Yang Luput Dibicarakan dari Kasus Kekerasan Seksual di Panti di Tangerang: Pemulihan dan Pendampingan Korban
Home > Detail

Yang Luput Dibicarakan dari Kasus Kekerasan Seksual di Panti di Tangerang: Pemulihan dan Pendampingan Korban

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Jum'at, 18 Oktober 2024 | 14:38 WIB

Suara.com - Sudirman (49) Yusuf Bachtiar (30) dan Yandi Supriyadi (28), kini memang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan seksual yang terjadi di Panti Asuhan Darussalam An’nur. Nama pertama ialah pemilik panti, sedangkan dua lainnya merupakan penjaga panti asuhan. 

Hingga kini, delapan orang—baik anak-anak maupun dewasa—telah menjadi korban dugaan kekerasan seksual oleh ketiga pelaku. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah, mengingat kejahatan ini telah berlangsung lama. Belakangan juga diketahui Yusuf dan Yandi, yang kini berstatus pelaku, diduga juga merupakan korban dari Sudirman. 

Lantas, mengapa rantai kekerasan seksual ini terus terjadi dan sulit untuk diputus?  

Psikolog anak, Novita Tandry, menjelaskan bahwa anak-anak korban kekerasan seksual berisiko menjadi pelaku, terutama jika mereka tidak mendapatkan pendampingan psikologis. Saat memasuki fase-fase penting, mulai dari remaja hingga dewasa muda, anak-anak menghadapi berbagai perubahan. 

Tersangka kasus pencabulan di Panti Asuhan Darussalam An'Nur, Kota Tangerang, Bante. [Istimewa]
Tersangka kasus pencabulan di Panti Asuhan Darussalam An'Nur, Kota Tangerang, Bante. [Istimewa]

Tanpa dukungan psikologis yang memadai, pengalaman traumatis seperti kekerasan seksual dapat terulang kembali dalam ingatan mereka saat mencapai akil balig. Pendampingan psikologis sangat penting selama fase ini karena anak-anak sedang dalam proses mencari identitas diri mereka.

"Jadi pada saat remaja, itu proses mencari jati diri dan identitas diri. Dan itu (ingatan pernah menjadi korban kekerasan seksual) yang pertama kali keluar," kata Novita kepada Suara.com.

Psikolog Novita Tandry menekankan bahwa langkah pertama adalah menjauhkan anak dari pelaku. Namun, pemulihan korban juga sangat penting. Sayangnya, dalam beberapa kasus kekerasan seksual, stigma dan anggapan bahwa hal itu adalah aib membuat anak kesulitan mendapatkan pertolongan. Akibatnya, mereka sering kali dianggap baik-baik saja, padahal trauma yang dialami sangat mendalam.

Dewan Pengurus Pusat Bidang Edukasi, Sosialisasi dan Hak Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak atau Komnas PA juga mengungkapkan bahwa 95 persen anak korban kekerasan seksual berpotensi menjadi pelaku jika tidak mendapatkan pendampingan psikologis yang memadai. 

Dia mencontohkan kasus sodomi di Sukabumi pada 2014, di mana Andri Sobari alias Emon melakukan sodomi terhadap sekitar 120 anak sejak 2005. Saat persidangan, Emon mengaku pernah menjadi korban sodomi di masa kecilnya.

Pada 2016, Polresta Sukabumi menangkap anak berinisial J (15) yang diduga mencabuli enam temannya, dan J diketahui sebagai salah satu korban Emon. 

Oleh karena itu, terkait kasus di Kota Tangerang, Novita menekankan pentingnya pendampingan jangka panjang dari psikolog dan psikiater bagi para korban. Proses pemulihan bisa memakan waktu lama, dan pendamping perlu peka terhadap tanda-tanda gangguan mental yang mungkin dialami. Mengingat sulitnya mencapai pemulihan 100 persen, perhatian dan dukungan yang tepat sangatlah krusial.

 Fokus Hukum Pelaku, Abai Terhadap Pemulihan Korban

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Bahaluddin Surya, menyampaikan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, fokus narasi lebih sering pada penghukuman pelaku daripada pemulihan korban. Surya menambahkan bahwa di Indonesia belum ada mekanisme yang jelas terkait pemulihan bagi korban. Dia juga menyinggung keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam konteks ini.

"Walaupun LPSK itu kan sudah cukup lama, tapi memang perannya itu enggak begitu banyak disupport gitu, apalagi sama pemerintah gitu. Dan kewenangannya juga sedikit kan," kata Surya kepada Suara.com.

Tersangka pencabulan di Panti Asuhan Darussalam An'Nur, Kota Tangerang, Banten [Istimewa]
Tersangka pencabulan di Panti Asuhan Darussalam An'Nur, Kota Tangerang, Banten [Istimewa]

Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) pada 22 April 2024, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), menurut Bahaluddin Surya sebenarnya bisa menjadi  tonggak sejarah positif bagi pemulihan korban kekerasan seksual.

