Senin, 01 Jan 2024
Kisah Pilu Guru Supriyani: Dipenjara karena Tuduhan Palsu
Home > Detail

Kisah Pilu Guru Supriyani: Dipenjara karena Tuduhan Palsu

Eviera Paramita Sandi

Jum'at, 25 Oktober 2024 | 14:41 WIB

Suara.com - Supriyani terus menunduk. Dia terus menutupi matanya dengan jilbab putih yang dikenakannya. Sesekali dia juga menyeka air mata yang tak berhenti keluar. Sedangkan saudara-saudaranya hanya bisa memeluk Supriyani dengan erat.

“Bu Supriyani belum bisa berkomunikasi baik dengan media. Lagi drop,” kata Andre Darmawan, kuasa hukum Supriyani kepada Suara.com.

Supriyani masih kalut meskipun permohonan penangguhan penahanannya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Selasa (22/10). Maklum, itu hanya penangguhan penahanan, bukan pembebasan.

Supriyani (36) adalah guru honorer di SD Negeri 4 Baito, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan. Dia harus berhadapan dengan hukum lantaran dituding memukul seorang murid di sekolah tersebut dengan sapu ijuk hingga menyebabkan luka di pahanya.

Supriyani dilaporkan ke Polsek Baito pada Senin (29/4) oleh orangtua murid itu yang juga merupakan seorang polisi, yakni Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda) Wibowo Hasyim, Kepala Unit Intelijen Polsek Baito.

Wibowo membuat laporan tersebut setelah mendengarkan pengakuan dari anaknya ihwal luka di paha.

Awalnya, sang murid mengaku luka itu ada karena dirinya jatuh di sawah saat bermain. Tak percaya, kedua orang tuanya kembali bertanya dan dijawab oleh sang murid bahwa dirinya dipukul menggunakan sapu oleh Supriyani pada Rabu (24/4) pukul 10.00 WITA di kelas IA.

Kali ini kedua orangtuanya langsung percaya. Berbekal pengakuan itu lah Wibowo melaporkan Supriani ke tempat dirinya bekerja. Saat itu, Supriyani dipanggil untuk dimintai keterangan oleh kepolisian atas tuduhan pemukulan itu.

Supriyani membantah semua tuduhan dari orang tua murid. Sebab, dia tidak melakukan pemukulan tersebut. Para guru hingga murid di SDN 4 Baito juga diperiksa.

Andre mengatakan berdasarkan pengakuan dari para guru, tak ada satu pun yang menyaksikan Supriyani memukul sang murid. Bahkan, pada Rabu (24/4) pukul 10.00 WITA, Supriani tidak sedang mengajar di kelas IA, melainkan di kelas IB.

“Jam 10 dia tetap di situ di ruangan dia mengajar di 1B dan itu disaksikan oleh ibu Lilis juga [salah satu guru di SDN 4 Baito,” ungkap Andre.

Meski tuduhan itu telah dibantah dan dikuatkan oleh keterangan saksi, Supriyani justru diarahkan penyidik untuk meminta maaf kepada orangtua murid. Supriyani pun terpaksa mengikuti arahan tersebut agar urusannya tak berlarut-larut.

Bukannya selesai, kasus tersebut terus diproses oleh Hasyim. Dia menganggap permintaan maaf dari Supriyani adalah pengakuan.

Beberapa kali mediasi kembali dilakukan. Supriyani malah diminta uang sebesar Rp50 juta.

Supriyani kelimpungan. Dia tidak bisa memenuhi permintaan itu. Sebab, gaji dia saja sebagai guru honorer hanya Rp300 ribu per bulan, meskipun sudah mengabdi selama 16 tahun. Terbaru, Wibowo membantah bahwa pihaknya sempat meminta uang Rp50 juta.

Mediasi berkali-kali itu tak mencapai titik temu. Kasusnya tetap berjalan dan dilimpahkan polisi ke kejaksaan. Supriyani dipanggil Kejaksaan Negeri (Kejari) Konawe Selatan untuk dimintai keterangan Pada Rabu (16/10). Namun, tak lama setelah itu dia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kendari.

PN Andoolo mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Supriyani dengan pertimbangan guru honorer itu mempunyai anak yang masih balita. Selain itu, Supriyani juga seorang guru yang harus menjalankan tugasnya di SDN Baito.

Meski demikian, proses hukum tetap berjalan. Supriyani menjalani sidang dakwaan pada Kamis (24/10) di PN Andoolo.

