Suara.com - Dua puluh tahun sudah Syaida (40) menjadi guru di salah satu SD negeri di Sumatera Utara. Selama itu pula Syaida sudah melewati 4 kurikulum yang diterapkan pemerinta, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka.
Belakangan pemerintah berencana kembali merombak kurikulum. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka. Syaida juga telah mendengar rencana itu. Meski belum ada kepastian, tapi disebut pergantian akan terlihat pada tahun ajaran 2025/2026.
Sebagai tenaga pendidik ia sadar perubahan adalah keniscayaan. Namun, Syaida berharap perubahan kurikulum tidak terlalu signifikan. Sebab, Kurikulum Merdeka, yang baru diluncurkan pada 2021 dan resmi diterapkan pada jenjang SD hingga SMA sejak tahun ajaran 2024/2025, masih ia pelajari.
"Kita kan baru adaptasi dengan kurikulum Merdeka, nah, ini masah mau ganti lagi. Ganti lagi, mau enggak mau kami harus belajar lagi, makan waktu lagi," kata Syaida kepada Suara.com, Kamis (20/11/2024).
Syaida mengakui, meski membawa semangat baru, Kurikulum Merdeka masih menyisakan banyak persoalan, terutama pada beban administrasi digital. Proses ini, yang dilakukan melalui aplikasi, menjadi tantangan besar bagi banyak guru yang kurang terbiasa dengan teknologi.
Meski ia sendiri cukup terbantu karena memahami dasar penggunaan komputer, tidak semua rekan sejawatnya memiliki kemampuan serupa. Ditambah lagi, bagi guru di pelosok dengan akses internet terbatas, beban ini menjadi semakin berat.
Selain administrasi, kendala lain datang dari minimnya sarana dan prasarana. Di kabupaten tempat Syaida mengajar, fasilitas seringkali tidak mendukung. Contohnya, dalam pembelajaran sejarah, guru diberi kebebasan menyampaikan materi secara kreatif, seperti kunjungan ke museum. Namun, keberadaan museum yang terbatas dan jarak yang jauh memaksa Syaida mencari alternatif, seperti mengunjungi situs bersejarah terdekat.
Tantangan juga muncul dari kebutuhan internet untuk pembelajaran. Tidak semua siswa dan orang tua memiliki perangkat atau mampu membeli paket data. Bahkan, beberapa guru pun menghadapi kendala serupa.
Syaida berharap pemerintah tidak buru-buru mengganti Kurikulum Merdeka, melainkan fokus pada evaluasi dan perbaikan, terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana yang merata di seluruh wilayah.
"Sebenarnya jika sarana dan prasarana mendukung, guru juga mendukung, tak ada yang salah dengan Merdeka. Tapi untuk kami yang di wilayah kabupaten, ini menjadi sulit. Tentu berbeda dengan yang di kota," kata Syaida.
Ganti Menteri Tak Harus Ganti Kurikulum
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, sependapat dengan keresahan yang disampaikan Syaida. Ia menilai tantangan utama Kurikulum Merdeka terletak pada keterbatasan sarana, prasarana, dan beban administrasi.
Menurutnya, daripada mengganti kurikulum, Mendikdasmen Abdul Mu'ti sebaiknya fokus pada evaluasi dan perbaikan. Guru, kata Satriwan, tidak anti terhadap perubahan kurikulum. Namun, penerapan Kurikulum Merdeka yang baru seumur jagung perlu dipertimbangkan.
Kurikulum ini baru diimplementasikan secara nasional pada Juli 2024 melalui Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Mengganti kurikulum secara menyeluruh, mulai dari nama hingga strukturnya, dalam waktu singkat justru berisiko menambah kerumitan di lapangan.
"Ini resikonya akan besar. Ya, siapa yang akan menanggung resikonya? Itu anak-anak murid kita. Ya kan? Kemudian juga guru. Lagi-lagi, murid dan guru menjadi kelinci percobaan otak-atik kurikulum dari pemerintah yang baru," katanya kepada Suara.com.
Ditegaskan Satriwan, pergantian menteri, bukan berarti kurikulum pendidikan harus berganti. Sejak merdeka, Indonesia memiliki sekitar 38 menteri pendidikan, mulai dari menteri pertama Ki Hajar Dewantara hingga Nadiem Makarim--yang kemudian digantikan Abdul Mu'ti pada era pemerintahan Presiden Prabowo.