Perpres UPTD PPA memuat sejumlah pasal yang berfokus pada kebutuhan korban, termasuk layanan psikososial, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan reintegrasi sosial. Selain itu, peraturan ini juga mengidentifikasi kebutuhan penampungan sementara untuk korban dan keluarganya, serta kebutuhan pemberdayaan ekonomi.

Namun, Perpres ini juga mencakup banyak pasal teknis yang mengamanatkan penerbitan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai pedoman operasional. Meskipun UPTD PPA sudah ada, bentuk layanan yang diterapkan masih bervariasi di setiap daerah, tergantung pada ketersediaan layanan psikologis dan dinamika kebutuhan korban.

Oleh karena itu, ICJR mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk segera menerbitkan peraturan menteri yang mengatur teknis operasional Perpres UPTD PPA.

"Kalaupun memang mau dibentuk nantinya, usulan kami memang lebih memperhatikan situasi-situasi yang ada di daerah. Dan kebutuhan yang di daerah," kata Surya.

Menanti Kesiapan Kerangka Hukum

Pemerintah memang telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2024 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 22 April 2024. Peraturan ini menjamin hak korban kekerasan seksual terkait penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Menurut Menteri PPPA Bintang Puspayoga, Perpres ini memperkuat Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dengan tata kelola yang jelas.

Pemerintah juga telah menyepakati pembentukan tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres), di mana lima di antaranya diprakarsai oleh Kemen-PPPA dan dua oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dua peraturan turunan UU TPKS dari Kemenkumham adalah RPP tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Rancangan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum serta Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.

Sementara itu, lima peraturan turunan dari Kemen-PPPA mencakup RPP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban TPKS, serta RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban TPKS.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA mengakui bahwa peraturan pencegahan dan pemulihan belum sepenuhnya ada. Ia menjelaskan bahwa proses pencegahan dan pemulihan secara terpadu diperkuat melalui RPP Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Penanganan, Pelindungan, serta Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RPP 4P TPKS), yang saat ini telah rampung dan hanya menunggu tanda tangan presiden.

“Ya ini kalau di pemerintahan ini kan tinggal hari ini kita menunggu saja, tapi kalau tidak, tinggal pak Prabowo untuk mengambil tindakan,” ujar Nahar.


Terkait

Korban Tewas Gempa Myanmar Naik Jadi 1.700, Pusat Kremasi di Mandalay Sampai Kewalahan
Senin, 31 Maret 2025 | 12:53 WIB

Korban Tewas Gempa Myanmar Naik Jadi 1.700, Pusat Kremasi di Mandalay Sampai Kewalahan

Gempa 7,7 SR di Myanmar tewaskan 1.700 jiwa, 3.400 luka, 300 hilang. Bangunan runtuh di Bangkok, guncangan terasa hingga China.

Myanmar-Thailand Diguncang Gempa, Kemlu RI: hingga saat Ini Belum Ada Korban WNI
Jum'at, 28 Maret 2025 | 20:32 WIB

Myanmar-Thailand Diguncang Gempa, Kemlu RI: hingga saat Ini Belum Ada Korban WNI

Gempa dilaporkan merusak sejumlah infrastruktur di Mandalay, termasuk Old Sagaing Bridge yang runtuh sehingga memutus akses antara wilayah Mandalay dengan Sagaing.

Success Story Wali Kota Tangerang Sachrudin: Perjalanan Honorer Jadi Orang Nomor Satu di Tangerang
Jum'at, 28 Maret 2025 | 13:39 WIB

Success Story Wali Kota Tangerang Sachrudin: Perjalanan Honorer Jadi Orang Nomor Satu di Tangerang

Success Story Wali Kota Tangerang Sachrudin ini menceritakan perjalanannya sejak menjadi honorer di RS Sitanala hingga menjadi Wali Kota Tangerang.

Update Kasus Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada: Komnas HAM Ungkap Temuan Baru, Apa Itu?
Kamis, 27 Maret 2025 | 19:08 WIB

Update Kasus Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada: Komnas HAM Ungkap Temuan Baru, Apa Itu?

Di awal bulan Juni 2024, Fajar meminta F agar dibawakan seorang anak perempuan yang berusia balita dengan alasan menyukai dan menyayangi anak kecil

Terbaru
Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba
polemik

Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba

Minggu, 30 Maret 2025 | 21:45 WIB

Harapan untuk Timnas Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2026 masih ada. Patrick Kluivert diminta untuk tidak coba-coba formasi demi hasil maksimal.

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu polemik

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu

Sabtu, 29 Maret 2025 | 11:06 WIB

Apa yang menjadi tuntutan VISI dan AKSI untuk segera diselesaikan melalui Revisi UU Hak Cipta?

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL polemik

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL

Jum'at, 28 Maret 2025 | 22:56 WIB

Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers! polemik

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers!

Jum'at, 28 Maret 2025 | 14:21 WIB

Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi? polemik

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi?

Jum'at, 28 Maret 2025 | 08:26 WIB

Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah polemik

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah

Kamis, 27 Maret 2025 | 17:41 WIB

Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat! polemik

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat!

Kamis, 27 Maret 2025 | 11:59 WIB

Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.