Ratusan guru di Kabupaten Konawe Selatan pawai mengiringi Supriyani ke PN Andoolo. Iring-ringan itu mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas atas dugaan kriminalisasi yang dilakukan kepada Supriyani.

Sidang tersebut sempat tertunda dan diarahkan untuk mediasi. Pihak Supriyani menolak lantaran sudah tau arah dari mediasi itu agar Supriyani kembali meminta maaf.

“Sepertinya mau cari selamat polisi dan jaksa,” kata Andre.

Kejaksaan melakukan penahanan terhadap Supriyani di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kendari, Sulawesi Tenggara [Suara.com/Antara]
Kejaksaan melakukan penahanan terhadap Supriyani di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kendari, Sulawesi Tenggara [Suara.com/Antara]

Akhirnya sidang tetap digelar sebagaimana yang telah diagendakan, yaitu pembacaan dakwaan. Supriyani didakwa telah melakukan perbuatan “menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”

Atas tuduhan perbuatan itu, Supriyani terancam pidana berdasarkan Pasal 80 Ayat (1) Jo Pasal 76C Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 

Abuse of power

Sebagai kuasa hukum Supriyani, Andre merasa banyak kejanggalan dalam kasus yang menjerat kliennya. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa penetapan tersangka hingga terdakwa itu berdasarkan pada keterangan saksi anak di bawah umur yang tidak bersesuaian dengan saksi yang lain.

Dalam pasal 171 KUHAP, dijelaskan bahwa anak di bawah 15 tahun atau orang dengan sakit ingatan atau jiwa tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana.

Keterangan anak di bawah umur juga tidak termasuk dalam alat bukti keterangan saksi yang sah menurut KUHAP. Keterangan anak di bawah umur hanya bisa dipakai sebagai petunjuk saja.

“Apalagi gak disumpah, dia cuma bisa menjadi petunjuk kalau dia bersesuaian dengan alat bukti yang lain,” kata Andre.

Selain itu, bukti luka yang berada di paha sang anak juga dianggap tidak seperti luka yang dihasilkan dari pukulan sapu stainless.

Berdasarkan hasil visum et repertum BLUD UPTD Puskesmas Palangga, murid yang disebut dipukul oleh Supriyani mengalami luka memar disertai lecet pada paha kanan dan kiri bagian belakang, bentuk tidak beraturan, batas tidak tegas, warna kehitaman.

Luka pada paha kanan bagian belakang panjang 6 cm dengan lebar 0,5 cm. Kemudian luka pada paha kiri bagian belakang panjang 3,3 cm dengan lebar 1,1 cm akibat kekerasan tumpul.

“Kita sesuaikan kalau itu tuduhan jaksa memukul pakai gagang sapu yang stainless itu, yang ringan itu tidak mungkin dampaknya seperti itu luka yang dipoto dan divisum karena lukanya itu kan dua paha seperti ada bekas begitu, ada melepuh pokoknya,” ujarnya. 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai Supriyani tidak bisa dijerat secara pidana. Dia menyebut hal itu mengacu pada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) dalam putusan Nomor 1554 K/PID/2013 tentang perkara pidana atas nama Aop Saopudin, guru di Majalengka.

Aop dilaporkan ke polisi lantaran memberikan hukuman cukur rambut kepada beberapa muridnya yang berambut gondrong.

Dalam putusannya, MA menyatakan guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap muridnya.

“Itu disepakati menjadi kesamaan pandangan di MA terhadap banyak perkara-perkara yang lain. Intinya di pandangan hukum, di pandangan MA itu bukan pidana,” kata Isnur.

Isnur juga heran mengapa kepolisian memaksakan kasus ini terus dilanjutkan. Dia menduga ada potensi abuse of power yang dilakukan oleh Hasyim, orangtua murid yang merupakan polisi. Terlebih, kasus itu juga ditangani di tempat Wibowo bekerja.

Menurutnya, hal itu berbahaya. Polisi yang melakukan abuse of power harus disidang etik. Jika terbukti bersalah, maka harus mendapatkan sanksi tegas. Selain itu, Wibowo juga harus dimutasi ke wilayah lain jika terbukti bersalah.

“Agar apa? Agar menjadi preseden bahwa polisi tidak boleh bertindak abuse seperti ini. Tidak boleh menangani bertindak bersikap atau lagi melakukan pressure-pressure ketika menyangkut anak atau istri atau keluarganya,” ucapnya.

Desakan Bebaskan Supriyani

Sejumlah pihak mendesak agar Supriyani dibebaskan. Isnur berpendapat kepolisian dan Kementerian Pendidikan harus memberikan atensi khusus untuk menghentikan proses pemidanaan terhadap Supriyani. Sebab, Supriyani dilindungi oleh profesi keguruan/pendidik.

