Suara.com - Pengungsi Rohingya menghadapi ancaman kematian dalam perjalanan laut sebelum akhirnya tiba di Aceh. Namun, setelah menginjak tanah Serambi Makkah, mereka menghadapi penolakan warga.
DARI jendela terpal sisi kiri truk berkelir hijau, Nur Islam menatap ke luar. Pria 31 tahun itu melihat orang-orang ramai di sekitarnya. Gelang kuning melekat di lengan kanannya. Duduk di belakang truk Satuan Polisi Pamong Praja Aceh Selatan, pengungsi Rohingya itu dilarang menginjak tanah.
Nur Islam tidak banyak bicara. Ia hanya menguasai bahasanya sendiri, sementara bahasa Inggris hanya digunakan ketika menjawab jumlah mereka di truk itu. “152,” ujar dia sambil mengisyaratkan dengan jemarinya. Mereka termasuk 60 anak-anak dan 79 perempuan.
Truk yang ditumpangi Nur Islam adalah satu dari lima truk yang membawa para pengungsi Rohingya dari Kabupaten Aceh Selatan. Truk itu tiba di Banda Aceh pada Kamis pagi, 7 November 2024. Empat truk lainnya adalah truk angkut barang berwarna kuning.
Hingga sore hari, di tengah ketidakpastian penempatan pengungsi, truk-truk itu masih parkir di depan Kantor Wilayah Aceh Kementerian Hukum dan HAM, Jalan Teuku Nyak Arief. Keberadaan truk-truk itu menarik perhatian warga sekitar yang melintasi jalan protokol di ibu kota Aceh. Aparat keamanan tampak berjaga-jaga, sementara beberapa pegawai kantor berdiri di halaman dan menutup gerbang rapat-rapat.
Menurut Kepala Kanwil Aceh Kemenkumham Meurah Budiman, membawa pengungsi Rohingya ke kantornya adalah langkah yang tidak tepat. Karena peran mereka hanya sebatas mengawasi, mendata, dan memverifikasi setiap pengungsi.
“Ketika mereka dibawa ke kantor wilayah, itu tidak berpengaruh apa-apa ke kami. Kami tidak memiliki kewenangan menunjuk tempat,” katanya kepada Suara.com, Kamis (7/11/2024) malam.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016. Ketika truk-truk masih parkir di depan kantornya, Meurah terus berkoordinasi dengan kepala daerah hingga UNHCR terkait penunjukan tempat penampungan.
Ia menjelaskan bahwa pengungsi Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan sehingga tidak bisa ditempatkan di rumah detensi imigrasi. Sebab, warga negara asing yang ditempatkan di sana adalah mereka yang akan dikembalikan ke negara asalnya karena melanggar ketentuan imigrasi.
“Pengungsi Rohingya tidak ada negara asal, mau dikirim ke mana?” katanya.
Namun, dalam proses verifikasi beberapa kelompok pengungsi, Meurah pernah menemukan warga Bangladesh yang bergabung dengan pengungsi Rohingya.
“Hasil verifikasi pihak imigrasi ternyata ada warga negara Bangladesh, (mereka) itu sudah dikembalikan. Ada 12 orang kemarin itu yang kami temukan,” ungkap Meurah.
Kematian di Laut, Penolakan di Darat
Nur Islam bersama para pengungsi Rohingya lainnya berangkat dari kamp Cox's Bazar di Bangladesh, tempat mereka mengungsi setelah terusir dari tanah kelahirannya di Myanmar.
Setelah berhari-hari mengarungi perjalanan laut, mereka akhirnya ditemukan di perairan Aceh pertengahan Oktober 2024. Keberadaan mereka pertama kali diketahui ketika warga menemukan mayat seorang perempuan di dekat pelabuhan Labuhan Haji, Aceh Selatan, pada Kamis, 17 Oktober 2024.
Pencarian di kawasan perairan itu akhirnya menemukan kapal yang membawa rombongan pengungsi pada Jumat keesokan harinya, sekitar 4 mil dari Labuhan Haji. Polisi yang menyelidiki temuan kapal itu menemukan lebih dari 150 warga Rohingya di dalamnya.
“Di mana tiga di antaranya sudah meninggal,” kata Kombes Joko Krisdiyanto, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Aceh, beberapa waktu lalu.
Polisi menduga adanya tindak pidana perdagangan manusia dalam kedatangan pengungsi ini. Mereka telah menangkap tiga terduga pelaku, berinisial F (35), A (33), dan I (32). Sedangkan delapan orang lainnya masih diburu.
