Suara.com - "Saya kira upaya-upaya kesetaraan gender sangat penting juga di bidang politik, kaum perempuan mengambil peran sangat menonjol. Saya mendorong peranan itu di pemerintahan yang saya pimpin kalau terpilih." Demikian janji Prabowo Subianto pada saat Debat Pilpres 2024 di Jakarta, pada 4 Februari lalu.
PERNYATAAN Prabowo itu kini menuai kritik. Sebab setelah terpilih sebagai presiden, persentase keterwakilan perempuan dalam Kabinet Merah Putih justru turun drastis dari Pemerintahan Joko Widodo.
Dalam Kabinet Merah Putih yang berisi 48 menteri dan 56 wakil menteri, Prabowo hanya menempatkan 14 perempuan. Lima ditempatkan sebagai menteri dan sembilan sebagai wakil menteri. Secara persentase keterwakilan perempuan di Kabinet Prabowo cuma 13,4 persen.
Jika dibandingkan dengan periode pertama dan kedua Presiden Jokowi, angka keterwakilan perempuan di Kabinet Prabowo lebih rendah. Meskipun secara persentase keterwakilan perempuan di kabinet Jokowi selama dua periode juga tak pernah mencapai 30 persen.
Pada periode pertama yang diberi nama Kabinet Kerja, Jokowi menempatkan sembilan perempuan sebagai menteri dari total 34 kursi. Secara persentase angka keterwakilan perempuan di Kabinet Kerja itu 26,4 persen.
Sementara di Kabinet Indonesia Maju Jokowi menempatkan enam perempuan sebagai menteri dari total 34 kursi. Angka persentase keterwakilan perempuan di periode kedua Jokowi tersebut hanya 17,6 persen, menurun dari sebelumnya.
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Rizqika Arrum menilai, minimnya keterwakilan perempuan dalam Kabinet Merah Putih menggambarkan cara pandang presiden yang maskulin dan partriarkal. Bukan hanya angka keterwakilan perempuan yang semakin rendah, latar belakang perempuan yang menduduki jabatan menteri juga lebih kepada orang-orang yang memiliki 'kedekatan dengan oligarki' atau berasal dari kalangan elite.
Padahal menurut Arrum, Prabowo sejak awal telah menggembar-gemborkan kabinet zaken atau kabinet yang menteri-menterinya dipilih berdasar latar belakang keahlian.
"Seperti yang kita ketahui, bahwa zaken kabinet relatif bebas dari kepentingan partai," kata Arrum dalam keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Selasa (29/10/2024).
Menurut Arrum persoalan yang perlu dikritisi saat ini juga tidak sebatas pada representasi perempuan dalam Kabinet Prabowo. Sebab keterwakilan perempuan menurutnya juga harus diikuti oleh pemikiran, ide, gagasan, nilai, dan tindakan yang nyata.
"Esensi keberadaan politisi adalah untuk menyampaikan pesan dari orang-orang yang diwakilkannya. Dalam konteks ini keterwakilan perempuan di kabinet Prabowo. Dengan gambaran komposisi kabinet baru nanti, apakah kita masih memiliki harapan akan adanya kebijakan yang inklusif dan berkeadilan gender?" tuturnya.
Pentingnya Peran Perempuan di Politik
Koordinator Tim Gender dan Politik, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kurniawati Hastuti Dewi menilai minimnya keterwakilan perempuan dalam kabinet tidak terlepas dari faktor masih kentalnya anggapan bahwa politik sebagai ruang maskulin atau dunianya laki-laki. Selain jabatan menteri dan wakil menteri itu menurutnya juga erat kaitannya dengan politik akomodatif. Mereka yang mendapat jabatan tersebut acap kali merupakan orang-orang yang memang memiliki jasa atau terlibat dalam pemenangan presiden dan wakil presiden terpilih.
Berdasar catatan Suara.com, dari lima perempuan yang ditunjuk sebagai menteri, tiga di antaranya merupakan pendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Mereka adalah Meutya Hafid sebagai Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi); Arifatul Choiri Fauzi sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA); dan Widiyanti Putri Wardhana sebagai Menteri Pariwisata.
Meutya Hafid merupakan politisi Partai Golkar. Sedangkan Arifatul Choiri merupakan Sekretaris Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU). Pada Pilpres 2024 Meutya dan Arifatul Choiri bertugas sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran. Sementara Widiyanti Putri adalah istri dari Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Wishnu Wardhana yang berlatar belakang pengusaha.
Di posisi wakil menteri, terdapat tiga nama yang tercatat sebagai pendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Ketiganya, yakni Christina Aryani, Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran/BP2MI; Dyah Roro Esti Widya Putri, Wakil Menteri Perdagangan; dan Ratu Isyana Bagoes, Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Christina dan Dyah Roro adalah politisi Partai Golkar. Sedangkan Isyana Bagoes Oka politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Golkar dan PSI tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju atau KIM pengusung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
"Kenapa perempuan itu mungkin masih susah masuk di kabinet karena persoalan di kabinet ini persoalan politik, sangat erat dengan lobi-lobi politik," kata Kurniawati kepada Suara.com, Selasa (29/10).
