuasa menahan isak tangis mengenang perlakuan pembimbing skripsi yang punya jabatan penting di kampusnya itu.
Perlakuan buas yang dilakukan oknum dosen ini membuat korban mengalami trauma berat setiap kali harus bertemu dosen lain atau melanjutkan bimbingan. Tak pelak, proses skipsinya pun terhambat.
Kegelisahan yang dirasakannya akhirnya membuat mahasiswi ini berani melapor ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Namun respons yang diterima malah menyakitkan bahkan menjatuhkan mentalnya.
Hal ini karena menurutnya Tim Satgas lebih mempercayai perkataan pelaku.
“Saya dipojokkan, tidak ada yang membela saya. Bahkan saya dianggap berhalusinasi. Mereka bilang, ‘Bagaimana mungkin dia melakukan itu? Dia baru pulang umrah,” ungkapnya.
"Saya malah dibilangi halusinasi dan perempuan tidak baik. Di situ saya merasa disudutkan," keluhnya.
Saat korban hampir menyerah, ada CCTV di ruang kerja dosen FS akhirnya bisa menjadi bukti nyata. Rekaman itu membungkam semua keraguan dosen yang menjadi teman pelaku.
Tindakan FS, yang selama ini ditutupi narasi religius dan status akademiknya, terbukti melanggar batas.
Namun bukti itu ternyata belum cukup membuat pelaku mendapatkan hukuman yang berat. Hal ini karena sanksi yang diberikan hanya berupa skorsing selama dua semester dan pencopotan jabatan. Hukuman ini jauh dari harapan korban yang mendambakan keadilan.
Ironi inilah yang akhirnya membuat aib di dunia pendidikkan ini terbuka ke publik setelah tahu ternyata pelaku hanya didenda skorsing.
Bukan Hanya Satu Korban
Setelah satu korban berani bersuara, muncul pengakuan dari korban lain. Tercatat ada lima mahasiswi yang mengalami tindakan serupa.
Hal ini menguatkan dugaan bahwa kekerasan seksual di kampus bukanlah kasus tunggal, melainkan pola yang terus dibiarkan terjadi.
Meski diliputi trauma dan tekanan, korban tetap teguh untuk menuntut keadilan. Kisahnya kini menjadi sorotan publik, membuka mata banyak pihak bahwa kekerasan seksual bukanlah isu sepele.
Korban ingin ceritanya menjadi pengingat bahwa tak ada tempat untuk predator seksual di lingkungan akademik. Publik tentu berharap besar kepada institusi pendidikkan seperti halnya perguruan tinggi untuk menjadi contoh ketegasan para kaum terpelajar untuk menghapuskan kekerasan seksual dalam bentuk apapun.
Universitas Hassanudin (Unhas) kini menghadapi sorotan tajam setelah hanya memberikan sanksi skorsing dua semester kepada FS, dosen Fakultas Ilmu Budaya yang terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya.
Bagi banyak pihak, sanksi skorsing bagi pelaku kekerasan seksual sangat ringan. Bahkan kampus Unhas seolah memberikan ruang perlindungan bagi pelaku.
Benarkah ini upaya menjaga nama baik institusi, atau memang ada yang salah dalam cara kampus menangani kekerasan seksual?
Fenomena Gunung Es
Aktivis perempuan Sulawesi Selatan, Ema Husain sangat mengecam kasus ini. Apalagi pelaku hanya disanksi administratif berupa skorsing yang dinilai tak memenuhi rasa keadilan kepada korban.
"Saya sangat mengecam. Aduh, sanksinya sangat tidak adil. Ini bagusnya karena mencuat, bagaimana dengan yang tidak karena korban tidak berani," tegasnya saat dihubungi Suara.com, Kamis, 21 November 2024.
Ema menyebut kasus ini hanya puncak dari fenomena gunung es. Di balik dinding kampus, kasus serupa mungkin terjadi lebih sering, namun tidak terungkap karena korban takut bersuara.
"Relasi kuasa yang tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa sering kali menjadi pintu masuk bagi pemerasan seksual," katanya.
Bahkan ia menuturkan kasus kekerasan seksual seperti ini, jika tidak ditindak tegas, akan terus menjadi siklus yang berulang.
Hukuman ringan untuk pelaku bukan solusi dan sanksi yang cukup. Hal ini karena mempermalukan korban dan memberi pesan seolah predator seksual masih bisa merasa aman di lingkungan akademik.
