Saat Para 'Wakil Tuhan' Tuntut Keadilan atas Kesejahteraan Hidup
Home > Detail

Saat Para 'Wakil Tuhan' Tuntut Keadilan atas Kesejahteraan Hidup

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Senin, 07 Oktober 2024 | 10:31 WIB

Suara.com - Budi—bukan nama sebenarnya—sudah jadi hakim sejak 2020. Penugasannya di sebuah pengadilan negeri di Sumatera memaksanya meninggalkan keluarga di Jawa Barat. Sesuai aturan, hakim muda harus ditempatkan di luar Jawa dan Bali pada awal karier.

Hidup jauh dari istri dan bayi mereka bukan keputusan mudah. Salah satu alasan utama adalah fasilitas kesehatan di tempat Budi bertugas belum memadai untuk imunisasi dan kontrol kesehatan rutin anaknya. Budi sendiri juga kesulitan karena asuransi hakim yang ia miliki tidak diterima di banyak fasilitas kesehatan di daerah tersebut.

Budi berusaha pulang setiap tiga bulan sekali, meskipun perjalanannya juga tidak muda. Ia harus menempuh lebih dari 10 jam untuk mencapai bandara di ibu kota provinsi yang berjarak 485 kilometer. Alternatif bandara terdekat masih berjarak sekitar 6 hingga 7 jam. Sering kali, ia harus menginap di hotel agar tidak tertinggal pesawat. Semua ini memakan biaya hingga Rp 5 juta pulang-pergi.

Ilustrasi pengadilan. (shutterstock)
Ilustrasi pengadilan. (shutterstock)

Sebagai hakim golongan IIIA, Budi mendapatkan penghasilan sekitar Rp 12 juta per bulan, termasuk upah pokok dan tunjangan. Namun, menurutnya, ini tak cukup. Penghasilannya harus dibagi untuk kebutuhan dirinya di tempat tugas dan keluarga di Jawa Barat. Apalagi, ia harus menyewa rumah seharga Rp 10 juta per tahun karena rumah dinas hakim penuh.

Tidak tinggal di rumah dinas membuat Budi khawatir soal keamanan, terutama karena beberapa kasus yang ditanganinya sangat sensitif. Di rumah dinas, setidaknya ada jaminan keamanan, sementara di rumah sewa, ia merasa lebih rentan. 

Budi terus menjalani keseharian dengan rasa khawatir, berusaha menjalankan tugasnya sebaik mungkin sambil merindukan keluarganya yang jauh di sana.

Masalah keuangan semakin menghimpit Budi, karena penghasilan utamanya sebagai hakim menjadi satu-satunya tumpuan keluarga. Meski begitu, ia tetap berusaha menjaga integritas dalam menjalankan tugasnya. Budi sering menghadapi upaya intervensi, terutama di daerah tempatnya bertugas yang dipenuhi tambang ilegal.

"Di awal, memang ada intervensi. Tapi saya ambil sikap tegas. Setelah itu, mereka paham posisi saya dan tidak berani lagi," ujarnya kepada Suara.com.

Persoalan Hakim Gelar Cuti Bersama. (Tim Grafis/Suara.com)
Persoalan Hakim Gelar Cuti Bersama. (Tim Grafis/Suara.com)

Kondisi yang dialami Budi bukan hal baru bagi hakim muda, terutama yang ditempatkan di daerah terpencil. Budi mendukung rencana cuti bersama para hakim pada 7-11 Oktober mendatang. Menurutnya, seorang hakim harus mendapat kepastian hidup layak dan aman agar bisa menjaga independensi serta menghadapi tekanan, baik dari tawaran suap maupun ancaman.

Sekretaris Bidang Advokasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Djuyamto, juga menyuarakan hal serupa.

 "Kalau baik-baik saja, kami tidak akan mengambil langkah seperti ini," katanya.

Djuyamto menambahkan, para hakim, terutama di daerah pelosok, menghadapi berbagai tantangan. Akses transportasi dan biaya tinggi untuk pulang ke kampung menjadi salah satu beban.

Selain itu, layanan kesehatan yang minim membuat hakim harus mengeluarkan biaya ekstra untuk berobat ke kota terdekat. Beban kerja yang berat, seperti persidangan dari pagi hingga malam, dan membaca ribuan halaman materi, membuat kesehatan mereka rentan terganggu.

Keluhan ini sudah beberapa kali disampaikan kepada pemerintah. Bahkan, pada 2018, hakim mengajukan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim ke Mahkamah Agung. MA mengabulkan beberapa tuntutan, tetapi hingga kini belum ada realisasi atas putusan tersebut.

