Suara.com - GENDANG bertalu-talu mengiringi setiap lantunan musik dangdut. Di atas panggung berlatar belakang bangunan megah Apartemen Tokyo Riverside, biduan mendendangkan lagu Kopi Dangdut. Sore itu Rabu, 16 Oktober 2024, salah satu warga di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten tengah menggelar pesta pernikahan.
Meski terhimpit pembangunan megaproyek Pantai Indah Kapuk atau PIK 2, warga Desa Muara tumpah ruah menikmati setiap lantunan musik dangdut yang dibawakan biduan. Gerobak-gerobak pedagang makanan dan mainan bersandar mencari peruntungan di tengah keramaian.
Sekitar 500 meter dari panggung, anak-anak asyik bermain bola di sepetak tanah yang bagian sisinya telah dibatasi pagar setinggi 4 meter. Di balik pagar beton itu kuli-kuli bekerja menyusun gedung-gedung bertingkat.
"Nantinya tanah tempat anak-anak main bola itu juga akan dibangun proyek," kata Nawawi (53) warga Kampung Cipete, Desa Muara kepada Suara.com.
PIK 2 merupakan lanjutan usaha patungan Agung Sedayu Group (ASG) dan Salim Group (SG) setelah mengembangkan kawasan PIK 1 dan pulau reklamasi; Golf Island and Ebony. Proyek pengembangan kawasan properti di pesisir utara Jakarta hingga Kabupaten Tangerang seluas 1.755 hektare ini ditetapkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai proyek strategis nasional atau PSN sejak Maret 2024. Total nilai investasinya mencapai Rp40 triliun. Sedangkan pengerjaannya dimulai tahun ini dan ditargetkan selesai pada 2060.
Desa Muara merupakan salah satu wilayah yang terdampak pembangunan proyek PIK 2. Pada Mei 2024 tercatat dari 180 Kepala Keluarga atau KK di sana, 80 persen di antaranya telah tergusur dan direlokasi ke Kampung Tanjungan.
Nawawi salah satu warga yang akan ikut direlokasi ke Kampung Tanjungan. Rumah miliknya yang sudah tempati sejak puluhan tahun itu telah diukur oleh pihak pengembang.
"Untuk bangunan rumah permanen katanya dijanjikan ganti rugi sekitar Rp3 juta per meter," ungkapnya.
Pembangunan proyek PIK 2 tidak hanya mengakibatkan warga tergusur dari tempat tinggal yang telah berpuluh tahun mereka huni. Tapi juga berdampak terhadap sumber penghidupan warga yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional.
Lebih dari 20 tahun Nawawi menggantungkan hidup sebagai nelayan tradisional. Namun akibat adanya pembangunan PIK 2 ia terpaksa beralih profesi sebagai pedagang kopi, mie dan jajanan ringan.
Keputusan ini ia ambil karena hasil tangkapan sebagai nelayan tidak sebanding dengan pengeluaran sehari-hari. Selain akses menuju ke laut setelah adanya pembangunan proyek juga semakin jauh karena telah ditutupi pagar-pagar beton.
"Sekarang dagang kayak beginian aja di rumah sama istri," tuturnya.
Bertahan dan Terlilit Utang
Andi Gunawan (41) duduk bersila di depan rumahnya di Kampung Cipete, Desa Muara, Kecamatan Teluknaga. Jari jemarinya tekun merajut jala. Sejak usia 17 tahun Andi bergelut sebagai nelayan tradisional di Desa Muara. Meski mengeluhkan hal yang sama seperti Nawawi, sementara ini ia memilih tetap bertahan hidup dari tangkapan melaut.
"Sudah warisan orang tua kerja seperti ini," kata Andi.
Setiap hari Andi menjala udang peci ke laut. Ia biasa memulai pekerjaannya pukul 02.00 hingga 08.00 WIB. Dulu sebelum adanya proyek PIK 2, udang peci hasil tangkapan Andi bisa mencapai tiga hingga empat kilogram. Satu kilogram udang peci dihargai tengkulak Rp50 ribu.
"Tapi sekarang dapat sekilo aja susah," keluhnya.