Selama itu pula Indonesia hanya memiliki 11 kurikulum, yakni Rencana Pelajaran 1947, Rencana Pelajaran Terurai 1952, Rencana Pendidikan 1964, kurikulum 1968/Pembaruan Kurikulum 19964, Kurikulum 1975, kurikulum 1984/Penyempurnaan Kurikulum 1975, kurikulum 1994/Penyempurnaan Kurikulum 1984, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013, dan Kurikulum Merdeka 2021.
"Jadi kalau ganti menteri ganti kurikulum, ya harusnya 38 kali kurikulum berganti ya. Ini kan baru 11 kali, sampai kurikulum Merdeka," kata Satriwan.
Sebagai organisasi pendidikan, P2G berharap agar Abdul Mu'ti meneruskan Merdeka, tapi sambil melakukan perbaikan, misalnya, dari segi implementasi pelatihan guru.
Pada era Nadiem implementasi pelatihan guru sangat bergantung terhadap platform Merdeka Mengajar. Sayangnya, platform tersebut hanya dapat diakses para guru yang memiliki jangkauan internet dan komputer atau perangkat sejenisnya. Menjadi tantangan bagi mereka yang berada di wilayah pelosok.
Pelatihan tidak bisa bergantung hanya pada platform, harus juga diberikan pelatihan langsung dengan melibatkan para pelatih yang handal dari pusat, dan dari masing-masing daerah.
"Jangan oleh algoritma, jangan oleh teknologi yang memberikan pelatihan, tapi manusia," tegasnya.
Selain mengurangi beban administrasi guru dan memperbarui buku teks Kurikulum Merdeka, perbaikan pada Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) juga menjadi perhatian penting.
Menurut Satriwan, P5 seringkali hanya bersifat seremonial melalui festival-festival, padahal seharusnya menjadi sarana menanamkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam pembelajaran di sekolah.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, juga menilai Merdeka perlu dievaluasi. Ia menyoroti beberapa program yang perlu ditiadakan, seperti program guru penggerak, yang menurutnya lebih sering dimanfaatkan sebagai syarat menjadi kepala sekolah daripada meningkatkan kualitas pendidikan.
"Sekarang tuh jenjang kepala sekolah, kan, asal ikut guru penggerak bisa jadi kepala sekolah. Itu salah kaprah, menurut saya," kata Cecep kepada Suara.com.
Seharusnya pelatihan terbuka untuk seluruh guru, sehingga perlu dilakukan pemetaan untuk mengetahui peningkatan keterampilan yang dibutuhkan.
Sementara hal yang perlu dipertahankan dalam kurikulum Merdeka, yakni pemberian keleluasan kepada guru dalam proses belajar mengajar. Dengan hal tersebut, guru memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi kreativitasnya dalam memberikan materi kepada para siswa dengan konten-konten yang menarik.
Kemudian penghapusan penjurusan seperti IPA dan IPS di jenjang SMA juga harus dipertahankan. Menurut Cecep, penjurusan memang lebih baik ada di tingkat perguruan tinggi.
Namun demikian, penghapusan penjurusan harus dibarengi dengan ketersedian sarana dan prasarana yang mendukung. Dia mencontohkan, tidak adanya jurusan IPA, bukan berarti laboratorium ditiadakan. Tak kalah penting, peningkatan kompetensi guru dan peningkatan kesejahteraannya.
Perlu sejumlah pengalaman berupa serangkaian pelaksanaan pemilu yang dapat digunakan untuk memperbaiki aturan pelaksanaannya.
Guru honorer SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Supriyani, menjalani tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) secara online hari ini.
Tantangan dari sistem Ujian Nasional berbasis komputer, mulai dari ketimpangan akses teknologi, kurangnya kesiapan dari para guru, hingga kebutuhan akan penilaian pendidikan.
Haruskan nonton web series-nya dulu sebelum nonton film Sore: Istri dari Masa Depan? Jawabannya ada di sini.
Rasanya seperti berwisata ke taman safari dengan koleksi dinosaurus kerennya. Seru, tapi mudah terlupakan.
"Dalam catatan sejarah itu tercantum Blang Padang (milik Masjid Raya), kata Cek Midi.
M3GAN 2.0 nggak lagi serem seperti film pertamanya.
"Tapi saya yakin tidak ada lah penegakan hukum yang akan menjerat penjual pecel lele. Itu tidak apple to apple," ujar Zaenur.
Setiap tindak penyiksaan harus diberikan hukuman yang setimpal dan memberi jaminan ganti rugi terhadap korban serta kompensasi yang adil, jelas Anis.
Kerja sama tersebut menghilangkan daya kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat.