Suara.com - Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan di era Presiden Joko Widodo salah satunya adalah hilirasasi nikel. Proyek ini banyak disebut dan menjadi satu yang sering disebut-sebut oleh pemerintah sebagai sebuah kemajuan di Indonesia. Namun, tak semua mendapat kebaikan. Hilirisasi nikel ternyata malah menimbulkan dampak buruk bagi warga rentan di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Berikut adalah laporan mendalam yang dilakukan Bollo.id, tentang hilirisasi nikel yang menimbulkan pencemaran lingkungan yang berisiko terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup warga sekitar.
“Diabaikan Perusahaan, Ditinggalkan Pemerintah”
Hujan debu menyelimuti dan bau busuk menyengat tanpa ampun memasuki setiap cela di rumah-rumah di Kampung Papan Loe dan Borong Loe, Kabupaten Bantaeng. Tak ada tempat yang nyaman. Di sini, sejak 2018 dan setahun terakhir kondisi lingkungan warga menjadi lebih buruk dan beringas.
“Sejak perusahaan itu datang,” kata Asri kepada Bollo.id, Jumat, 2 Agustus 2024 yang dikutip Suara.com pada (30/10/2024).
“Warga menjadi kenyang mata, kenyang telinga, dan kenyang hidung.”
Yang dibicarakan oleh Asri ini adalah Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), yang di dalamnya telah berdiri enam pabrik pengolahan nikel milik Huadi Group, perusahaan pengolaan nikel asal Shanghai, Tiongkok. Masing-masing; PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, PT Unity Nickel-Alloy, PT Downstone Energy Material, PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, PT Yatai Huadi Alloy Indonesia dan PT Hengseng New Energy Material Indonesia.
Keenam perusahaan tersebut mengolah bahan baku ore dari tambang di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Pulau Kalimantan. Sedangkan kapal tongkangnya bersandar di pelabuhan tepat di depan gerbang kawasan itu, bersisihan dengan jalan utama negara yang menghubungkan Bantaeng menuju Kabupaten Bulukumba.
Di kawasan tersebut, cerobong-cerobong pabrik bekerja 24 jam penuh tanpa henti.
Protes warga karena kebisingan, truk yang membawa debu, cerobong yang mengeluarkan asap putih pekat dan hitam, sungai yang rusak, tanaman yang mati, hingga areal persawahan yang gagal panen, bagai angin lalu.
Puluhan orang bilang, perusahaan yang senang, warga yang buntung. “Ka dilihat mi sendiri. Kami hanya dapat susahnya,” kata beberapa warga.
Warga tersebut kemudian menunjukkan tanamannya, salah satunya pohon mangga. Daun pohon tersebut layaknya adalah berwarna hijau. Namun yang ditunjukkan adalah pohon berdaun cokelat.
Bahkan buah pepaya juga menjadi cokelat bagai terbakar api. Pohon asam, juga ikutan mati, dan rumput di halaman rumah, juga mati.
“Itu e, lihat mi,” kata Basri, 43 tahun, warga lainnya. “Itu pohon semua, harusnya yang gugur itu yang daun tua, kalau normal. Sekarang yang gugur duluan itu daun mudanya. Jadi itu bagaimana?”
Menurut Basri, itu baru tanaman masih ada benda lainnya.
Di Borong Loe, sebuah rumah beton yang ditinggal penghuninya merantau ke Malaysia, atap dapurnya sudah roboh. Padahal sang empu rumah baru saja mengganti atap seng itu, sesaat sebelum meninggalkan kampung, setahun lalu.
Seng-seng itu karatan, rontok, dan menjadi serpihan kecil. Basri, menunjukkan kemarahannya. Tapi tak tahu harus mengadu ke mana. Suaranya terlampau kecil untuk didengar.
“Kalau dulu beli seng baru itu, usia pakainya sampai 5 tahun. Sekarang, tidak sampai dua tahun, malah tidak sampai satu tahun,” Basri bercerita.
“Banyak warga yang atapnya sudah bocor, kalau hujan bocor. Kalau tidak hujan, tempatnya debu masuk.”
Kalau mau lihat debu, kata warga, datanglah pada malam hari. Perhatikan kendaraan yang lewat, dari lampu yang disorot, debu bahkan bagai kabut. Seperti hujan.
