Suara.com - Malam itu, Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-Biru, Kabupaten Deli Serdang, diselimuti kengerian yang tak pernah terbayangkan. Puluhan prajurit dari Batalyon Artileri Medan Yon Armed-2/125 Kilap Sumagan mendatangi desa. Mereka membawa senjata tajam, benda tumpul, dan pistol. Mereka menyerang tanpa pandang bulu.
Warga berlarian mencoba menyelamatkan diri. Namun, tidak semua berhasil lolos. Beberapa diseret, dipukuli, dan diteror tanpa ampun. Di tengah kekacauan itu, Raden Barus, pria 61 tahun, menjadi korban paling tragis.
Raden ditemukan tergeletak dalam kondisi mengenaskan. Kepalanya retak, darah mengalir dari telinga, punggungnya penuh luka sayatan, dan matanya tercolok. Warga yang menemukannya segera membawanya ke klinik terdekat. Namun, semua upaya sia-sia—nyawa Raden sudah tak tertolong.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Serangan brutal itu sebenarnya dipicu oleh insiden kecil yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Semua bermula saat dua prajurit TNI, Pratu MAL dan Pratu RWP, mengisi bahan bakar di sebuah SPBU di Jalan Besar Deli Tua sekitar pukul 17.30 WIB.
Dalam perjalanan kembali ke asrama, keduanya bertemu sekelompok remaja yang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi sambil memainkan gas kendaraannya. Kedunya menegur sekelompok remaja itu. Namun, teguran dari kedua prajurit itu tak diterima para remaja, yang kemudian menghentikan mereka dan memicu perselisihan.
Perselisihan tersebut menjadi bara yang menyulut tragedi. Malam harinya, setelah apel, Pratu MAL dan Pratu RWP menceritakan kejadian itu kepada rekan-rekannya di asrama. Dengan cepat, cerita itu memicu amarah. Puluhan prajurit bersiap dan bergerak menuju Desa Cinta Adil, yang mereka duga sebagai tempat tinggal remaja yang terlibat dalam insiden tersebut.
KontraS mencatat, serangan yang terjadi pada Jumat (8/11/2024) itu bukan hanya aksi balas dendam, tetapi eskalasi kekerasan yang tak terukur.
"Kita harus sepakat, ya, geng-geng motor, ya, semacam itu harus ditertibkan, karena meresahkan masyarakat, mengganggu jalan-jalan umum. Kebanyakan juga motornya bodong," kata Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Atas peristiwa ini, Pangdam I/Bukit Barisan (BB) Letjen Mochamad Hasan menyampaikan permintan maaf kepada keluarga Raden.
"Kalau saya harus menggantikan almarhum, saya siap untuk menggantikan sekarang, saya ikhlas, kepergian almarhum meninggalkan duka kepada keluarga," ujar Hasan pada Senin (11/11/2024).
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayjen TNI Yusri Nuryanto pada Kamis (14/11), menyatakan kasus ini telah naik ke tahap penyidikan, dengan 45 anggota TNI diperiksa. Ia memastikan akan ada tersangka yang dimintai pertanggungjawaban.
Suara.com telah menghubungi Yusri lewat pesan WhatsApp pada Senin 18 November untuk meminta konfirmati terkait penyidikan yang dilakukan. Namun yang bersangkutan belum memberikan jawaban hingga berita ini ditulis.
Kepercayaan Publik dan Impunitas
Serangan terhadap masyarakat sipil ini terjadi tak lama setelah TNI merayakan ulang tahun ke-79 pada 5 Oktober lalu. Saat itu, Joko Widodo, kala masih menjadi Presiden Indonesia, memuji kedekatan TNI dengan rakyat sebagai kekuatan utama, bahkan memberikan predikat "sangat baik" untuk institusi tersebut.
Berbagai survei juga mendukung citra positif ini. Survei Indikator Politik (27 Oktober) menempatkan TNI sebagai lembaga negara paling dipercaya dengan tingkat kepercayaan 96 persen, diikuti presiden (86 persen) dan Polri di posisi kelima (69 persen).
Survei Litbang Kompas (27 Mei–2 Juni 2024) menunjukkan hasil serupa: TNI mendapat citra terbaik dengan 89,8 persen responden memberikan penilaian positif, hanya 2,9 persen menilai buruk, dan 7,3 persen tidak tahu. Polri berada di posisi kedua dengan 73 persen penilaian positif, 22,5 persen buruk, dan 4,4 persen tidak tahu.
Namun, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengingatkan bahwa tingginya kepercayaan publik tidak otomatis mencerminkan kinerja TNI. Hasil survei, menurutnya, tidak bisa menjadi satu-satunya alat ukur.
"Karena survei sendiri sejatinya bersifat temporer. Jika survei dilakukan pada saat terjadinya kasus penyerangan oleh anggota TNI terhadap warga sipil yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, tentu hasilnya akan berbeda" kata Ardi kepada Suara.com, Senin (18/11/2024).
Pernyataan Ardi, bukan tanpa alasan, peristiwa mengerikan yang terjadi di Deli Serdang sejatinya menambah rentetan panjang kasus kekerasan yang dikakukan TNI terhadap masyarakat sipil.