Tak jarang Andi tekor. Setelah berjam-jam menjala ia tak dapat tangkapan sama sekali. Padahal sekali jalan Andi perlu mengocek uang Rp40 ribu untuk bensin dan rokok.
"Kalau begini terus paling nanti cari kerjaan serabutan aja di pasar atau jadi kuli bangunan," tuturnya.
Lain cerita dengan Andi, Samad (62) memilih bertahan menjadi nelayan tradisional karena hanya itu satu-satunya yang bisa dilakukan. Walaupun sebenarnya ia bersedia melakukan pekerjaan lain.
"Saya sih mau aja jadi kuli. Angkutin andukan atau apa kek. Tapi kan mereka nggak mungkin nerima saya karena udah tua," katanya.
Penghasilan nelayan tradisional yang semakin tak menentu ini membuat Samad terpaksa sering berutang ke warung untuk makan sehari-hari.
"Ya tapi alhamdulillah warung di sini juga masih percaya sama saya," ucapnya.
Keluhan akibat dampak pembangunan PIK 2 tidak hanya datang dari para nelayan. Tapi juga dari kalangan perempuan atau ibu-ibu. Mida (35) istri Andi mengeluh kerap kerepotan akibat banjir rob. Walaupun sebelum adanya pembangunan PIK 2 banjir rob sudah terjadi, tapi tak sesering saat ini.
"Kalau sekarang lebih sering. Bisa setinggi 30 cm," keluhnya.
Sama seperti warga Desa Muara lain, Mida pasrah jika memang harus direlokasi ke Kampung Tanjungan. Selain karena sering terdampak banjir rob, mau tak mau ia ikut berpindah karena tempat tinggalnya telah terhimpit proyek pembangunan.
"Jangankan orang hidup, orang mati aja (makam) disini digusur," selorohnya.
Negara Gagal
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau Kiara menyebut apa yang dirasakan Nawawi, Andi, Samad dan Mida merupakan kenyataan pahit yang sering dirasakan nelayan dan perempuan pesisir akibat dampak pembangunan yang tak ramah terhadap ruang hidup mereka.
Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati mengatakan, negara atas nama pembangunan dan investasi acap kali mengabaikan dampak sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan nelayan dan orang-orang pesisir.
Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10 Tahun 2010 telah menjamin hak konstitusional nelayan tradisional. Misalnya hak untuk melintas atau akses, hak untuk mengelola sumber daya sesuai kaidah budaya dan kearifan tradisional, dan hak untuk mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih.
"Jadi apa yang terjadi di Teluknaga sebenarnya itu adalah kegagalan negara melihat pembangunan," kata Susan kepada Suara.com, Kamis (17/10).
Susan juga menilai negara tidak pernah menjalankan mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Satu-satunya yang dijalankan hanya berupa pemberian asuransi kepada nelayan yang digratiskan selama 1-2 tahun saja.
Menurut Susan negara semestinya memiliki perhatian lebih terhadap kelompok nelayan tradisional dan perempuan pesisir yang berada di ruang kritis seperti ini. Misalnya dengan memberikan asuransi BPJS Ketenagakerjaan gratis.
"Harusnya negara punya skema untuk mengurus hal-hal seperti ini. PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) gede-gede tapi kemudian kawan-kawan yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil ini tidak pernah merasakan dampak yang signifikan. Kalau PNBP besar mereka tetap saja semakin sulit untuk bisa berdaya apalagi kawan-kawan yang sudah berusia lanjut," tutur Susan.
Cerita yang disampaikan Samad nelayan lansia di Desa Muara, menurut Susan contoh yang memprihatinkan akibat ketidakhadiran negara memberi jaminan hidup bagi warga pesisir.
"Selama ini negara nggak pernah hadir dalam urusan seperti ini. Negara hanya hadir untuk merampok saja dengan proyek-proyek betonisasi. Tapi untuk ngurusin nelayan agar bisa berdaulat dan sejahtera itu negara nggak pernah hadir," katanya.
Sementara itu, Suara.com telah berupaya mengubungi Corporate Secretary & Shareholder Relations PT Pantai Indah Dua Tbk, Christy Grassela untuk mengkonfirmasi persoalan warga yang terdampak proyek PIK tersebut. Namun sampai berita ini diterbitkan, tak ada respons dari PIK 2.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.