“Ada juga itu seperti asap, tapi kalau keluar dari cerobongnya, itu jatuhnya seperti ada air. Seperti hujan rintik,” kata Basri.
Asap yang seperti hujan?
Reporter Bollo.id, Eko Rusdianto dan fotografernya, Iqbal Lubis lalu berkeliling kampung tersebut dengan sepeda motor selama sepekan.Pada hari kedua, menjelang siang, ia mencoba membuka kacamata pelindung yang digunakannya, dan membuktikan apa yang diceritakan Basri.
Secara kasat mata, ia mengaku tak melihat asap yang membawa air bagai hujan itu. Tapi wajah dan matanya diakui seperti kena percikan air. Mata menjadi perih. Di tempat duduk motor yang diparkir, debu menempel dengan bintik kecil menggumpal.
Ia pun merasa bergidik. Hidung dan mulut yang terbungkus masker, sesak dilihatnya. Sementara di halaman rumah tempat mereka mengasoh, tujuh anak yang masih di Sekolah Dasar, bermain bulu tangkis dan berlarian.
“Rasa ji. Tapi tidak apa-apa,” kata salah seorang dari mereka saat ditanya apakah tidak merasa bau busuk.
“Biasa ji sakit kepala (pusing), tapi sebentar,” yang lain menambahkan.
“Tapi biasa juga, kalau bau sekali. Saya pernah muntah.”
Tak Ada Pilihan Tempat Tinggal
Pudding, 35 tahun, seorang bapak tiga anak yang menemani para reporter ini hanya bisa menghela napas. Baginya Kampung Borong Loe sudah tak sehat. Tapi dia tak punya pilihan, sebab di sini tempatnya berusaha. Di samping rumahnya ada usaha pembakaran bata merah. Di depan rumahnya, ada pondok kecil yang dia gunakan untuk menata dagangan buah.
Tapi sejak setahun ini, pondok jualan itu sudah tak lagi berfungsi. “Tidak mungkin menaruh semangka, rambutan, atau mangga di situ. Penuh debu. Siapa mau beli,” katanya.
Pudding, punya anak tiga. Jumriani adalah anak sulungnya, berusia 14 tahun dan Sekolah Tingkat Pertama. Anak kedua, Asti, berusia 5 tahun dan anak ketiganya, usianya menjelang 3 bulan.
Dua hari sebelumnya, Jumriani baru keluar dari sebuah klinik di Bantaeng. Dia mengalami demam dan dokter mendiagnosanya mengidap demam berdarah. Selama tiga hari, si anak dirawat inap dengan selang infus.
Saat menjumpai Jumriani, dia masih terlihat lemas. Dia berbaring di atas karpet dekat ibunya dan adik bungsunya yang sedang ditidurkan dalam ayunan. Keluarga ini tak mendapatkan hasil rekaman diagnosis. “Katanya sudah baik. Jadi sudah bisa pulang dan dikasih obat,” kata Pudding.
Jumriani membawa dua resep obat dari klinik itu, tapi keluarga itu tak tahu peruntukan obatnya untuk apa. Mereka hanya mengikuti perintah dari klinik.
Saat dua jenis obat itu dikirimkan kepada dokter di Kota Makassar, rupanya obat yang dikonsumsi Jumriani, secara umum diperuntukkan untuk batuk dan alergi.
“Batuk ka memang juga. Tapi kalau alergi nda tahu,” katanya.
Wajah Jumriani masih pucat. Belum segar. Mengenai batuknya, dia beranggapan karena paparan debu.
Sebagai anak remaja, Jumriani sudah mendapatkan satu kamar sendiri. Tapi kamarnya belum memiliki plafon. Ruangan utama seperti ruang tamu dan keluarga, sudah ditambahkan plafon dari plastik terpal.
Jumriani pun mengizinkan untuk menengok kamarnya. Lantainya penuh debu, bagian atas lemari juga sudah mengendap debu. Kasurnya yang dibalut seprei, sudah berubah menjadi cokelat. Padahal kamar itu, baru ditinggalkan selama 5 hari.
Malam hari, dia belum tidur di kamarnya. Tapi siang, dia biasa berbaring di kasurnya sendiri. Tapi, debu tak kenal waktu datangnya. “Jadi kalau orang bilang, kita (warga) sudah makan debu itu sudah pasti,” kata Pudding.
“Mungkin kalau ada pemeriksaan di hidung ini penuh mi debu.”
