Suara.com - SINAR matahari mulai terasa terik, menunjukkan waktu sudah pukul 11.00 WIB. Siang itu, suasana Pasar Johar Baru, Jakarta Pusat tampak lengang. Pengunjung yang lalu-lalang di lorong lorong pasar tradisional itu bisa dihitung dengan jari.
Pengamatan jurnalis Suara.com di sana, tak banyak aktivitas yang dilakukan oleh pedagang. Sebagain dari mereka tampak terduduk di balik lapaknya masing-masing. Ada yang sibuk dengan telepon genggamnya, ada pula yang bersusah payah menahan kantuk.
Salah seorang pedagang buah, Tuti mengatakan kondisi pasar sekarang hanya ramai pengunjung di pagi hari hingga pukul 09.00 Wib. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pasar itu selalu ramai pengunjung hingga siang pukul 14.00 Wib.
"Berdagang sekarang harus siap mental dan modal. Kalau enggak bisa bertahan, ya wassalam," kata Tuti saat ditemui Suara.com, Kamis (14/10/2024).
Dia menunjuk sejumlah kios yang ditutupi lembaran papan kayu. "Itu sudah banyak yang tutup."
Perempuan 39 tahun ini mengungkapkan, jumlah pengunjung pasar setiap tahun menurun. Berkurangnya pengunjung yang datang ke Pasar Johar Baru terasa setelah pandemi covid-19.
Sepinya pengunjung pasar berdampak pada turunnya omzet penjualan pedagang. Tuti sendiri mengaku omzet dulu biasanya sekitar Rp4 juta sehari, kini turun drastis menjadi Rp2 juta per hari. Sedangkan biaya sewa kiosnya Rp15 juta per tahun.
Berkurangnya jumlah pengunjung membuat Tuti sangat berhati-hati untuk menyetok barang dagangannya. Sebab buah bukan jenis dagangan yang bisa bertahan lama, jika tak laku ia harus siap menanggung rugi.
"Buah kan kalau lama busuk," ujarnya.
Keluhan serupa juga ungkapkan oleh Erina, pedagang sayur-mayur. Dulu omzet dagangannya bisa mencapai Rp4 juta tiap hari, kini cuma sekitar Rp2 juta hingga Rp2,5 juta sehari.
"Faktornya karena daya beli warga yang menurun," ucapnya.
Kemudian sejumlah harga komoditas pokok melonjak. Seperti bawang merah dari Rp35 ribu menjadi Rp50 ribu per kilogram, begitu juga tomat dari Rp15 ribu menjadi Rp25 ribu per kilogram.
Selain itu, Erina juga kehilangan pelanggan dari kalangan restoran. Dalam beberapa bulan terakhir setidaknya tiga pelanggan tetapnya dari restoran sudah tidak berbelanja lagi karena bangkrut atau restorannya gulung tikar.
Erina pun menduga-duga, selain karena daya beli yang semakin menurun, penyebab lainnya yaitu semakin maraknya layanan belanja daring. Atas situasi itu, ia harus memutar otak agar tetap bisa bertahan. Selain mengurangi kuantitas dagangannya, dia juga mengatasinya dengan 'menjemput bola'. Kepada pelanggan baru, Erina memberikan nomor teleponnya. Pelanggan bisa berbelanja kebutuhan dapur lewat pesan whatsapp kepadanya. Sehingga pelanggan tinggal datang ke lapaknya untuk menjemput dan membayar barang yang disepan.
Atta, seorang pedagang ayam potong mengungkapkan rata-rata pelanggannya saat ini adalah pedagang pecel ayam. Sedangkan pelanggan dari kalangan warga untuk kebutuhan rumah tangga sedikit. Bahkan, sejumlah pelanggannya dari kalangan ibu rumah tangga mengurangi jatah belanja ayam mereka. Dari yang biasanya membeli satu kilogram, kini menjadi setengah kilogram.
"Ada juga yang beralih. Biasa makan ayam, jadi makan telor, tahu, tempe," kata Atta.
Beberapa keluhan yang ia dengan dari pelanggan kalangan ibu rumah tangga, mereka terpaksa mengurangi belanja ayam untuk kebutuhan sehari-hari karena alasan penghasilan berkurang. Bahkan sebagian dari mereka cerita kalau suaminya sudah tak bekerja lagi.
Menurut Atta, omset penjualannya lebih bagus pada masa pandemi. Saat itu dia bisa menjual 150 ekor ayam potong dalam sehari. Sedangkan saat ini hanya berkisar 80 ekor dan paling banyak 100 ekor per hari.
Dia mengungkapkan, dulu memiliki delapan karyawan. Kini ia hanya mampu menggaji satu karyawan.
"Kalau mau nambah karyawan lagi sudah berat sekarang," tuturnya.
Demi bertahan berjualan ayam potong, Atta juga harus meminjam uang ke bank sebesar Rp200 juta. Uang pinjaman bank itu diperlukannya untuk modal belanja dagangan dan membayar utang kepada agen yang menyuplai dagangannya.
Atta mengatakan kondisi sepi pengunjung tak hanya terjadi di Pasar Johar Baru, tapi juga terjadi di sejumlah pasar tradisional lain. Beberapa temannya sesama pedagang di pasar lain juga mengeluhkan hal yang sama. Sepi pembeli dan omzet dagangan turun mulai terjadi dalam satu tahun setakhir.
"Pada tahun 2024 ini kondisinya terasa lebih parah," keluhnya.
Lesunya aktivitas jual beli turut berdampak terhadap pendapatan pengemudi bajaj yang biasa mangkal di kawasan Pasar Johar Baru. Warto saat ditemui Suara.com, mengaku sejak sekitar pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang baru dapat satu penumpang.
