Suara.com - Majelis Permusyawaratan Rakyat mencabut nama Presiden RI ke-2 Soeharto dari Ketetapan atau TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Keputusan MPR RI itu menuai kritik keras dari berbagai kalangan masyarakat.
MPR dinilai berupaya mengaburkan sejarah kelam rezim orde baru dan menghapus dosa besar Soeharto di masa lalu. Sebuah langkah mundur, mengkhianati perjuangan reformasi.
***
SETELAH beberapa tahun gagal karena menuai kritik dari aktivis dan kalangan masyarakat, upaya Golkar mencabut nama Soeharto dari TAP MPR No.XI/MPR/1998 akhirnya disepakati dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR periode 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 25 September 2024. Partai berlogo pohon beringin itu telah lama mengupayakannya demi memuluskan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengungkap keputusan mencabut nama Soeharto dalam TAP MPR No.XI/MPR/1998 memang tindak lanjut dari permintaan fraksi Partai Golkar. Namun ia mengklaim telah disepakati seluruh fraksi di MPR.
Walakin mencabut nama Soeharto, Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN secara yuridis masih berlaku. Namun terkait status proses hukum terhadap Soeharto sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 TAP MPR No.XI/MPR/1998 dianggap telah selesai.
"Karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," jelas Bamsoet.
Ketua fraksi Partai Golkar di MPR, Idris Laena selaku pemohon menyambut baik putusan MPR. Ia menilai TAP MPR tersebut pada dasarnya memang bersifat regeling (pengaturan) yang sepatutnya menjadi produk hukum yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa perlu mencantumkan nama Soeharto.
"Sangat tidak patut jika suatu produk hukum yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi mencantumkan nama individu warga negara di dalamnya," kata Idris kepada wartawan, Kamis (26/9/2024).
TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN diteken Ketua MPR Harmoko pada 13 November 1998. Dalam Pasal 4 tertulis secara eksplisit nama Soeharto. Di mana pasal tersebut mengamanatkan; upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.
Pada 31 Maret 2000, Soeharto sempat menyandang status tersangka atas kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan dana tujuh yayasan sosial senilai Rp1,7 triliun dan US$ 419 juta selama periode 1978-1998. Perkara ini ditangani oleh Kejaksaan Agung. Ketujuh yayasan itu di antaranya; Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Perkara Soeharto tersebut kemudian dilimpahkan ke pengadilan pada Agustus 2000. Namun upaya menghadirkan penguasa Orba Baru itu ke meja hijau selalu gagal.
Sampai pada akhirnya Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2006 menyatakan pemerintah tidak akan melanjutkan perkara ini karena alasan kesehatan Soeharto. Kejaksaan Agung lalu menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara atau SKP3 Soeharto demi hukum atas pertimbangan kesehatan. Keputusan tersebut diterbitkan pada 11 Mei 2006.
Pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR No.XI/MPR/1998 menurut Idris semakin memperjelas status hukum Soeharto yang telah dinyatakan selesai oleh Kejaksaan Agung. Atas dasar itu ia mendorong supaya jasa dan pengabdian Soeharto selama memimpin Indonesia dapat diberikan penghargaan yang layak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Anggota fraksi PDI Perjuangan di MPR, Adian Napitupulu menyampaikan pandangan berbeda. Meski Sekretaris fraksi PDIP di MPR, TB Hasanuddin dalam Sidang Paripurna MPR terakhir mengatakan mendukung usulan fraksi Partai Golkar.
Adian berpandangan keputusan MPR mencabut nama Soeharto dari TAP MPR No.XI/MPR/1998 itu perlu dikaji kembali. Jangan sampai keputusan itu diartikan sebagai 'barter' karena MPR sebelumnya juga mencabut TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden RI ke-1 Soekarno.
Padahal posisi Soekarno bagi Adian tidak bisa disamakan dengan presiden-presiden lain. Sebab Soekarno bukan sekadar presiden, tetapi juga proklamator bangsa Indonesia.
"Gue keberatan kalau kemudian Bung Karno disamakan posisinya dengan presiden-presiden yang lain," kata Adian di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (25/9).
Sementara mantan aktivis 1998 dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Gunawan menilai proses hukum terhadap Soeharto secara politik dan hukum telah dihentikan atas alasan kesehatan.
"Jadi ini situasinya mirip filosofi Pak Harto terhadap Bung Karno, mikul duwur mendem jero," ungkap Gunawan kepada Suara.com, Kamis (26/9).
Pepatah Jawa 'mikul duwur mendem jero' itu menjelaskan tentang mengutamakan menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan harga diri, serta mengubur aib keluarga.
TAP MPR Gusdur dan Soekarno
Selain mencabut atau membersihkan nama Soeharto dalam TAP MPR No.XI/MPR/1998, MPR juga telah sepakat menyatakan TAP MPR No.II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi. Keputusan ini merupakan tindak lanjut atas permintaan fraksi Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB di MPR.
Pada 24 Agustus 2024, MPR telah lebih dahulu mencabut TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden RI ke-1 Soekarno. MPR mencabut TAP MPRS terkait Soekarno sebagai tindak lanjut atas TAP MPR Nomor I/MPR/2023 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Lewat pecabutan TAP MPRS ini nama baik Soekarno dipulihkan dari tudingan telah mendukung dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI.