Pudding melanjutkan, “yang di makanan pasti juga. Karena kalau makan, tidak mungkin mau buru-buru kalau makanan panas. Biasa nasi itu, ditinggal sebentar, sudah bintik-bintik merah. Jadi kami juga sudah makan debu.”
Pudding bilang, terpal sebagai plafon sementara. Sebab membuat plafon berbahan kayu dan tripleks menuntut biaya besar. “Terpal biar jangan terlalu banyak masuk debu. Dan kalau hujan, atap bocornya air tidak langsung ke lantai,” lanjutnya.
Di Borong loe warga menuding aktivitas PT Hengseng New Energy Material Indonesia lah yang menjadi biang keroknya. Analogi warga, ketika PT Huadi, Unity, dan Yatai beroperasi di sekitaran Desa Papan Loe, yang tak jauh dari desa, warga hanya merasakan bau.
Tapi bukan berarti lima perusahaan yang beroperasi itu tidak membawa dampak buruk pada warga. Dua kampung di Desa Papan Loe, yakni Mawang dan Balla Tinggia, sejak tahun 2016, sudah diselimuti debu.
Saham Hengsheng New Energy Material, dikuasi Hainan Recycore New Energy Co.Ltd (50 persen), Huadi Invesment Group (20 persen), Shengwei New Energy Pte. Ltd (15 persen), dan Zoomwe Hongkong New Energy Technology Co.Ltd (15 persen). Dalam website milik Huadi, PT Hengseng memproduksi 10.000 – 13.300 metric ton nickel iron sulfat per tahun.
Dan setelah Hengseng beroperasi, apa yang dirasakan warga Papan Loe dirasakan juga warga di Borong Loe. Lalu bagaimana tanggapan perusahaan?
“Tidak ada. Mereka lewat saja, tidak buka kaca mobil. Tidak ada yang singgah tanya kabar kami,” katanya.
Namun demikian, keluhan itu tetap sampai ke perusahaan. Akhirnya pada 11 Juli 2024, Hengseng mengambil sampel debu yang dilakukan dengan metode pengambilan debu dengan Impinger dan Sound Level Meter.
Pengambilan sampel itu dilakukan pada pukul 13.30 – 16.00 Wita, di permukiman warga Borong Loe. Uji analisis itu dilakukan pada 12 – 22 Juli 2024, di PT Mutuagung Lestari, di Makassar.
Hasil Uji Lab
Hasil uji itu diterbitkan dan diberikan ke PT Hengseng pada 22 Juli 2024. Dalam uji itu, Mutuagung memeriksa enam parameter. Masing-masing, Sulfur Dioksida (SO2) mencapai 639 µ/m³ dari baku mutu 150 µ/m³.
Kemudian untuk Karbon Monoksida (CO) hasilnya 16000 µ/m³ dari baku mutu 10000 µ/m³. Nitrogen Dioksida (NO2) sebesar 20,9 µ/m³ dari baku mutu 200 µ/m³. Oksidan (O2) sebesar 31,0 µ/m³ dari standar 150 µ/m³. Selanjutnya Hidrokarbon Non Metana (NMHC) hasilnya <65,4 µ/m³. Dan Hidrogen Sulfida dari standar baku mutu 0,02 ppm hasilnya adalah 0,0080 ppm.
Dalam beberapa dokumen penelitian, pada manusia, kelebihan SO2 dan NO2 yang terhirup lama akan menyebabkan iritasi pada selaput lendir saluran pernapasan dan iritasi pada mata, jika terus menerus terpapar.
Bob Wahyudin, seorang dokter spesialis anak dan konsultan penyakit napas serta paru anak, di Makassar, tercengang melihat hasil uji lab itu. “Terpapar dengan SO2 dan CO dalam waktu singkat sudah sangat berisiko,” katanya.
“Apa lagi ini sudah bertahun-tahun.” Tegasnya.
Bob Wahyudin, menghela napasnya. Dia memberikan gambaran, tentang keracunan karbon monoksida yang biasa dialami banyak orang saat pendingin udara dalam mobil dihidupkan dan bocor. “Orang bisa mati kan?” katanya.
“Nah kalau orang-orang yang terpapar Sulfur Dioksida, akan berpotensi bisa terkena kanker, bronkitis, paru-paru, dan penyakit penyerta lainnya.”