Keterwakilan perempuan dalam jajaran kabinet sama pentingnya seperti di parlemen. Keberadaan perempuan dalam posisi strategis di pemerintahan itu diyakini dapat mendorong kebijakan yang lebih inklusif, berkeadilan, serta mengacu pada pengalaman mereka sebagai perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Laporan Indeks Norma Sosial Gender (GSNI) Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2023, mengungkap hambatan yang kerap dihadapi perempuan dalam mewujudkan potensinya di kancah politik. Salah satunya adanya stereotip bahwa laki-laki sebagai pemimpin politik yang lebih baik daripada perempuan.
Padahal UNDP menyebut, banyak alasan mengapa perempuan penting berpartisipasi dalam politik. Pertama, perempuan merupakan separuh dari populasi setiap negara yang seharusnya mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam sistem pengambilan keputusan.
Selain itu, UNDP menyebut negara dengan tingkat partisipasi politik perempuan tinggi cenderung memiliki risiko perang dan konflik yang rendah serta berpengaruh terhadap berkurangnya kemungkinan kekerasan politik yang dilakukan negara; lebih sedikit pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, dan pemenjaraan politik. Tak hanya itu, pengalaman hidup perempuan dinilai mampu memberikan perspektif unik yang lebih luas dan komprehensif tentang isu gender seperti kekerasan dalam rumah tangga, hak reproduksi, dan kesetaraan upah.
Partisipasi politik yang seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan merupakan target yang disepakati secara internasional dalam Beijing Platform for Action (BPfA). Merujuk hasil penelitian, keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam politik akan berdampak pada keputusan atau kebijakan publik yang lebih inklusif dan berkeadilan.
"Itulah pentingnya keterwakilan perempuan secara deskriptif dalam arti number, supaya bisa deliver menjadi keterwakilan substantif. Makanya penting keterwakilan perempuan 30 persen itu," jelas Kurniawati.
Walakin keterwakilan perempuan masih jauh dari 30 persen, Kurniawati menilai keberagaman etnisitas dan latar belakang menteri serta wakil menteri perempuan di Kabinet Merah Putih sesuatu hal yang menarik. Sebab dalam teori interseksionalitas gender, ketimpangan gender tidak hanya disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin, tetapi juga kerap dilatarbelakangi faktor lain seperti ras, status sosial ekonomi, agama, dan lain-lain.
"Nah dengan adanya keragaman perempuan di kabinet ini saya memaknai itu sebagai upaya ingin menunjukkan Merah Putih di Indonesia. Perempuan ini juga bagian dari Indonesia," tuturnya.
Masyarakat Sipil Tak Pernah Dilibatkan
Kritik yang datang dari masyarakat sipil tidak hanya pada minimnya keterwakilan perempuan di kabinet. Tetapi juga pada posisi menteri yang kerap dijabat oleh perempuan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati menilai, pemerintahan sejauh ini hanya sebatas menempatkan perempuan pada kursi menteri yang memang 'jatahnya' perempuan, seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Padahal banyak perempuan yang dinilainya memiliki kapasitas untuk ditempatkan pada posisi-posisi menteri strategis lainnya.
"Kalau kita lihat di Kabinet Merah Putih ini juga sama saja, bahwa affirmative action atau kuota minimum (30 persen keterwakilan perempuan) itu bukan menjadi sebuah perspektif kuat yang turun dalam desain formasi atau komposisi kabinet," kata Mike kepada Suara.com, Selasa (29/10).
Mike juga menyoroti soal minimnya pelibatan masyarakat sipil seperti KPI dalam menentukan figur yang pantas atau laik ditunjuk sebagai Menteri PPPA. Padahal keterlibatan masyarakat sipil baginya sangat penting.
Masyarakat sipil seperti KPI, kata dia, juga tidak pernah mengetahui apa pertimbangan presiden dalam menentukan sosok Menteri PPPA.
"Apakah orang-orang yang duduk dalam posisi tertentu memang betul-betul punya rekam jejak atau portofolio? Kan selalu utusannya atau perwakilannya adalah perwakilan partai politik koalisi atau perwakilan tim pemenangan atau mereka yang kemarin berjasa untuk memenangkan presiden dan wakil presiden," pungkasnya.
Penyidik Kejaksaan Agung kaget bukan kepalang saat menggeledah rumah mewah Zarof Ricar
"Jadi secara umum memang kami itu sedang galau dan gelisah soal posisi BRIN itu mau di kemanakan," kata sumber Suara.com di lingkungan BRIN.
Cerita warga di sekitar proyek hilirisasi nikel yang bertahan hidup dengan risiko kematian.
Sejauh ini, tak ada jaminan ormas keagamaan mampu lebih baik mengelola pertambangan di Indonesia.
Nasarius, kehilangan pekerjaan sebagai satpam di Plaza Indonesia akibat potongan video yang merekam dirinya memukul anjing khusus pengamanan viral di media sosial.
Ajaran 'Ngaji Rasa' tak mau menyakiti hati dan perasaan orang lain melekat dalam kehidupan masyarakat Dayak Indramayu.
Demi si bungsu, diam-diam Jokowi membangun dinasti melalui operasi senyapnya.