Catatan Imparsial sepanjang Januari sampai dengan November 2024 menemukan 25 peristiwa kekerasan yang dilakukan TNI terhadap warga sipil. Bentuk kekerasan yang terjadi beragam: penganiayaan atau penyiksaan terhadap warga sipil, kekerasan terhadap pembela HAM dan jurnalis, intimidasi dan perusakan properti, penembakan, dan KDRT.
Motifnya seperti persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, terlibat dalam sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta pembatasan terhadap kerja-kerja jurnalis dan pembela HAM.
Sementara data KontraS menunjukkan, pada periode Oktober 2023 sampai dengan September 2024 terdapat 64 kasus kekerasan terhadap warga sipil. Rinciannya 37 tindakan penganiayaan, 11 tindak penyiksaan serta 9 kasus intimidasi. Rangkaian kekerasan tersebut mengakibatkan 75 korban luka-luka dan 18 orang meninggal.
Ardi pun mendesak, Pusat Polisi Militer profesional dan serius melakukan penyidikan pada kasus yang terjadi di Deli Serdang. Para pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Sebab, jika tidak, kejadian yang sama akan terus berulang.
"Yang jelas jika kekerasan TNI terus berulang dan pelakunya tidak dihukum secara transparan dan adil, hal ini tentu akan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi TNI," ujarnya.
Temuan Kontras dari 64 kasus yang terjadi pada Oktober 2023-September, terdapat 131 vonis yang dijatuhkan terhadap anggota TNI. Namun rata-rata hukumanya antara 3-10 bulan penjara. Menurut KontraS, hukuman itu tergolong ringan, pasalnya kekerasan yang terjadi beruapa 123 kasus penganiayaan, 2 kasus pembunuhan, dan 6 kasus pembunuhan berencana.
Kepala divisi hukum KontraS, Andrie Yunus menilai, kasus kekerasan yang berulang, selain karena hukuman yang ringan, turut disebabkan peradilan yang tidak transparan dan akuntabel karena disidangkan di pengadilan militer. Padahal dalam beberapa kasus, tindak pidana yang terjadi di luar tugas TNI dan korbannya adalah masyarakat sipil.
"Bagi kami, peradilan militer, ini merupakan satu ruang impunitas terhadap pelaku," kata Yunus kepada Suara.com.
Kemudian dalam beberapa kasus, pihak yang diadili kebanyakan aktor lapangan, bukan aktor intelektual atau pihak yang memerintahkan. Belum lagi pengadilan militer yang sulit diakses untuk melakukan pemantauan jalannya sidang. Hal itu dikatakan Yunus, berdasarkan pengalaman KontraS saat ingin mengakses persidangan di pengadilan militer.
Oleh karenanya dalam kasus yang terjadi di Deli Serdang, KontraS mendesak para pelaku disidangkan di pengadilan umum, mengingat korban merupakan masyarakat sipil, serta peristiwa yang terjadi diluar tugas militer.
Arogansi dan Salah Kaprah Maknai Jiwa Korsa
Imparsial yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pernyataan Panglima TNI yang mengaitkannya dengan geng motor, tidak bisa serta merta dapat dijadikan pembenaran untuk melakukan penyerangan terhadap masyarakat sipil. Seharusnya TNI saat menemukan geng motor yang sedang membahayakan masyarkat dapat melaporkannya ke kepolisian.
Ardi menilai penyerangan yang terjadi sebagai bentuk kesalahan memaknai jiwa korsa yang melekat pada masing-masing anggota TNI. Menurutnya kasus ini ditenggarai pemahaman yang rendah untuk tunduk pada aturan hukum, serta pembelaan dan solidaritas terhadap kesatuan yang berlebihan.
"Oknum anggota TNI yang melakukan penyerangan tersebut seolah-olah merasa sedang membela kesatuan atau institusinya, padahal mereka sedang mencoreng nama baik institusinya di mata publik dengan melakukan pelanggaran hukum," kata Ardi.
Sementara Yunus menilai, peristiwa tersebut bentuk arogansi TNI. Menurutnya ada perasaan perbedaan kelas antara TNI dengan masyarakat sipil. Antara TNI dan masyarakat sipil, ditegaskan Yunus, sama-sama warga negara yang memiliki kedudukan yang sama.
"Misal saya militer, saya berhak mendapatkan kualitas fasilitas A, B, C, D. Padahal semestinya harusnya diakses sama-sama, secara setara, secara pengadilan," ujarnya.
Hal itu menurutnya tak bisa dipisahkan dari sejarah panjang kekuasan militer di Indonesia pada masa Presiden ke 2 Soeharto--yang berlatar belakang petinggi TNI.
Selain itu, turut disebabkan kultur kekerasan yang tetap melekat pada anggota TNI sejak masa pendidikan. Hal disebut Yunus, tergambar pada peristiwa di Deli Serdang, ketika sejumlah anggota TNI ditegur balik oleh masyarakat sipil.
"Sehingga ketika dihadapkan dengan persoalan-persoalan sipil, maka kultur kekerasan itu berpengaruh pada upaya-upaya penyelesaian yang menurut mereka penyelesaian persoalan," ujar Yunus.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.
Sudah seharusnya lembaga survei bekerja dengan mengedepankan moral, menghasilkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
"Jadi hal-hal yang semacam inilah yang mempertebal keyakinan bahwa Jateng itu adalah babak lanjut perseteruan politik antara Jokowi dan Megawati," kata Adi.