Bagi dia, pengukuran untuk ambien udara, hanya satu sisi kecil saja dari banyak elemen yang perlu dijaga. Untuk manusia, yang paling rentan adalah anak-anak, lansia, dan ibu hamil. “Air, tanah, hingga pembuangan limbah produksi. Itu harus benar-benar bersih untuk kelangsungan hidup orang dan lingkungan di sekitar,” katanya.
Sang dokter pun makin khawatir ketika ditunjukkan jarak antara pabrik smelter dan rumah warga yang tak sampai 100 meter.
“Ini sangat dekat. Ini kelihatan sekali, bagaimana debu bisa menempel di semua tempat di dalam rumah. Dan itu akan dihirup warga.”
Sementara pada tanaman, SO2 yang melewati ambang baku mutu akan menyebabkan kerusakan pada jaringan daun. Dan dapat pula menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat menimbulkan sifat korosif.
Namun hasil tersebut tak pernah disampaikan ke warga. Lembaran hasil uji analisis itu kemudian dapat diakses setelah warga melakukan pertemuan dengan Dewan Kabupaten Bantaeng dan perusahaan, pada 13 Agustus 2024.
Hasi analisis itu hanya diberikan ke dinas terkait dan Dewan Kabupaten. Salinan hasil dan penjelasan tak pernah dengan jernih dipahami warga. “Oh.. sudah ada hasilnya kah?” kata Basri. “Kenapa kami tidak diberitahu.”
“Jadi ini kampung masih sehat kah atau tidak? Atau kalau sudah tidak sehat, warga mau disuruh bagaimana, dan perusahaan harus apa?”
“Ini kita menerka-nerka saja. Atau memang warga sengaja dibuatkan beginian, biar kami pindah,” kata Pudding.
Bollo.id juga meminta penjelasan pada Lily Candinegara, General Manager Affair and External Relation Huadi, tapi hingga surat dilayangkan pada 7 September 2024, tak mendapatkan jawaban, dan bahkan sampai laporan ini dipublikasikan.
Masa Kejayaan Hasil Sawah Hilang
Haji Sampara Daeng Lili, tak bisa menggunakan Bahasa Indonesia. Dia adalah pria tua yang tegas. Rumahnya berada tepat di depan sebuah masjid Kampung Balla Borong, Desa Borong Loe. Di bagian belakang rumahnya, ada tembok pembatas yang didirikan PT Hengseng.
Haji Lili, begitu sapaannya, bukan asli Bantaeng. Orang tuanya, Usman Daeng Nakku, berasal dari Kabupaten Jeneponto yang datang ke Borong Loe sekitar tahun 1970-an dan menggarap kebun. Kehidupan masa itu kenangnya, masih menyenangkan. Segala macam kebutuhan sayur didapatkannya dari hasil kebun.
Haji Lili punya lima saudari lainnya. Dia sendiri adalah sulung. Tahun 1985, dia menikah dan sepuluh hari berikutnya ayahnya meninggal. Haji Lili dewasa kemudian mulai membeli petak kecil sawah dan menjadi tulang punggung keluarga itu.
Sawah di lembah Borong Loe waktu itu tidak semua teraliri irigasi. Jadinya hanya panen setahun sekali dan mengandalkan air hujan. Akhirnya dia bersama Karaeng Gama menggali tanah dan membongkar batu untuk membuat saluran yang menembus mata air. Mereka setiap hari mencangkul, menggali dengan sekop, menumbuk batu dengan linggis. Hingga akhirnya Tahun 1996, usaha itu membuahkan hasil selama pengerjaan selama dua tahun.
Kini, hamparan sawah seluas 33 hektare di lembah itu, semuanya telah teraliri air sepanjang tahun dari sungai kecil yang tak pernah mengering. Haji Lili memiliki 6 hektare lahan.
Saat itu ia pun senang melihat kerja kerasnya yang akhirnya bisa menghidupi puluhan petani dan ratusan orang. Semua bisa makan dari sawah itu. Setahun sekali dan pada waktu tertentu dapat dua kali panen.
Kebanggannya menjadi seorang petani bertambah manakala ia bisa menunaikan ibadah haji ke Makkah dari hasil sawah.
Selain itu ketiga orang anaknya semua menyelesaikan sekolah hingga sarjana. Rumah betonnya juga dari hasil sawah. Masjid di depan rumahnya, sebagian besar dari sumbangannya.