Sementara itu, pengungsi Rohingya di kapal itu baru diizinkan turun ke daratan pada Kamis, 24 Oktober 2024 atau sepekan berselang. Mereka kemudian ditempatkan di Terminal Bus Tipe C Labuhan Haji. Setelah lebih dari sepekan di sana, keberadaan mereka mulai ditolak oleh warga.
Menurut Darman (51), salah seorang sopir truk yang membawa mereka ke Banda Aceh, warga memindahkan para pengungsi dari Labuhan Haji ke depan kantor bupati Aceh Selatan di Tapaktuan.
“Pihak berwenang di sana enggak ada keputusan, terakhir mereka ditempatkan di depan kantor bupati, di lapangan alun-alun,” katanya.
Belakangan, pemerintah Aceh Selatan memutuskan untuk membawa pengungsi ini ke Banda Aceh. Jaraknya sekitar 430 kilometer dengan waktu tempuh sekitar delapan jam perjalanan darat.
Menurut Darman, lima truk disewa untuk membawa mereka, termasuk satu truk berlogo Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dikendarainya. Para petugas juga turut mendampingi dengan mobil terpisah.
Jalaluddin (52) dan Bang Seh (53) juga turut menyetir truk yang mengangkut pengungsi Rohingya. Keduanya biasanya bekerja sebagai sopir truk lintas Aceh Selatan-Medan, mengangkut barang kelontong hingga brondolan kelapa sawit.
Pada Rabu malam pekan lalu, keduanya mendapat pesanan berbeda, yaitu mengantar pengungsi ke Banda Aceh.
“Perjanjiannya dari sana bawa ke sini (Banda Aceh), turunkan, kami lalu pulang. Tujuannya ke kantor gubernur,” kata Jalaluddin.
Mereka berangkat dari Tapaktuan sekitar pukul 23.30 WIB. Jalaluddin mengatakan, perjalanan dilakukan tanpa singgah untuk makan minum. Sekitar pukul 7.30 WIB, mereka tiba di Banda Aceh dan berhenti di depan Kanwil Aceh Kemenkumham.
Namun, truk-truk tersebut tertahan hingga sore.
“Kami tidak tahu bakal bermasalah seperti ini. Kami pikir sesuai perjanjian awal, karena ada pengawal saat kami berangkat,” kata Bang Seh.
Bang Seh menolak untuk menyebut siapa yang menyewa truk.
“Banyak, macam-macam orang. Kalau kami bilang seseorang nanti salah,” ucapnya.
Setiap truk diberi uang muka sekitar Rp2 juta. Menurut Bang Seh sebagian besar habis untuk membeli bensin yang memakan biaya lebih dari sejuta rupiah.
“Totalnya (akan dibayar berapa) tidak tahu,” katanya.
Selama membawa pengungsi, Jalaluddin juga dilanda kekhawatiran.
“Jangan sampai mereka hilang di jalan, (kami akan) dianggap pedagang manusia,” tuturnya.
Ditolak Warga
Sejak sore, Fauzan mondar-mandir di depan Kanwil Aceh Kemenkumham, persis di dekat truk-truk yang dipenuhi pengungsi Rohingya. Ia ketua pemuda Gampong Jeulingke, tempat kantor itu berada. Menurutnya, warga hendak datang ke sana, tapi dia berusaha mencegahnya.
Setelah berkoordinasi dengan keuchik atau kepala desa, Fauzan mengatakan memberi batas waktu hingga selesai salat Magrib dengan tuntutan; pengungsi Rohingya harus dibawa masuk ke halaman kantor atau dipindahkan menjauh dari Jeulingke.
“Jika mereka masih di sini, di jalan, warga akan kemari,” katanya. “Kalau warga datang beramai-ramai, saya tidak sanggup menanggungnya.”
Selepas salat Magrib, sekitar pukul 18.55 WIB, Fauzan dan warga lainnya menemui para sopir truk. Mereka berkumpul di depan gerbang kantor. Penempatan pengungsi masih menemui jalan buntu. Nada bicara warga mulai meninggi.
“Bakar saja mobilnya kalau tidak mau pergi,” kata salah seorang di antara mereka.
Setelah terus mendapat desakan, para sopir akhirnya masuk ke ruang kemudi dan menyalakan mesin untuk pergi dari sana. Dua truk yang mesinnya agak sulit dinyalakan harus didorong lebih dahulu oleh warga. Truk-truk itu kemudian melaju di Jalan Teuku Nyak Arief dan berhenti di kawasan Simpang Mesra.
“Kalau seandainya tadi enggak pindah, kami bakar mobilnya,” kata Fauzan setelah truk-truk tersebut pergi. “Kami gak benci mereka, kami sayang, mereka manusia.”
