Ironi Perkantoran Elite Jakarta: Kisah Pekerja Terpaksa Pinjol Demi Sesuap Nasi
Home > Detail

Ironi Perkantoran Elite Jakarta: Kisah Pekerja Terpaksa Pinjol Demi Sesuap Nasi

Erick Tanjung | Muhammad Yasir

Selasa, 12 November 2024 | 17:38 WIB

Suara.com - Bekerja di perkantoran mentereng ibu kota tidak selalu berbading lurus dengan dengan kesejahteraan. Faktanya masih banyak pekerja di perusahaan-perusahaan besar berpenghasilan di bawah upah layak.

Seperti kisah hidup Rafiq, Arul, dan Rafi. Tiga pekerja dengan gaji pas-pasan di kawasan perkantoran elite segitiga emas Jakarta --Sudirman Central Business District (SCBD) dan Mega Kuningan. Bertahun-tahun mereka menyiasati hidup dengan irit di kawasan elite.

DUDUK bersila di bawah parkiran sepeda motor Grand Lucky, SCBD, Jakarta Selatan, Rafiq lahap menyantap nasi, ayam, sayur dan tempe. Setiap hari pria berusia 27 tahun itu biasa makan di sana bersama sekuriti, office boy, hingga pekerja kantoran lain. Karyawan di kawasan SCBD biasa menyebutnya warteg lubang.

"Ini rame karena lagi ada Jumat berkah, makan nasi sama ayam jadi Rp13 ribu. Kalau hari biasa itu Rp17 ribu," ujar Rafiq saat ditemui Suara.com, pada Jumat (8/11/2024).

Lokasi warteg lubang persis terletak di bawah parkiran sepeda motor Grand Lucky. Warga yang tinggal berdampingan dengan kawasan elite SCBD berlatar gedung-gedung pencakar langit itu berjualan di balik dinding berlubang seukuran 30x60 cm yang memisahkan antara tempat tinggal mereka dengan areal Grand Lucky.

Selain Rafiq, banyak karyawan lain yang nampak antre di depan warteg lubang. Ada lima warteg lubang di sana. Mereka menjual nasi rames, gorengan, es teh, hingga kopi.

"Kalau lagi Jumat berkah harus buru-buru datang biar nggak kehabisan ayam," katanya seraya tertawa.

Warteg lubang, warung makan para pekerja kelas menengah ke bawah di kawasan SCBD, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yasir]
Warteg lubang, warung makan para pekerja kelas menengah ke bawah di kawasan SCBD, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yasir]

Sudah lima tahun Rafiq berkerja sebagai sekuriti di salah satu gedung perkantoran di SCBD. Sebagai perantau dari Sumatera Utara, ia mesti pandai-pandai menyiasati hidup agar bisa nabung untuk pulang kampung. Apalagi dengan gaji pas-pasan.

Setiap bulan upah yang ia terima berkisar Rp4,8 juta. Selain makan hemat di kawasan elite, Rafiq juga menyiasati hidup dengan cara berbagi indekos dengan teman sesama perantau.

"Ngekos Rp700 ribu di Dewi Sartika, Jakarta Timur sama teman berdua," ungkapnya.

Walau jauh dari kata nyaman, tinggal berdua satu kamar bersama teman menurutnya lumayan memangkas biaya indekos. Setidaknya, sisa uangnya bisa ia tabung. Setiap bulan Rafiq sebisa mungkin menyisihkan uang Rp500 ribu untuk ditabung.

"Lumayan buat ongkos pulang kampung," katanya.

Sudah tiga tahun Rafiq tak pulang kampung. Meski rindu kampung halaman, semua itu harus ia telan pahit-pahit. Musababnya, biaya ongkos pulang kampung ke Sumatera Utara tak cukup uang sedikit. Untuk tiket pesawat saja tak kurang dari Rp3,6 juta harus ia keluarkan.

"Kalau kangen paling video call orang tua aja dulu," ucapnya.

Menunda Nikah

Sama seperti Raqif, Arul (23) juga biasa makan di warteg lubang. Keberadaan warteg lubang bagi office boy di Grand Lucky tersebut sangat membantu. Selain murah lokasinya juga dekat.

"Ngebantu banget buat orang-orang kayak saya," katanya.

Rafiq sedang makan di area parkiran sepeda motor Grand Lucky, SCBD, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yasir]
Rafiq sedang makan di area parkiran sepeda motor Grand Lucky, SCBD, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yasir]

Arul sudah dua tahun bekerja sebagai OB di Grand Lucky. Penghasilan yang ia terima setiap bulan sekitar Rp2,9 juta. Upah tergolong kecil itu membuatnya harus menunda rencana menikah.

"Mertua mah udah nanyain terus," tuturnya tertawa.

Sebenarnya, kata Arul, ia sudah bertunangan sejak 2022 lalu. Tapi untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan ia masih takut. Apalagi melihat penghasilannya saat ini masih jauh dari kata cukup.

Dari upah Rp2,9 juta perbulan, Arul juga masih harus bayar cicilan motor sekitar Rp1,3 juta setiap bulan.

"Buat biaya hidup sendiri aja masih susah. Nikah nanti dulu dah," ujarnya.