Tapi itu dulu, pada Juli 2024, di lahan yang dibanggakannya itu, hatinya terpuruk. Dia melihat benih padi dan tanaman padinya yang sudah berusia tiga bulan, batang dan daunnya memerah dan mengering.
Padinya seperti terpanggang api. Lahan petani lainnya juga mengalami hal yang sama. Lumpur sawah menghitam. Dia makin gusar.
Pertanda kerusakan tanaman itu dilihatnya sejak menanam bibit. Setelah bibit disemai dan berusia tujuh hari, padi langsung mati. Tapi kemudian menjadi kembali sehat, saat terkena hujan. Tapi setelah hujan, dan asap pabrik memenuhi area pertanian, bibit kembali merah.
“Sembilan kali saya menanam bibit sama anak saya,” dia bercerita. “Pernah saya rawat terus padinya, saya semprot air tiga kali sehari. Setelah salat subuh saya semprot, tengah hari, dan sore. Saya kerjakan selama tujuh hari. Setelah itu saya berpikir, akan sampai kapan melakukan ini.”
“Dan setelah berhenti menyemprot air,” Haji Lili melanjutkan, “padi langsung merah dan rusak lagi.”
“Itu satu lokasi,” kata Haji Lili. “Sampai empat kali saya menanam. Tapi kalau usianya sudah tujuh hari, kena debu, padi seperti disemprot racun.”
“Jadi,” kata Haji Lili. “Ini bukan lagi cerita perkiraan. Karena dampaknya sudah jelas, kerusakannya di depan mata.”
Para petani menuding, kerusakan itu diakibatkan oleh aktivitas perusahaan smelter nikel PT Hengseng. Petani kemudian protes. Puluhan petani kemudian berkumpul di rumah Haji Lili. Mereka lalu berjalan bersama dan membawa kendaraan di gerbang utama perusahaan. Mobil mereka parkir melintang dan menutupi pintu gerbang.
Beberapa jam, aktivitas keluar masuk kendaraan perusahaan terhenti. Tapi seperti biasa, kepolisian datang dan menjaga unjuk rasa itu. Kemudian polisi mendatangi petani dan melakukan negosiasi.
Petani menuntut ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar untuk kerusakan lahan seluas 33 hektare. Asumsinya, setiap hektare sawah akan menghasilkan 70 karung padi. Harga setiap karungnya Rp550.000.
Akan tetapi polisi malah mengatakan pada petani, jika perusahaan bisa saja berbalik mengajukan gugatan, karena perusahaan tidak beroperasi dan itu bisa menjadi lebih besar. Beberapa petani bilang, kalau perusahaan akan menggugat petani hingga Rp2 miliar. Para petani akhirnya melunak dan pulang.
Tak terlalu sia-sia, protes ini kemudian didengar. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulawesi Selatan, kemudian meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bantaeng untuk mengambil sampel air di lokasi persawahan. Petugas Dinas mengambil tiga titik utama sampel air permukaan sungai yang dijadikan warga sebagai irigasi. Masing-masing di badan aliran hulu, tengah, hilir dan sumur bor (untuk sampel air tanah). Pengambilan sampel disaksikan banyak warga pada 24 Juni 2024.
Analisis air permukaan dilakukan di laboratorium DLH Sulsel. Tiga hari kemudian, pada 27 Juni 2024, hasilnya pun sudah diterbitkan oleh DLH Bantaeng.
Analisis itu menguji empat parameter, masing-masing kandungan besi (Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn) dan Tembaga (Cu).
Dua parameter utama besi dan mangan di tiga titik sampel air permukaan melewati baku mutu. Hasilnya air sampel di hulu, memiliki kandungan besi mencapai 1,24 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Dan Mangan mencapai 0,2 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter.
Sampel air tengah juga menunjukkan kandungan besi sebesar 0,39 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Mangan adalah 0,16 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter.
Sampel air hilir, hasilnya kandungan besi mencapai 0,94 mg/liter dari baku mutu 0,3 mg/liter. Dan mangan mencapai 0,45 mg/liter dari baku mutu 0,1 mg/liter.
Kandungan besi yang tinggi dalam lahan pertanian inilah yang menyebabkan keasaman tinggi dan membuat tanaman padi menjadi kerdil dan tak berkembang. Atau bahkan mati.
Saat Haji Lili ditemui pada 3 Agustus 2024, dia meyakinkan diri, jika rusaknya tanaman padi milik orang kampung Borong Loe, karena adanya aktivitas perusahaan PT Hengseng. Tapi orang-orang dinas, memintanya untuk bersabar, dan memastikan apakah benar karena dampak pabrik.
Sedangkan para petani di awal Agustus itu, mereka tak pernah mendengar dan mengetahui hasil uji sampel air sawah. Saat saya membacakannya, para petani terperangah. “Itu bagaimana?” kata Haji Lili.
Tapi, kata Haji Lili. “Ada bibit di sawah itu. Saya pindahkan di dua tempat berbeda di luar desa. Padinya tumbuh dengan baik. Kenapa di Borong Loe, mati?”
Selama menjadi seorang petani, sejak 50 tahun lalu, dia tak pernah menjumpai jenis penyakit yang membunuh padinya dengan kondisi seburuk ini. Baginya, hanya ada dua kerepotan yang menyerang lahan pertanian; hama seperti belalang atau pun tikus. Dan kemarau panjang yang buat lahan mengering.
Bertahan Dengan Risiko Kematian
Sanda, 70 tahun, bersama istrinya Yeni, 53 tahun, dan Sumiati cucunya, berusia 15 tahun, tinggal di rumah panggung yang berbatasan langsung dengan pagar pembatas PT Hengseng. Di depan rumahnya, tepat di seberang jalan kampung, sebuah tandon air berdiri, yang airnya diperoleh dari sumur bor.
“Itu bantuan dari perusahaan,” kata Yeni.
Rumah Yeni, berdiri di lahan pinjaman milik keluarganya. Lahan yang tak begitu luas itu telah dijual ke PT Hengseng, senilai Rp70 juta. Uangnya lalu digunakan untuk membeli lahan lain di kampung yang jauh dari aktivitas perusahaan.
Sebelum Perusahaan datang dan meminta lahannya untuk dilepas. Yeni bisa menanam jagung dan sayuran. Membangun rumah kebun dan sumur yang selalu diingatnya punya air yang jernih.
“Saya jual, karena mereka bilang nanti kalau ada perusahaan kehidupan akan lebih baik,” katanya.
“Tapi sekarang, mau baik bagaimana. Seandainya kami tahu, kalau akan seperti ini keadaan karena ada perusahaan tidak saya jual pasti itu tanah,” sesalnya.
“Tidak ada kebaikan. Sessa jaki.” (Buat susah saja)
Keluarga Yeni, dan hampir semua warga yang merasakan dampak keberadaan perusahaan, mulai pasrah. Jika akhirnya perusahaan, akan membeli rumah dengan harga yang sesuai, akan dilepas. “Itu ada jagung sudah dimasak, lalu dijemur. Terus nanti digoreng seperti jagung marning. Tapi sudah penuh debu juga. Mungkin ada mau beli, tapi kalau tahu jagungnya dari sini, mungkin tidak akan beli, karena sudah berdebu.”
Yeni mengajak melihat dapurnya. Papan tempat tatakan piring sudah berdebu. Atap seng yang sudah bocor membuat cahaya menerobos seperti jarum yang panjang. Sementara debu terus menghinggapi pakaian dan rambut kami yang membuatnya kaku. Suara aktivitas dari perusahaan terdengar keras. “Dulu waktu perusahaan baru awal itu, tidak bisa tidur. Ribut sekali,” Sumiati.
“Sekarang sudah terbiasa. Tapi tetap saja selalu tidak nyenyak tidur, karena bau busuk,” lanjutnya.
Sumiati, tidak melanjutkan sekolah. Dia membantu keluarganya menjadi buruh pembuat bata merah. Upahnya Rp500 per satu cetakan bata. Dua musim, hujan dan kemarau tak memberinya keuntungan.
“Kalau hujan, orang tidak bikin bata. Tapi debu dari perusahaan kurang. Kalau kemarau, seperti sekarang itu, bikin, tapi debu dari perusahaan banyak,” katanya.
Sanda yang berada di dekatnya, memandang Sumiati. Sanda yang sudah berusia lansia dan kondisinya yang makin menurun, tak bisa berbuat banyak. “Sudah tidak bisa lagi. Lutut sakit, kaki sering keram,” katanya.
Dalam rumah panggung itu, Sanda hanya punya satu kamar. Ia akhirnya memilih tidur di sela ruangan yang menghubungkan ruang tamu menuju dapur. Tepat di pintu kamar, yang ditempati Yeni dan Sumiati. “Tidur di sini saja. Kalau malam, jadi kurang tidur, karena biasa sesak,” katanya.
Dikibuli Sejak Awal
Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) adalah sebuah kawasan yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo. Enam perusahaan smelter nikel dalam KIBA menggunakan lahan sekitar 150 hektare.
Tapi, pada Selasa 16 Juli 2024, Huadi Group, menggelar rapat di Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan, melakukan pemeriksaan formulir Kerangka Acuan Rencana Pembangunan Kawasan untuk menjadikan kompleks peleburan smelter nikel itu menjadi Huadi Bantaeng Industry Park (HBIP). Dalam rancangannya, luas lahan yang digunakan adalah 338,155 hektare.
Namun, pengajuan Kerangka Acuan dan Rencana Pembangunan HBIP ini juga menjadi tak lumrah. Seharusnya, kerangka acuan dan AMDAL dilakukan saat sebelum perusahaan beroperasi. “Ini sudah ada perusahaan operasi dan sudah memberi dampak. Baru kemudian urus Kerangka Acuan dan AMDAL, ini kan aneh,” kata salah seorang staf di DLH Sulawesi Selatan.
“Seharusnya, organisasi lingkungan menggugat kesalahan ini. Dan ini menjadi penting.”
Artinya, luasan saat ini, masih setengah dari perencanaan. “Mau berapa besar. Jadi warga mau diapakan,” kata Pudding. “Dibiarkan mati keracunan asap dan debu pelan-pelan mungkin.”
Sistem Sosial Yang Hilang
Di kampung Mawang, Desa Papan Loe, Risma, 41 tahun, melayani pembeli di warungnya. Suaminya bekerja sebagai buruh pengatur lalu lintas, saat truk perusahaan hendak melintasi jalan yang membelah jalan kampung.
Risma tentu saja cukup beruntung sebab suaminya bekerja dan memiliki penghasilan tetap saban bulan. Tapi, keluarga itu membayarnya dengan mahal dan kehilangan sistem sosial. “Sekarang pintu terus ditutup,” kata dia. “Orang kalau lewat, pasti akan bilang tidak ada orang dalam rumah.”
“Pintu warung juga hanya dibuka sedikit. Pintu tidak akan dibuka lebar, karena semua barang jualan akan berdebu,” kata Risma.
“Sekarang, yang paling berubah, tidak ada lagi warga makan bersama di teras rumah. Makan ramai-ramai dan panggil tetangga dan orang yang melintas. Sekarang makan juga harus sembunyi dan cepat.”
Risma merasa kehilangan hubungan kekerabatan dengan orang kampung berubah. “Bukan soal debu, tapi semua itu sudah rusak pas perusahaan datang.”
Rumah keluarga Risma, berhadapan dengan pabrik milik PT Unity yang bangunannya di cat biru. “Itu debunya, Unity, hitam, dan bau busuk,” lanjutnya.
Risma tahu debu itu berbahaya untuk kesehatannya. Tapi akhirnya, selama Tahun 2018 perusahaan beroperasi, dia menjadi terbiasa. Baginya, menggunakan masker akan membuatnya semakin sulit bernapas. “Mungkin sudah kebal,” katanya.
Penyidik Kejaksaan Agung kaget bukan kepalang saat menggeledah rumah mewah Zarof Ricar
"Jadi secara umum memang kami itu sedang galau dan gelisah soal posisi BRIN itu mau di kemanakan," kata sumber Suara.com di lingkungan BRIN.
"Kenapa perempuan masih susah masuk di kabinet, karena persoalan di kabinet ini persoalan politik, sangat erat dengan lobi-lobi politik," kata Kurniawati.
Sejauh ini, tak ada jaminan ormas keagamaan mampu lebih baik mengelola pertambangan di Indonesia.
Nasarius, kehilangan pekerjaan sebagai satpam di Plaza Indonesia akibat potongan video yang merekam dirinya memukul anjing khusus pengamanan viral di media sosial.
Ajaran 'Ngaji Rasa' tak mau menyakiti hati dan perasaan orang lain melekat dalam kehidupan masyarakat Dayak Indramayu.
Demi si bungsu, diam-diam Jokowi membangun dinasti melalui operasi senyapnya.