Dirinya juga mendesak agar dilakukannya reformasi di tubuh kepolisian. Sebab, potensi abuse of power ini tidak hanya satu atau dua kasus. Sejumlah polisi terindikasi melakukan abuse of power pada kasus-kasus yang melibatkan dirinya atau kerabatnya.

Menurut Isnur, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan revisi KUHAP terkait kewenangan kepolisian.

“Kewenangan polisi harus dibatasi. Agenda ini menjadi penting,” ujarnya.

Tak hanya YLBHI, Persatuan guru Republik Indonesia (PGRI) juga mendesak agar proses hukum Supriyani dihentikan dan guru honorer itu dibebaskan. Dia mengingatkan guru dan dosen dalam melaksanakan tugas profesinya wajib dilindungi oleh pemerintah, pemerintah daerah,organisasi profesi, dan masyarakat.

Hal itu mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Sekjen PB PGRI, Dudung Abdul Qadir menjelaskan guru juga tidak bisa langsung dipidanakan, ada prosedur yang harus dilewati. Salah satunya dengan melaporkan pada asosiasi atau organisasi profesi guru. Lalu, ditelisik oleh organisasi guru apakah dugaan pelanggaran itu masuk ke ranah etik atau pidana.

“Pasti yang harus dilakukan adalah kepolisian setempat melapor ke PGRI, apakah ini tindakan kriminal, pidana, atau pelanggaran etik. Tidak boleh polisi tiba-tiba menangkap. Itu prosedur,” jelasnya.

Dia mengungkapkan elemen guru di berbagai daerah mendukung Supriyani. Sejak kasus yang menimpa Supriyani viral, PGRI langsung bersurat kepada Kapolri. 

Alhamdulillah menggembirakan. Ibu Supriyani ditangguhkan [penahanannya]. Tetapi karena kasus hukum sudah masuk di pengadilan, jadi proses hukum akan kita terus kawal,” ucapnya.

“Beliau honorer, dibegitukan. Udah gaji kecil, dia dengan tulus berdedikasi ngajar siswanya, diadukan ke pengadilan oleh wali muridnya. Kami berharap bu Supriyani dibebaskan,” imbuhnya. 

Kontributor : Rosmanah Ningsih

Terbaru
Deflasi dan PHK: Jeritan Pedagang Pasar Johar Baru, Tukang Bajaj Pun Ikut Merana
nonfiksi

Deflasi dan PHK: Jeritan Pedagang Pasar Johar Baru, Tukang Bajaj Pun Ikut Merana

Rabu, 20 November 2024 | 09:15 WIB

Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.

Tragedi Deli Serdang: Saat Kepercayaan Publik Terhadap TNI Justru Dibalas Kekerasan polemik

Tragedi Deli Serdang: Saat Kepercayaan Publik Terhadap TNI Justru Dibalas Kekerasan

Selasa, 19 November 2024 | 11:09 WIB

Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.

Kisah Pelajar Jakarta Kecanduan Judol: Main Bareng Guru hingga Gadai BPKB Motor nonfiksi

Kisah Pelajar Jakarta Kecanduan Judol: Main Bareng Guru hingga Gadai BPKB Motor

Jum'at, 15 November 2024 | 20:51 WIB

Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.

Teror Truk Tanah PIK 2: Kecelakaan Maut Picu Amarah Warga polemik

Teror Truk Tanah PIK 2: Kecelakaan Maut Picu Amarah Warga

Kamis, 14 November 2024 | 16:21 WIB

Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.

Drama Laut Andaman: Mengungkap Sindikat Perdagangan Manusia Rohingya di Aceh polemik

Drama Laut Andaman: Mengungkap Sindikat Perdagangan Manusia Rohingya di Aceh

Rabu, 13 November 2024 | 14:11 WIB

Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.

Ironi Perkantoran Elite Jakarta: Kisah Pekerja Terpaksa Pinjol Demi Sesuap Nasi nonfiksi

Ironi Perkantoran Elite Jakarta: Kisah Pekerja Terpaksa Pinjol Demi Sesuap Nasi

Selasa, 12 November 2024 | 17:38 WIB

Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.

Di Balik Jeruji Truk: Kisah Pilu Pengungsi Rohingya yang Ditolak di Aceh nonfiksi

Di Balik Jeruji Truk: Kisah Pilu Pengungsi Rohingya yang Ditolak di Aceh

Senin, 11 November 2024 | 17:21 WIB

Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.