Untuk menutupi kekurangan biaya hidup, Arul bekerja sebagai ojek online. Walaupun tak setiap hari ia menarik. Tapi setidaknya penghasilan dari ngojek sepulang kerja atau sebelum kerja menurutnya sangat membantu menambah sedikit penghasilan.

"Ngojek kalau lagi nggak capek aja. Lumayan lah buat nambahin biaya cicilan motor. Masih 20 bulan lagi," bebernya.

Jualan di Kantor

Kisah serupa datang dari Rafi (41). Sudah empat tahun ia bekerja sebagai sopir di perkantoran kawasan elite Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Dengan penghasilan berikut uang lembur setiap bulan sebesar Rp5,2 juta ia harus putar otak demi bertahan hidup.

"Gue sambil dagang juga di kantor buat nambah-nambah penghasilan," kata Rafi.

Setiap hari, Rafi menjual aneka kue di kantor. Kue tersebut ia ambil dari tetangganya. Keuntungan yang ia peroleh berkisar Rp15 ribu.

Walau tak seberapa, kata Rafi, keuntungan sekitar Rp300 ribu perbulan dari berdagang itu sangat membantu buat kebutuhan hidup. Apalagi istrinya kini tengah hamil 4 bulan. Ia juga memunyai dua anak yang masih kecil, usia 6 tahun dan 3 tahun.

Rafiq sedang makan di area parkiran sepeda motor Grand Lucky, SCBD, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yasir]
Rafiq sedang makan di area parkiran sepeda motor Grand Lucky, SCBD, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yasir]

"Kalau ngandelin gaji doang tanggal 8 juga udeh kering," tuturnya.

Di samping berdagang, Rafi juga sering menjadi sopir panggilan di sela waktu libur. Upah yang ia terima berkisar Rp250 ribu setiap ada panggilan.

Walau capek, kata dia, semua ini harus dijalani demi bertahan hidup. Terlebih ia juga masih tinggal di sebuah kontrakan yang setiap bulan harus dibayar sekitar Rp1,5 juta.

"Sampai pernah pinjol juga saking butuhnya. Tapi alhamdulillah udeh beres," katanya.

Selain itu, bekerja di kawasan elite menurut Rafi memang harus pinter-pinter ngakalin biaya makan. Selain bawa bekal, ia sering memilih makanan paket murah seharga Rp10 ribu. Walau lokasi pedagangnya agak jauh dari kantor.

"Paket ceban itu pakai ati ampela sama tahu dan sambel pecel. Bosan juga sih sama lemes makan itu terus," tuturnya tertawa.

Untuk menyenangkan diri, setiap bulan sekali Rafi makan enak. Biasanya kalau sehabis gajian ia mengaku kerap memesan bebek goreng seharga Rp30 ribu.

"Kite nyenengin lambung dah tuh sebulan sekali. Pokoknya kerja di kawasan elite gini kite perlu pinter-pinter ngatur dah, yang penting anak masih bisa makan," pungkasnya.


Terkait

Konser Stray Kids 'dominATE' di Jakarta Pindah Lokasi ke Indonesia Arena
Selasa, 12 November 2024 | 16:11 WIB

Konser Stray Kids 'dominATE' di Jakarta Pindah Lokasi ke Indonesia Arena

Pihak promotor iMe Indonesia umumkan pemindahan lokasi konser Stray Kids 'dominATE' di Jakarta.

Aksi Tolak Pasar Hewan di Jakarta
Selasa, 12 November 2024 | 16:31 WIB

Aksi Tolak Pasar Hewan di Jakarta

Aksi tersebut digelar untuk menolak adanya pasar hewan.

Bukan Titipan! RUU DKI Jakarta Disahkan Jadi Inisiatif DPR, Begini Alasannya
Selasa, 12 November 2024 | 13:54 WIB

Bukan Titipan! RUU DKI Jakarta Disahkan Jadi Inisiatif DPR, Begini Alasannya

Revisi dilakukan agar tidak ada celah hukum terutama soal penamaan gubernur dan wakil gubernur, Anggota DPRD, DPR dari Jakarta ke depan.

Terbaru
Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat!
nonfiksi

Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat!

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah berhasil meraih 420 ribu penonton meski berhadapan dengan film The Conjuring.

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan nonfiksi

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan

Selasa, 09 September 2025 | 20:27 WIB

Catatan tiga hari Pestapora 2025, pesta musik lintas generasi.

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring nonfiksi

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring

Sabtu, 06 September 2025 | 08:00 WIB

Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat nonfiksi

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 08:00 WIB

Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob polemik

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob

Jum'at, 29 Agustus 2025 | 13:04 WIB

Affa Kurniawan, driver ojol yang baru berusia 21 tahun tewas dilindas rantis Brimob Polda Jaya yang menghalau demonstran, Kamis (28/8) malam. Semua bermula dari arogansi DPR.

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita nonfiksi

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita

Sabtu, 23 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Film Tinggal Meninggal lebih banyak mengajak penonton merenungi hidup ketimbang tertawa?

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror polemik

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror

Minggu, 17 Agustus 2025 | 15:38 WIB

Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, jurnalis masih menghadapi intimidasi, teror, hingga kekerasan.