Kepala Bagian Operasi Polres Kota Banda Aceh, Kompol Yusuf Hariadi berada di lokasi ketika truk-truk tersebut bergerak pergi. Ia menolak memberikan komentar saat ditanya oleh sejumlah jurnalis.
Penolakan terhadap pengungsi Rohingya di Aceh telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini membuat pemerintah kesulitan mencari tempat penampungan sementara bagi mereka dalam beberapa kasus. Bahkan, sebelum pengungsi dibawa ke suatu tempat, seringkali sudah ada sekelompok orang yang menunggu untuk menolak kehadiran mereka.
Setelah meninggalkan Kanwil Aceh Kemenkumham, truk mengangkut pengungsi Rohingya itu berhenti di Simpang Mesra, Banda Aceh.
Jalaluddin dan Bang Seh berhenti untuk menyantap makan malam. Beberapa orang dari lembaga nirlaba datang mengantarkan makanan bagi para pengungsi. Setelah hampir dua jam di sana, mereka masih belum mendapat kepastian mengenai tujuan selanjutnya bagi para pengungsi Rohingya.
Sekitar pukul 21.00 WIB, mereka memutuskan untuk bergerak kembali ke Aceh Selatan.
“Di mana kami angkut, di sana nanti kami turunkan lagi,” kata Jalaluddin.
Namun, dalam perjalanan itu, arahnya berubah dan pengungsi pun hendak dibawa ke tempat penampungan sementara di bekas gedung imigrasi di Lhokseumawe. Jaraknya sekitar 270 kilometer dari Banda Aceh.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Suara.com, di sana, pada Jumat (8/11) pagi, sekelompok orang sudah menunggu dan menolak kehadiran para pengungsi. Pengungsi Rohingya juga belum bisa turun dari truk. Baru keesokan harinya, Sabtu (9/11) pagi, para pengungsi Rohingya akhirnya ditampung di GOR Tapaktuan Sport Center, Gampong Pasar, Aceh Selatan.
Menuntut Komitmen Pemerintah
Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh Azharul Husna menyayangkan kondisi yang dialami para pengungsi Rohingya dalam konteks perlindungan pengungsi dan hak asasi manusia.
“Pengungsi Rohingya ini harus dibawa ke mana? Mustahil untuk mengirim mereka kembali ke laut atau bahkan ke Myanmar, negara asal mereka. Selain bertentangan dengan prinsip non-refoulement, juga akan membahayakan nyawa mereka,” katanya kepada Suara.com, Jumat (8/11).
Mengacu pada Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri, Husna menegaskan bahwa pemerintah seharusnya berupaya menyediakan penampungan sementara.
“Tidak membiarkan pengungsi terkatung-katung tanpa perlindungan yang memadai. Setidaknya, mereka harus diberikan tempat sementara untuk berlindung, mengingat mereka adalah individu yang sangat rentan,” kata Husna.
Ia melihat ada sikap pemerintah saling lempar tanggung jawab tanpa koordinasi dalam penanganan pengungsi ini.
Selain itu, terkait penolakan pengungsi Rohingya, Husna mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan keamanan pengungsi dan menginvestigasi orang-orang yang mengaku sebagai warga yang menolak.
“Dan secara terorganisir membuat spanduk-spanduk atau provokasi penolakan,” katanya.
Associate Communications Officer UNHCR Indonesia Mitra Salima Suryono menjelaskan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 menetapkan bahwa lokasi penampungan pengungsi ditentukan oleh pemerintah daerah.
Mitra menyebut UNHCR akan mengikuti arahan pemerintah sambil terus melakukan diskusi dan koordinasi dengan pihak berwenang serta mitra untuk memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan pengungsi.
“Saat ini UNHCR dan mitra kerja kami berada di lokasi, dan siap untuk memberikan support (dukungan) serta memenuhi kebutuhan di lapangan,” katanya.
__________________________
Kontributor Aceh: Habil Razali
"Jadi ibu kotanya (negara) sekarang itu ada di Daerah Khusus Jakarta," kata Manunggal.
Gerindra tidak mungkin memberikan ruang kepada Jokowi untuk bergabung setelah dipecat PDIP.
Dualisme terjadi antara Jusuf Kalla (JK) dan Agung Laksono.
Sejumlah polisi yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dapat promosi jabatan, bahkan ada yang naik pangkat jadi jenderal.
Ketua PPDI NTB, Asim Barnas, miris atas kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan Agus Buntung, penyandang disabilitas.
"Efek domino dari kenaikan harga barang mewah akan merembet ke berbagai sektor, melemahkan daya beli, dan memperbesar kesenjangan ekonomi," ujar Achmad.
Lorong Tsunami, dengan suasana gelap dan percikan air, membawa mereka seolah-olah merasakan kembali momen mencekam dua dekade silam.