Terhimpit Inflasi Tapi Upah Tak Mencukupi

Menurut Solidaritas Hakim Indonesia, selama 12 tahun terakhir upah dan tunjangan hakim hampir tidak mengalami kenaikan, sementara inflasi terus melonjak. Sebagai perbandingan, harga emas naik dari Rp 584.200 per gram pada 2012 menjadi Rp 1.443.000 per gram pada September 2024.

Akibatnya, banyak hakim seperti Budi terpaksa meninggalkan keluarganya di kampung halaman karena biaya hidup di tempat tugas yang tinggi. Meski ada tunjangan mutasi, nilainya dianggap terlalu kecil.

Gerakan cuti bersama hakim menjadi bentuk protes untuk menuntut revisi Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012, yang mengatur upah dan tunjangan berdasarkan golongan dan masa kerja. Sebab, upah yang mereka terima jauh dari layak. 

Berikut rincian upah berdasarkan golongan:

  • Golongan III A: Rp 2.064.000-Rp 3.929.700
  • Golongan III B: Rp 2.151.400-Rp 4.047.600
  • Golongan IV E: Rp 2.875.200-Rp 4.978.000

Tunjangan Hakim Tingkat Pertama:

  • Ketua: Rp 17.500.000-Rp 27.000.000
  • Hakim Pratama: Rp 8.500.000-Rp 14.000.000

Hakim berharap revisi aturan ini segera terealisasi agar upah dan tunjangan mereka lebih mencukupi di tengah inflasi yang terus meningkat.

Tuai Pro dan Kontra

Djuyamto memperingatkan bahwa kesejahteraan hakim yang rendah dapat mengancam integritas mereka. 

"Jika kebutuhan hidup tidak terpenuhi, ada risiko hakim dipengaruhi oleh pihak luar, yang membahayakan independensi mereka," ujarnya.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mendukung tuntutan para hakim. Menurutnya, kesejahteraan mereka krusial karena mereka menjalankan tugas menghadirkan keadilan. Meski upah tinggi tak menjamin integritas penuh, setidaknya itu bisa mengurangi potensi penyimpangan.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. [Suara.com/Welly Hidayat]
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. [Suara.com/Welly Hidayat]

Ketua ILUNI UI, Rapin Mudiardjo, menambahkan bahwa kesejahteraan hakim tidak sekadar soal finansial, tapi juga krusial untuk memastikan hakim dapat bekerja secara profesional dan adil. 

"Ini bukan hanya soal kompensasi, tapi komitmen negara untuk menjaga pondasi keadilan," tegasnya.

Sementara itu, Pakar hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, menilai rencana cuti serentak para hakim tidak bijaksana karena akan mengorbankan masyarakat yang mencari keadilan. "Ini justru mengorbankan masyarakat," katanya kepada Suara.com.

Menurut Aan, aksi ini akan menunda proses peradilan, sementara masyarakat sangat membutuhkan kecepatan dan kepastian hukum, terutama bagi terdakwa dan pihak yang terlibat dalam sengketa perdata.

Aan mengakui pentingnya kesejahteraan hakim untuk menjaga integritas, namun menurutnya, perjuangan ini bisa dilakukan melalui jalur lain, seperti lobi kebijakan ke pemerintah. "Ada cara lain, bukan dengan cuti serentak," tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa upah tinggi tak menjamin hakim bebas dari korupsi, seperti kasus Hakim Agung Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati, serta Akil Mochtar dari MK yang terjerat suap. 

"Profesi apapun, dengan ketulusan, integritas tidak akan terganggu hanya karena pendapatan," ujarnya, menambahkan bahwa dialog dengan pemerintah adalah solusi tanpa mengorbankan rasa keadilan masyarakat.

Bukan Cuma Soal Tunjangan

Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Suharto, menyatakan pimpinan MA akan bertemu perwakilan hakim yang merencanakan cuti bersama pada Senin, 7 Oktober. 

"Semoga perwakilan Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Hukum dan HAM juga bisa berdialog dengan mereka," ujarnya kepada Suara.com.

Suharto menegaskan, cuti adalah hak pegawai negeri yang bisa diambil kapan saja selama tersedia, asalkan tidak mengganggu jalannya sidang.

Sementara itu, Komisi Yudisial (KY) mendukung peningkatan kesejahteraan hakim. KY menekankan bahwa hakim, sebagai personifikasi negara dalam kekuasaan kehakiman, berhak atas pemenuhan keuangan dan fasilitas yang mendukung independensinya. 

"KY dan MA berkomitmen untuk terus mendorong hal ini," ujar Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata.

Pada 27 September, KY sudah bertemu dengan Kementerian Keuangan untuk membahas gaji, tunjangan, pensiun, dan fasilitas lainnya bagi hakim. KY juga akan menginisiasi forum dengan MA, Bappenas, dan Kemenkeu untuk menindaklanjuti tuntutan hakim.

Sementara itu, The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam keterangan resminya menyoroti pentingnya kesejahteraan hakim untuk menjamin independensi dan kualitas peradilan. 