Unhas dinilai memberikan sanksi yang tak seberapa kepada pelaku, hal ini menyiratkan dilema institusi pendidikan tinggi: melindungi nama baik atau mendorong perubahan budaya yang bebas dari kekerasan seksual.
Menurut Emma kasus semacam ini seharusnya diteruskan ke ranah hukum pidana. Tidak hanya berhenti di hukuman internal yang hanya formalitas.
"Satgas PPKS wajib mendukung korban untuk melapor ke polisi, bukan sekadar memberi hukuman internal," tegasnya.
Emma melihat bahwa kasus kekerasan seksual kerap terjadi di kampus disebabkan oleh sekstorsi atau pemerasan seksual karena posisi yang tidak imbang. Misalnya, dosen yang memperdaya mahasiswi dengan ancaman nilai.
"Ini pemerasan seksual. Jika dibawa ke dalam konteks korupsi ibaratnya kejahatan yang terjadi, dimana pelaku punya relasi yang tidak imbang dengan korban dan ada unsur paksaan karena ketergantungan nilai. Korban merasa bagaimana pun harus lulus," jelasnya.
Korban dan para aktivis mendesak transparansi dan reformasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Karena jika dibiarkan, kasus ini hanya akan menambah deretan panjang cerita korban yang tidak mendapatkan keadilan.
Langkah Unhas kini dipertanyakan, akankah kampus termahsyur di Sulawesi Selatan ini akan mendengar suara korban dan publik, atau terus menormalisasi pelanggaran dengan alasan menjaga reputasi?
Senada dengan Ema Husain, Komnas perempuan pun sepakat jika kasus ini diselesaikan lewat jalur hukum. Pihaknya siap mendampingi korban.
Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad menegaskan bahwa kasus ini sudah bisa dijerat dengan tindak pidana kekerasan seksual dan ia meminta korban jangan takut melapor.
"Komnas Perempuan mendorong agar para korban sebaiknya melaporkan secara pidana. Ini harus diselesaikan secara pidana. Tidak cukup dengan skorsing," tegasnya.
Cak Fu sapaannya menilai kasus kekerasan seksual di kampus terus terjadi karena ringannya sanksi yang diberikan ke pelaku. Itu karena Satgas TPKS-nya tidak mendapat dukungan yang baik dari pimpinan kampus.
"Padahal kan kita sudah ada Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 dan nomor 55 tahun 2024. Kenapa selalu disanksi ringan, karena pimpinan perguruan tingginya tidak punya perspektif utama terhadap kekerasan seksual," ungkapnya.
Faktor lain, menurut Cak Fu, karena pimpinan kampus selalu ingin melindungi nama baik institusi.
"Bisa jadi tujuannya untuk melindungi nama baik kampus. Tapi itu tidak boleh dilakukan. Jadi korban silahkan laporkan pidananya jangan takut," tegasnya.
Bantahan Unhas
Menanggapi tudingan bahwa korban mendapat perlakuan tidak adil selama penyelidikan, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas, Prof. Farida Patittingi, dalam keterangan tertulisnya membantah keras.
Ia menjelaskan bahwa tim Satgas PPKS telah memberikan layanan pendampingan psikologis kepada korban untuk memulihkan trauma.
"Korban sudah dua kali mendapatkan sesi pemulihan psikologi. Bahkan, pada pertemuan terakhir, ia menyatakan kondisinya sudah pulih," ungkapnya.
Farida juga menyebut bahwa sanksi yang diberikan kampusnya sudah sangat berat.
"Sanksi yang kami berikan sangat berat," tegasnya.
Menurutnya, dosen FS telah dinonaktifkan dari jabatan akademik serta diberhentikan sementara dari tugas-tugas tridarma selama satu setengah tahun ke depan.
Farida menjelaskan bahwa keputusan ini tidak diambil sembarangan. Proses investigasi dilakukan secara mendalam, mulai dari pengumpulan bukti hingga mendengarkan keterangan pihak-pihak terkait.
"Kami memastikan korban mendapatkan ruang aman untuk menyampaikan kronologi kejadian," tambahnya.
Sanksi yang diberikan, menurut Farida, bertujuan untuk memberi efek jera dan menjadi pengingat bagi seluruh sivitas akademika agar selalu menjaga integritas dan etika dalam tugas mereka.
Sedangkan komitmen Unhas menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual memastikan bahwa penyelidikan kasus kekerasan seksual yang melibatkan dosen FS dilakukan dengan transparansi dan objektivitas.
Proses ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
"Ini bukan sekadar penyelesaian kasus, tapi langkah strategis untuk membangun budaya kampus yang melindungi semua warganya," jelasnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.