Suara.com - Sudirman (49) Yusuf Bachtiar (30) dan Yandi Supriyadi (28), kini memang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan seksual yang terjadi di Panti Asuhan Darussalam An’nur. Nama pertama ialah pemilik panti, sedangkan dua lainnya merupakan penjaga panti asuhan.
Hingga kini, delapan orang—baik anak-anak maupun dewasa—telah menjadi korban dugaan kekerasan seksual oleh ketiga pelaku. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah, mengingat kejahatan ini telah berlangsung lama. Belakangan juga diketahui Yusuf dan Yandi, yang kini berstatus pelaku, diduga juga merupakan korban dari Sudirman.
Lantas, mengapa rantai kekerasan seksual ini terus terjadi dan sulit untuk diputus?
Psikolog anak, Novita Tandry, menjelaskan bahwa anak-anak korban kekerasan seksual berisiko menjadi pelaku, terutama jika mereka tidak mendapatkan pendampingan psikologis. Saat memasuki fase-fase penting, mulai dari remaja hingga dewasa muda, anak-anak menghadapi berbagai perubahan.
Tanpa dukungan psikologis yang memadai, pengalaman traumatis seperti kekerasan seksual dapat terulang kembali dalam ingatan mereka saat mencapai akil balig. Pendampingan psikologis sangat penting selama fase ini karena anak-anak sedang dalam proses mencari identitas diri mereka.
"Jadi pada saat remaja, itu proses mencari jati diri dan identitas diri. Dan itu (ingatan pernah menjadi korban kekerasan seksual) yang pertama kali keluar," kata Novita kepada Suara.com.
Psikolog Novita Tandry menekankan bahwa langkah pertama adalah menjauhkan anak dari pelaku. Namun, pemulihan korban juga sangat penting. Sayangnya, dalam beberapa kasus kekerasan seksual, stigma dan anggapan bahwa hal itu adalah aib membuat anak kesulitan mendapatkan pertolongan. Akibatnya, mereka sering kali dianggap baik-baik saja, padahal trauma yang dialami sangat mendalam.
Dewan Pengurus Pusat Bidang Edukasi, Sosialisasi dan Hak Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak atau Komnas PA juga mengungkapkan bahwa 95 persen anak korban kekerasan seksual berpotensi menjadi pelaku jika tidak mendapatkan pendampingan psikologis yang memadai.
Dia mencontohkan kasus sodomi di Sukabumi pada 2014, di mana Andri Sobari alias Emon melakukan sodomi terhadap sekitar 120 anak sejak 2005. Saat persidangan, Emon mengaku pernah menjadi korban sodomi di masa kecilnya.
Pada 2016, Polresta Sukabumi menangkap anak berinisial J (15) yang diduga mencabuli enam temannya, dan J diketahui sebagai salah satu korban Emon.
Oleh karena itu, terkait kasus di Kota Tangerang, Novita menekankan pentingnya pendampingan jangka panjang dari psikolog dan psikiater bagi para korban. Proses pemulihan bisa memakan waktu lama, dan pendamping perlu peka terhadap tanda-tanda gangguan mental yang mungkin dialami. Mengingat sulitnya mencapai pemulihan 100 persen, perhatian dan dukungan yang tepat sangatlah krusial.
Fokus Hukum Pelaku, Abai Terhadap Pemulihan Korban
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Bahaluddin Surya, menyampaikan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, fokus narasi lebih sering pada penghukuman pelaku daripada pemulihan korban. Surya menambahkan bahwa di Indonesia belum ada mekanisme yang jelas terkait pemulihan bagi korban. Dia juga menyinggung keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam konteks ini.
"Walaupun LPSK itu kan sudah cukup lama, tapi memang perannya itu enggak begitu banyak disupport gitu, apalagi sama pemerintah gitu. Dan kewenangannya juga sedikit kan," kata Surya kepada Suara.com.
Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) pada 22 April 2024, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), menurut Bahaluddin Surya sebenarnya bisa menjadi tonggak sejarah positif bagi pemulihan korban kekerasan seksual.
Perpres UPTD PPA memuat sejumlah pasal yang berfokus pada kebutuhan korban, termasuk layanan psikososial, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan reintegrasi sosial. Selain itu, peraturan ini juga mengidentifikasi kebutuhan penampungan sementara untuk korban dan keluarganya, serta kebutuhan pemberdayaan ekonomi.
Namun, Perpres ini juga mencakup banyak pasal teknis yang mengamanatkan penerbitan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai pedoman operasional. Meskipun UPTD PPA sudah ada, bentuk layanan yang diterapkan masih bervariasi di setiap daerah, tergantung pada ketersediaan layanan psikologis dan dinamika kebutuhan korban.
Oleh karena itu, ICJR mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk segera menerbitkan peraturan menteri yang mengatur teknis operasional Perpres UPTD PPA.
"Kalaupun memang mau dibentuk nantinya, usulan kami memang lebih memperhatikan situasi-situasi yang ada di daerah. Dan kebutuhan yang di daerah," kata Surya.
Menanti Kesiapan Kerangka Hukum
Pemerintah memang telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2024 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 22 April 2024. Peraturan ini menjamin hak korban kekerasan seksual terkait penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Menurut Menteri PPPA Bintang Puspayoga, Perpres ini memperkuat Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dengan tata kelola yang jelas.
Pemerintah juga telah menyepakati pembentukan tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres), di mana lima di antaranya diprakarsai oleh Kemen-PPPA dan dua oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dua peraturan turunan UU TPKS dari Kemenkumham adalah RPP tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Rancangan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum serta Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.
Sementara itu, lima peraturan turunan dari Kemen-PPPA mencakup RPP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban TPKS, serta RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban TPKS.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA mengakui bahwa peraturan pencegahan dan pemulihan belum sepenuhnya ada. Ia menjelaskan bahwa proses pencegahan dan pemulihan secara terpadu diperkuat melalui RPP Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Penanganan, Pelindungan, serta Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RPP 4P TPKS), yang saat ini telah rampung dan hanya menunggu tanda tangan presiden.
“Ya ini kalau di pemerintahan ini kan tinggal hari ini kita menunggu saja, tapi kalau tidak, tinggal pak Prabowo untuk mengambil tindakan,” ujar Nahar.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.