Suara.com - PESAWAT yang ditumpangi Faisal Assegaf, Middle East Airlines akhirnya mendarat di bandara Beirut, Lebanon pada 23 September 2024. Dia berangkat dari Turki, yang memakan waktu setidaknya satu setengah jam.
Ia seharusnya tiba di Ibu Kota Lebanon itu pada 20 September. Namun, penerbangannya menggunakan maskapai Turkish Airlines dibatalkan karena pertimbangan keamanan.
Sebagai wartawan di daerah konflik, Faisal tetap bersikukuh untuk meliput situasi terkini di kota "Paris-nya" Timur Tengah. Apalagi, Pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan bagi WNI untuk bepergian ke Lebanon.
Tetapi, janji yang sudah dibuat untuk wawancara dengan beberapa petinggi Hizbullah di Lebanon membuat Faisal tidak bisa menundanya. Dia juga sudah menghubungi staf media relasi Hizbullah, Rana Asaahili dan mengirimkan paspor miliknya untuk berjaga-jaga.
Situasi di Lebanon sendiri dalam beberapa waktu terakhir cukup mencekam. Israel dalam beberapa bulan terakhir gencar melakukan serangan udara, menarget kelompok militer Hizbullah. Bahkan pada 20 September, serangan Israel menewaskan komandan senior Hizbullah, Ibrahim Aqil.
Kondisi itu pula yang dirasakan Faisal sejak kali pertama menginjakkan kaki di Bandara Rafik Hariri. Sepanjang mata memandang keadaan tampak lengang, nyaris kosong, hanya ada belasan orang.
Memasuki kawasan kota, situasi mencekam semakin terasa. Pinggiran jalan dipenuhi ratusan ribu warga yang mengungsi. Mereka sebagian besar berasal dari kawasan Lebanon Selatan, wilayah paling terdampak atas serangan militer Israel.
Hotel dan apartemen penuh. Mereka yang tak mendapatkan penginapan memilih tinggal di dalam mobil yang mereka kendarai atau pilihan kedua ngemper di jalanan. Beruntung Faisal mendapatkan kamar di The Parisian Hotel, karena sudah memesan sebelum terbang dari Turki.
Faisal memilih menginap di hotel ketimbang di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beirut. Pertimbangannya di sana sudah ada sekitar 40 WNI yang mengungsi. Mereka adalah mahasiswa dan keluarga WNI yang menikah warga negara Lebanon. Dia merasa tak enak hati bila ikut numpang nginap di sana.
Hari kedua, Faisal memulai perjalanan di Beirut. Dia disopiri Ahmad, staf lokal KBRI Beirut --warga negara Lebanon. Sore itu, mereka berangkat menuju makam para pejuang Hizbullah di Dahiya, daerah Selatan Beirut.
Di sana Faisal tak sendiri, banyak penziarah lain yang memanjatkan doa atau sekedar memberikan penghormatan kepada para pejuang Hizbullah yang gugur. Di sudut lain, beberapa liang lahat menganga, menanti jenazah baru yang akan disemayamkan.
Faisal mengambil posisi di depan makam komandan senior Hizbulla, Fuad Syukr dan Ibrahim Aqil yang gugur saat serangan Israel ke Dahiya pada Juli lalu. Dia merappal doa dan mengirimkan Al-Fatihah.
Dikira Intel Mosad
Faisal kembali ke dalam mobil melanjutkan perjalanan. Beberapa saat mobil melaju, terbisit dipikirannya untuk mengabadikan situasi jalanan dahiya, menggunakan kamera ponselnya. Dia sempat ragu. "Ahmad, boleh ngerekam enggak?" tanyanya memastikan.
Ahmad pun mempersilakannya. Faisal merekam dari dalam mobil dengan posisi kamera ponselnya hanya mengambil pemandangan lurus ke depan. Tepat pada rekaman ke 16 detik, mobil mereka tiba-tiba dihentikan seorang pria mengendarai sepeda motor. Ahmad mengerem mendadak, hingga membuat keduanya tersentak kaget. Ponselnya bahkan sampai terjatuh.
Mobil mereka dikeremuni anggota Hizbullah berpakaian serba hitam sambil menenteng senjata laras panjang. Ketakutan mulai dirasakannya. Keduanya diminta untuk turun dari mobil. Ahmad turun, Faisal dimintanya tetap di dalam mobil.
Anggota Hizbullah mempersoalkan Faisal yang merekam dari dalam mobil. Ahmad besikukuh tidak mengetahui adanya larangan itu. Faisal pun akhirnya tahu, meski warga lokal, Ahmad ternyata tidak mengetahui secara detil situasi di Dahiya, termasuk larangan merekam video di kawasan basis Hizbullah.
Di dalam mobil, Faisal didatangi salah seorang pemuda anggota Hizbullah. "Mata-mata Israel, Yahudi, Zionis," bentaknya menuding.
Faisal berusaha untuk tetap tenang, tidak terprovokasi. Pemuda itu semakin menjadi-jadi, kepalan tangan kanannya ditempelkan ke dagu Faisal. "Mati kau di penjara," bentaknya lagi.
Dalam situasi itu, melawan atau mengelak, sama saja dengan menyerahkan nyawanya. Faisal tetap berupaya tenang. Sementara, Ahmad menghubungi Rana, meminta bantuan. Dari sambungan telepon, Rana menyatakan tidak bisa membantu. Ahmad putusa asa. "Dia membiarkan kita ditangkap Hizbullah," katanya kepada Faisal. Ketika itu mereka lupa menghubungi KBRI.
Barang-barang mereka disita, termasuk tas, handphone, dompet, dan barang-barang lainnya. Lalu dibawa menggunakan mobil ke kantor Hizbullah.
Mereka digiring ke lantai dua. Di sana Faisal melihat seorang pemuda sedang menjalani interograsi. Didengarnya pemuda itu mahasiswa jurnalistik dari sebuah universitas di Amerika Serikat. Nama belakangnya Chowdhry, ditangkap karena mendekati lokasi ledakan akibat serangan Hizbullah.
Giliran Ahmad yang diinterograsi. Sebagai warga lokal, Ahmad dinilai sebagai pihak yang bertanggung jawab. Ahmad tetap bersikukuh tidak mengetahui larangan merekam video atau mengambil gambar.
Sekitar dua jam mereka berada di kantor Hizbullah. Langit mulai gelap menyongsong malam. Usai menjalani serangkaian pemeriksaan, Faisal, Ahmad, serta Chowdhry diserahkan ke intelijen militer Lebanon. Faisal dan Ahmad berada di dalam mobil yang sama, sementara Chowdhry terpisah dari mereka. "Tenang pak, kita sudah ditangan tentara pemerintah, nanti juga dibebasin," kata Ahmad menenangkan Faisal.
Perkataan Ahmad tak serta merta membuat Faisal tenang. Nyatanya mereka dibawa ke penjara khusus teroris Kementerian Pertahanan Lebanon.
Menunggu sekitar 15 menit, mereka melihat Chowdhry dengan tangan terborgol dan mata ditutup digiring ke penjara itu. Pikiran Faisal sudah tak menentu. Untaian zikir dan salawat yang sejak awal dirapalkannya semakin ia kencangkan.
Tiba giliran Ahmad yang diperlakukan seperti Chowdhry, begitu juga Faisal. Saat dibawa masuk, beberapa kali tangannya tertarik borgol hingga terasa sakit, karena petugas yang membawa mereka berjalan begitu cepat.
Faisal tak tahu bagaimana situasi di dalam, sebab matanya ditutup. Faisal hanya tahu mereka tiba di sebuah ruangan dekat tempat pencucian baju dan kamar mandi setelah penutup mata dan borgol dilepas.
Ketiganya diminta untuk melepas baju, celana, dan sepatu. Berganti baju tahanan berwarna merah yang sudah memudar. Jenis kain baju tahanan itu kasar, dan tidak menyerap keringat. Apesnya, Faisal mendapatkan celana yang bolong di bagian bokong.
Borgol dan penutup mata kembali mereka kenakan. Mereka kembali digiring. Sebelum memasuki ruangan interograsi, ketiganya dibariskan berdiri bersandar ke tembok.
Satu persatu mereka diinterograsi. Tiba giliran Faisal. Barangnya yang disita seperti tas, dompet, dan ponsel dibuka dan dicatat. Pria yang menginterograsi Faisal berbadan gemuk dengan kumis tebal, mengenakan kaos tanpa lengan.
Saat memeriksa dompet Faisal ditemukan dua lembar mata uang Israel, masing-masing bernilai 200 dan 50 shekel. "Itu sisa pengeluaran saya selama berada di jalur Gaza," kata Faisal mencoba meyakinkan.
Faisal sebelumnya pernah pergi untuk peliputan ke jalur Gaza. Kepada pria berbadan gemuk itu ia menjelaskan kalau mata uang yang berlaku di Palestina salah satunya shekel. Dia juga meminta agar uang itu tidak disita karena jadi kenang-kenangan.
Di sisi lain, Faisal menyimpan kekhawatiran lain. Di dalam ponselnya yang disita terdapat sejumlah nomor telepon petinggi Israel.
Beruntung ponselnya tak dinyalakan, sebab kontak para petinggi Israel yang disimpan bisa menjadi alat untuk menudingnya sebagai mata-mata Israel. Nyawanya bisa melayang. Terlebih, Faisal beberapa kali menjadi narasumber dalam sebuah wawancara televisi pemerintah Israel.
Selama proses interograsi banyak hal yang ditanyakan ketiganya. Umumnya soal data pribadi, kewarganegaraan, identitas keluarga, pekerjaan dan berbagai pertanyaan untuk menunjukkan latar belakang. Selama proses interograsi pertanyaan diajukan dengan sopan, tanpa ada intimidasi dan kekerasan.
Penjara Khusus Teroris
Selesai menjalani interograsi, tangan mereka kembali diborgol, begitu juga dengan mata ditutup. Faisal dan Ahmad digiring ke sebuah ruangan yang ternyata sel tahanan. Di dalam sudah ada lima tahanan, dua warga Lebanon, satu warga Suriah.
Sel itu berukuran 1,8 meter x 3 meter, tergolong sempit untuk diisi tujuh orang. Dindingnya dicat dengan warna krem dan hanya ada satu ventilasi kecil seukuran handphone.
Faisal tak tahu persis letak penjara tersebut, sekilas seperti di bawah tanah. Selain kecil, ruang itu sangat panas. Belum lagi bau badan tak sedap menyeruak karena hampir semua tahanan melepas baju.
Malam makin larut ketika keduanya memasuki ruangan jeruji besi itu. Faisal memilih bersandar di pintu sel. Dia tidak bisa tidur, tidak ada ruang bagi tubuhnya untuk berbaring. Hanya ada empat matras, itu pun sudah dipakai penghuni lama.
Tahanan lain bertanya penyebab mereka ditahan. Ahmad menjelaskan karena Faisal merekam video di kawasan basis Hizbullah. Mendengar itu, Abu Ali, salah satu tahanan, mengatakan bahwa perbuatan mereka tergolong pelanggaran serius. Tetapi, Abu Ali meminta mereka tetap tenang karena pihak KBRI pasti akan menjemput.
Persoalannya sejak ditangkap, baik Faisal maupun Ahmad belum sempat mengontak KBRI. Keadaan itu semakin membuatnya khawatir. Apalagi penghuni lain mengatakan, sebelumnya ada wartawan asing ditahan selama 15 hari.
Faisal kembali berzikir, bersalawat, dan membaca surat Surat Yasin tujuh kali. Dia teringat putrinya yang berusia lima tahun ketika Abu Ali berlinang air mata menceritakan kerinduannya kepada anak-anaknya yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu. Abu Ali memiliki empat anak, dan sang istri sedang mengandung anak kelima. Air mata Faisal tak terbendung. Ia semakin kalut dalam ketidakpastian nasibnya.
Selama mendekam di penjara, mereka hanya diberi kesempatan sekali ke kamar mandi di pagi hari. Kesempatan dipergunakan untuk mandi, buang air kecil dan besar. Kesempatan itu juga mereka manfaatkan mencuci baju yang dikenakan dan dijemur di dalam sel. Selanjutnya mereka tidak boleh keluar, bila ingin kencing mereka menampung dalam botol plastik.
Untuk salat, para tahanan bertayamum. Ini pertama kali bagi Faisal salat lima waktu tanpa berwudu, hanya bertayamum dan mengenakan celana pendek.
Mereka mendapatkan jatah makan tiga kali sehari berupa khubz --roti gandum. Sedangkan air minum, masing-masing tahanan hanya mendapat jatah dua liter per hari.
Selama dalam sel, Faisal hanya memakan sekitar lima gigitan roti. Selain tak bernafsu, dia juga tidak terlalu banyak minum karena khawatir akan sering buang air kecil.
Selama ditahan, Ahmad dan Faisal menjalani interograsi hingga enam kali. Saat meninggalkan ruang tahanan, mata mereka kembali ditutup dengan tangan terborgol.
Dari hasil beberapa kali interograsi, kepala penjara mengatakan Faisal dan Ahmad bukan orang yang mencurigakan dan berbahaya. Mereka pun dijanjikan untuk dibebaskan pada malam hari. Saat itu juga Faisal meminta untuk menelepon Kuasa Usaha Ad Interm KBRI Beirut Yosi Aprizal. Namun sayang, panggilannya dua kali tidak diangkat.
Sambil menunggu dibebaskan, mereka dimasukkan kembali ke sel. Pada saat itu Komite Internasional Palang Merah atau ICRC melakukan kunjungan ke setiap sel. Faisal mendengar Abu Ali memohon kepada salah satu staf ICRC untuk meminta pihak penjara memberikan kesempatan kepada tahanan menghubungi keluarganya lewat telepon, walau sekadar bertanya kabar. Abu memohon dengan berlinang air mata.
Pemandangan haru itu membuat Faisal tak bisa membendung air mata. Ia kembali teringat putri kecilnya yang memintanya untuk segera pulang. "Ya Allah, saya kangen. Tolong segera bebaskan saya dari sini," ucap Faisal dalam hati. Dia kembali berzikir mengusir rasa takut dan khawatir.
Salah satu sipir mengabarkan dalam waktu dua jam mereka akan dibebaskan. Namun, sipir lain menakutinya. Mereka tidak akan dibebaskan, melainkan diserahkan kepada kelompok militer Hizbullah. Ketakutan dan kekhawatiran itu kembali menyelimuti keduanya.
Selepas asar, seorang sipir menjemput mereka ke sel. Mengabarkan mereka akan dibebaskan. Kabar sukacita itu mereka sambut hangat bersama tahanan lain di dalam sel.
Sebelum meninggalkan sel, mata mereka kembali ditutup dengan tangan terborgol. Keduanya diarahkan kembali ke ruang interograsi untuk mengambil barang-barang pribadi yang sebelumnya disita oleh petugas. Barang-barang sitaan itu dikembalikan. Sayang, mata uang Israel yang turut disita tidak dikembalikan. "Yang penting kamu bebas," ujar Faisal menirukan pernyataan petugas tersebut.
Pembebasan itu tak hanya dirasakan Faisal dan Ahmad. Chowdhry juga turut menghirup udara bebas. Setelah bersalin pakaian, mereka menunggu perwakilan KBRI datang menjemput. Namun setelah dua jam menunggu, staf KBRI yang ditugaskan menjemput mereka tak kunjung datang. Akhirnya petugas Kementerian Pertahanan Lebanon mengantar mereka ke lokasi parkir kendaraan Ahmad.
Di tengah perjalanan pulang, sopir KBRI Ali Jabir menghubungi mereka. Setelah mengetahui Faisal dan Ahmad dalam perjalanan pulang, Ali memutar kembali kendaraannya ke KBRI. Tak lama kemudian Faisal dan Ahmad bertemu dengan Ali di KBRI.
Belakangan Faisal tahu bahwa kebar dirinya ditangkap pasukan Hizbullah, Kementerian Pertahanan Lebanon mengontak KBRI. Mereka menyampaikan bahwa salah satu staf lokal dan jurnalis asal Indonesia ditahan dipenjara. Ali bercerita, saat itu juga ia meminta Yosi menghubungi pihak Hizbullah dan intelijen militer Lebanon agar Faisal dan Ahmad segera dibebaskan.
Setelah Faisal menenangkan diri di KBRI, ia bergegas kembali ke hotel untuk beristirahat. Kepada Suara.com, Faisal mengaku tidak banyak melakukan peliputan, ia memilih bekaktivitas di KBRI untuk membantu para staf menyediakan kebutuhan harian bagi WNI yang mengungsi.
Jumat, 27 September 2024, suara dentuman terdengar kencang di telinga Faisal saat ia berada di kawasan Teluk Zaituna Bay. Sore itu, ketenangan pantai terusik.
Belakangan diketahui suara dentuman itu berasal dari bom Israel yang meledak di kawasan Dahiya, hingga menewaskan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah.
Suasana duka menyelimuti kelompok Hizbullah di keesokan harinya. Mereka berkabung. Luapan kesedihan atas kematian pemimpin mereka ditumpahkan di sepanjang jalan kota. Sejumlah pasukan Hizbullah berkonvoi sambil menembakkan peluru ke udara hingga menggelegar ke dalam hotel.
Faisal tak berani melihat langsung konvoi kendaraan pasukan Hizbullah. Walaupun, hanya sekedar mengambil gambar atau merekam video. Faisal bersama penghuni hotel lainnya memilih bertahan di kamar, khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Bagi Faisal, liputan di Lebanon kali ini menjadi kisah yang tak akan terlupakan dalam hidupnya. Apalagi, selama pengalaman liputan di Timur Tengah, ia tidak pernah merasakan ditahan dalam penjara khusus teroris. "Sekalinya dipenjara di negeri orang, jauh lagi kan," kata Faisal sembari tersenyum.
Sedangkan Ahmad, mengungkapkan rasa jengkel kepada Faisal. "Tidak ada yang lucu, pak. Saya menderita dan terhina," katanya ketus.
Namun, saat Faisal menceritakan pengalamannya kepada keluarga malah disambut gelak tawa. Menurutnya, anak dan istrinya sudah memahami risiko pekerjaan sebagai jurnalis di wilayah konflik. Respons berbeda datang dari putri kecilnya, yang memintanya segera pulang. "Pulang abah, nanti ditangkap lagi," kata putrinya lewat sambungan telepon.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.