Sekretaris fraksi PKB di MPR, Neng Eem Marhamah Zulfa mengklaim tak ada lobi-lobi antara fraksi partai poltik di balik pencabutan TAP MPR No.II/MPR/2001 tentang Gus Dur, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR No.XI/MPR/1998, dan pencabutan TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tentang Soekarno. Keputusan tersebut diakuinya diambil berdasar hasil musyawarah bersama para pimpinan MPR atas pertimbangan demi mewujudkan rekonsiliasi nasional.
"Nggak ada lobi-lobi. Kalau di MPR itu memang kita harus mengedepankan sikap kenegarawan," kata Eem kepada Suara.com, Kamis (26/9).
Eem menjelaskan, TAP MPR No.II/MPR/2001 tentang Gus Dur sebenarnya secara konstitusional sudah tidak berlaku sejak adanya TAP MPR Nomor I/MPR/2023. Seperti halnya dengan TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 tentang Soekarno. Adapun tujuan fraksi PKB menyampaikan permohonan ini, agar MPR mengeluarkan surat keputusan administratif terkait TAP MPR No.II/MPR/2001 yang sudah tidak berlaku lagi tersebut sebagai penegasan atas pemulihan nama baik Gus Dur. Surat keputusan administratif ini penting untuk jadikan landasan dikeluarkannya rekomendasi gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur.
Gelar pahlawan nasional menurut Eem pantas diberikan kepada Gus Dur karena pengabdian dan kontribusinya terhadap bangsa dan negara. Di mana Gus Dur selama menjabat sebagai presiden ke-4 sejak 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001 telah menginisiasi sekaligus mengawal proses reformasi dan membangun demokrasi serta mengembangkan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan negara.
"Kami minta surat itu karena perjuangan kami untuk Gus Dur mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional," ungkapnya.
Kaburkan Sejarah dan Khianati Reformasi
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai mencabut nama Soeharto dari TAP MPR No.XI/MPR/1998 merupakan upaya lancung untuk mengaburkan sejarah hitam Indonesia di masa Orde Baru. Sebab secara historis nama Soeharto disebut secara eksplisit dalam TAP MPR itu sebenarnya memiliki motivasi agar praktik korupsi sistemik dan abuse of power di masa Orde Baru tidak akan terulang lagi.
Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Yassar Aulia menyebut saking korupnya Soeharto bahkan didapuk oleh Transparency International (TI) sebagai “Pemimpin Negara Paling Korup Sedunia” melalui Global Corruption Report 2004. Dalam laporan itu TI mengungkap kekayaan Soeharto dari hasil korupsi selama 32 tahun menjabat sebagai presiden Indonesia mencapai US$ 15-35 miliar.
"Dalam konteks demikian, menjadi sangat berbahaya menghapus nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998," kata Yassar kepada Suara.com, Kamis (26/9).
Walaupun fakta pada akhirnya Soeharto bisa lolos dari jeratan hukum, Yassar menilai itu seharusnya menjadi catatan hitam dalam sejarah pemberantasan korupsi Indonesia. Di mana pemerintah telah gagal menegakkan salah satu amanat reformasi; yakni mengadili Soeharto.
Upaya 'pemutihan' nama Soeharto ini menurut Yassar juga perlu dikritisi lantaran terjadi di masa transisi Presiden Jokowi ke Presiden terpilih Prabowo Subianto yang memiliki relasi dengan Soeharto.
"Jangan sampai penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 didasari oleh konflik kepentingan yang dimiliki oleh Prabowo untuk sebisa mungkin memperbaiki citra dirinya dan andil keluarga Cendana atas kontribusi keduanya terhadap sejarah kelam Orde Baru sebelum Prabowo dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober mendatang," tuturnya.
Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyebut keputusan MPR mencabut nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 merupakan langkah mundur sekaligus pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi. Ia memprediksi keputusan MPR ini akan semakin mempersempit ruang masyarakat sipil yang bergerak di sektor anti korupsi dan korban pelanggaran HAM masa lalu.
Apalagi kekinian muncul kembali wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Pemberian gelar tersebut dinilai Usman sebagai bentuk pelecehan terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru yang terus berupaya menuntut keadilan.
"Jika itu diambil, ini jelas berpotensi menghianati reformasi 1998 yang berusaha menjamin tegaknya kebebasan politik dan keadilan sosial," tasdas Usman.
Demonstrasi tersebut dilakukan di trotoar Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Massa aksi itu didominasi perempuan dengan latar belakang berbeda.
Rentetan peristiwa dan kasus di Indonesia menggulirkan kembali semangat perjuangan masyarakat, membangkitkan karya sastra orba yang dulu sempat dibungkam dalam ketidakadilan.
Kekerasan terhadap jurnalis meningkat, termasuk teror ke Tempo dan kekerasan fisik saat demo RUU TNI. Pelaku didominasi aparat.
Ulang tahun Didit Prabowo dihadiri oleh para anak presiden yang kompak dihujat gegara berpesta di tengah gaduhnya pengesahan Revisi UU TNI.
Harapan untuk Timnas Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2026 masih ada. Patrick Kluivert diminta untuk tidak coba-coba formasi demi hasil maksimal.
Apa yang menjadi tuntutan VISI dan AKSI untuk segera diselesaikan melalui Revisi UU Hak Cipta?
Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.
Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.
Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.
Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.
Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.