"Ini baru dapat Rp10 ribu," ujarnya.
Pria berusia 55 tahun ini mengatakan pengunjung pasar dari hari ke hari semakin sepi. Dahulu dalam sehari penghasilannya dari menarik bajaj bisa mencapai Rp200 ribu. Kini dari pagi hingga petang ia hanya bisa membawa pulang uang sekitar Rp100 ribu. Sehingga uang belanja yang disetorkannya kepada istrinya juga berkurang.
"Merepet sih istri saya, tapi ya mau bagaimana lagi," katanya.
Warto hidup di Jakarta tinggal di sebuha rumah kontrakan bersama istri dan putrinya. Biaya sewanya rumah kontrakan Rp800 ribu per bulan. Sedangkan anak-anaknya yang lain sudah berkeluarga.
Kondisi ekonomi keluarganya juga semakin sulit. Putrinya harus menganggur setelah terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK di sebuah perusahan garmen baru-baru ini.
"Bingung sih, harus bayar ini dan itu," ucapnya.
Malangnya lagi, Warto baru saja kehilangan ponsel yang dibelinya secara mencicil Rp200 ribu setiap bulan selama 18 kali pembayaran.
"Padahal sudah lunas," keluhnya.
Senada dengan rekannya sesama pengemudi bajai, Nurcholis (49) juga mengeluhkan berkurangnya orang yang menggunakan jasa transportasi bajaj. Menurut dia kondisi itu semakin buruk dalam beberapa bulan terakhir.
"Kadang seharian nggak dapat penumpang. Cuma mau bagaimana lagi," ucapnya pasrah.
Nurcholis memiliki lima anak, empat di antaranya sudah bekerja. Keempat anaknya mengeyam bangku pendidikan sampai SMA. Satu anaknya masih sekolah di pesantren. Penghasilannya saat ini tak menentu. Sehari bisa mengantongi Rp100 ribu, paling banyak sekitar Rp200 ribu sehari. Pendapatan itu belum dikurangi beli bahan bakar bajai.
"Kan yang kami dapat itu bukan cuma buat makan saja, ada kebutuhan lain yang harus dibayar seperti sekolah anak," katanya.
Dampak PHK
Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) pada September 2023 menyebutkan jumlah pengunjung pasar di kawasan Jakarta mengalami penurunan bekisar antara 70 persen sampai dengan 80 persen. Penurunan terjadi sejak pandemi covid-19. Wakil Ketua Pembina APPSI, Ngadiran mengatakan banyak pedagang yang mengeluhkan penurunan omzet.
"Penurunan omzet itu betul dan saya tiap hari juga dapat keluhan kawan-kawan. Dari informasi yang diterima penurunan tersebut 50 persen bahkan lebih," kata Ngadiran kepada Suara.com, Jumat (15/11).
Menurut dia, ada banyak faktor yang menjadi penyebab, salah satunya karena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi dalam beberapa tahun belakangan ini.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Ketanagakerjaan, Jakarta menempati posisi tingkat PHK tertinggi di Indonesia. Pada periode Januari-Juni 2024 tingkat PHK di Jakarta mencapai 7.649 orang atau sekitar 23,49 persen dari total laporan kasus yang diterima Kemnaker. Lalu di posisi kedua ditempati Banten sebanyak 6.135 orang, Jawa Barat 5.155 orang, Jawa Tengah 4.275 orang, dan Sulawesi Tengah 1.812 orang.
Dampak PHK itu, kata Ngadiran, mengakibatkan daya beli masyarakat menurun karena sumber penghasilan yang hilang. Alhasil, masyarakat yang terkena PHK, mau tidak mau harus membatasi kebutuhan belanjanya.
Penurunan daya beli masyarakat dampak paling parahnya adalah menurunnya jumlah pedagang di pasar tradisional. Namun, sayangnya di tengah situasi jual beli yang lesu tidak dibarengi dengan kebijakan meringankan para pedagang.
"Sudah banyak pedagang yang gulung tikar/tutup karena biaya harian tinggi yang memprihatinkan. Adalah pihak pengelolaan pasar tidak ada toleransi dengan beban retribusi," ujarnya.
Berdasarkan aduan mereka terima banyak pedagang yang dibatalkan hak pakai kiosnya hanya karena menunggak biaya retribusi, setelah mendapat surat peringatan sebanyak tiga kali.
"Seyogyanya pengelola pasarlah yang kreatif, proaktif, inovatif bagaimana meramaikan pasar kembali," kata Ngadiran.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen pada September 2024. Angka itu disebut sebagai deflasi terparah selama lima bulan terakhir. Deflasi pertama terjadi pada Mei sebesar 0,03 persen, kemudian pada Juni 0,08 persen, lalu pada Juli berada di angka 0,18 persen. Pada Agustus sempat kembali pada angka 0,03 persen.
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Moga Simatupang, daya beli masyarakat yang menurun juga karena maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Sehingga orang yang terkena PHK mengerem untuk berbelanja.
"Dengan demikian industri ini kan agak berkurang produksinya. Dampaknya ada beberapa terjadi PHK atau pengurangan jam kerja sehingga berdampak ke daya beli seperti itu," ujarnya di Kantor Kementerian Perdagangan, Senin (7/10) lalu.
Namun, Moga melihat, ada harapan daya beli bisa kembali meningkat. Hal ini terdorong dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan libur panjang natal dan tahun baru.
"Kita berharap besok Pilkada dan juga Nataru akan normal kembali," imbuh dia.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.
Sudah seharusnya lembaga survei bekerja dengan mengedepankan moral, menghasilkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.