Mereka mencatat, sesuai dengan Prinsip Dasar Kemerdekaan Peradilan (Basic Principles on the Independence of the Judiciary), setiap hakim berhak atas jaminan independensi, keamanan, remunerasi yang layak, layanan, pensiun, dan usia pensiun yang sesuai.

Kurangnya kesejahteraan bagi hakim akan mengurangi independensi dan kualitas mereka. Remunerasi yang tidak sesuai dengan tanggung jawab membuat hakim lebih rentan terhadap intervensi dan sulit bagi Mahkamah Agung untuk menarik hakim berkualitas. 

“Kesejahteraan ini bukan hanya soal gaji dan tunjangan, tetapi juga soal menjaga integritas dan martabat hakim,” demikian kata ICJR dalam keterangannya. 


Terkait

Program Makan Bergizi Gratis Tak Hanya Jadi Solusi untuk Stunting tapi Juga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 19:28 WIB

Program Makan Bergizi Gratis Tak Hanya Jadi Solusi untuk Stunting tapi Juga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Program ini tidak hanya memastikan asupan gizi yang cukup bagi anak-anak, tetapi juga mendukung partisipasi pendidikan dan kesehatan mereka.

Jadi Cabup Indramayu, Lucky Hakim ke Daerah Berspanduk Tolak Kedatangannya, Terjadi Hal Tak Terduga
Jum'at, 04 Oktober 2024 | 07:20 WIB

Jadi Cabup Indramayu, Lucky Hakim ke Daerah Berspanduk Tolak Kedatangannya, Terjadi Hal Tak Terduga

Setelah sebelumnya mundur dari jabatan Wabup, Lucky Hakim maju sebagai Calon Bupati Indramayu bersamaSyaefudin.

Terbaru
Review M3GAN 2.0: Kembalinya Cegil dalam Tubuh Robot yang jadi Makin Dewasa!
nonfiksi

Review M3GAN 2.0: Kembalinya Cegil dalam Tubuh Robot yang jadi Makin Dewasa!

Sabtu, 28 Juni 2025 | 09:05 WIB

M3GAN 2.0 nggak lagi serem seperti film pertamanya.

Logika 'Nyeleneh': Ketika UU Tipikor Dianggap Bisa Jerat Pedagang Pecel Lele di Trotoar polemik

Logika 'Nyeleneh': Ketika UU Tipikor Dianggap Bisa Jerat Pedagang Pecel Lele di Trotoar

Kamis, 26 Juni 2025 | 19:08 WIB

"Tapi saya yakin tidak ada lah penegakan hukum yang akan menjerat penjual pecel lele. Itu tidak apple to apple," ujar Zaenur.

Penyiksaan Demi Pengakuan: Praktik Usang Aparat yang Tak Kunjung Padam polemik

Penyiksaan Demi Pengakuan: Praktik Usang Aparat yang Tak Kunjung Padam

Kamis, 26 Juni 2025 | 14:36 WIB

Setiap tindak penyiksaan harus diberikan hukuman yang setimpal dan memberi jaminan ganti rugi terhadap korban serta kompensasi yang adil, jelas Anis.

Dari Tambang ke Dapur Bergizi: Gerakan NU Bergeser, Kritik Pemerintah Jadi Tabu? polemik

Dari Tambang ke Dapur Bergizi: Gerakan NU Bergeser, Kritik Pemerintah Jadi Tabu?

Kamis, 26 Juni 2025 | 08:41 WIB

Kerja sama tersebut menghilangkan daya kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat.

2 Juta Lapangan Kerja dari Koperasi Prabowo: Ambisius atau Realistis? polemik

2 Juta Lapangan Kerja dari Koperasi Prabowo: Ambisius atau Realistis?

Rabu, 25 Juni 2025 | 21:34 WIB

Angka ini sangat ambisius apabila dilihat dari track record koperasi kita, kata Jaya.

Marcella Mengaku, Marcella Membantah; Upaya Membelokan Nalar Kritis di Ruang Publik polemik

Marcella Mengaku, Marcella Membantah; Upaya Membelokan Nalar Kritis di Ruang Publik

Rabu, 25 Juni 2025 | 18:34 WIB

Pengakuan Marcella Soal Biaya Narasi Penolakan RUU TNI dan "Indonesia Gelap" Dinilai Berbahaya: Membuat Kelompok Masyarakat Sipil Semakin Rentan

Suara Profetik Lintas Iman Menolak PSN Merauke: Penjarahan Berkedok Pembangunan polemik

Suara Profetik Lintas Iman Menolak PSN Merauke: Penjarahan Berkedok Pembangunan

Rabu, 25 Juni 2025 | 14:10 WIB

Proyek tersebut tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusian dan adab," kata Busyro.