Suara.com - Pasal karet Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE kembali memakan korban. Seorang buruh perempuan, Septia Dwi Pertiwi dikriminalisasi oleh mantan bosnya sendiri John LBF karena curhat di media sosial. Septia dituduh mencemarkan nama baik karena mengungkap pelanggaran hak ketenagakerjaan di perusahaan John LBF.
Meski telah direvisi yang kedua, masih ada sejumlah pasal karet dalam UU ITE mengancam kebebasan berekspresi. UU ITE juga masih menjadi langganan para pihak yang ingin membungkam suara-suara kritis.
***
ASEP duduk dengan cemas di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Kamis, 19 Agustus 2024. Pukul 15.00 WIB, sidang belum juga dimulai, majelis hakim belum ada, tapi Asep tak bergeming sedikit pun. Bagi Asep, hari itu adalah penentu apakah dia bisa menikah dengan pacarnya, Septia atau tidak.
“Persiapan sudah 100 persen. Undangan sudah disebar, wedding organizzer sudah siap. Semua sudah siap. Sidang ini jadi penentu pernikahan kami,” kata Asep kepada Suara.com.
Tini, ibu Septia juga sama. Hatinya tak bisa tenang. Dia mondar-mandir ke toilet karena merasa mulas menjelang sidang anaknya. Tini sudah datang sejak pukul 11.00 WIB. Tak terhitung sudah berapa kali dia ke toilet selama berjam-jam menunggu sidang dimulai.
Sementara itu, Septia duduk dengan tegak di kursi tunggu. Dia masih bisa melempar senyum saat disapa oleh orang-orang di sekitarnya. Bukannya tidak tegang, Septia hanya berusaha tegar seraya terus berdoa agar permohonan penangguhan penahanannya dikabulkan Majelis Hakim.
Septia didakwa dengan tuduhan pencemaran nama baik oleh John LBF. Dia dijerat denga Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 36 jo. Ia juga dijerat dengan Pasal 51 ayat (2), dan/atau Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP.
Septia tidak menyangka bahwa curhatannya di media sosial X pada 2022 silam membawanya ke perkara hukum. Dalam cuitannya, Septia mengungkapkan pelanggaran hak ketenagakerjaan di PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five), seperti upah di bawah UMR dan jaminan sosial yang tidak dibayarkan selama dia bekerja.
Cuitan itu sempat viral. Banyak warganet yang kaget karena pernyataan Septia itu jauh berbeda dengan citra yang ditampilkan John LBF selama ini di media sosial. Maklum, John LBF, mencitrakan diri sebagai bos yang ramah, baik dan sukses dalam memimpin perusahaan.
Kebakaran Jenggot, John LBF pun melaporkan Septia ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik pada Maret 2023. Meski tak merasa mencemarkan nama baik, Septia selalu patuh selama proses penyelidikan kepolisian.
Pada 26 Agustus 2024 misalnya, Septia dan tim kuasa hukumnya memenuhi panggilan Polda Metro Jaya untuk pemerikasaan kesehatan. Namun, tiba-tiba, surat penahanan dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terbit dan perempuan kelahiran 1997 itu pun dibawa langsung ke Rutan Pondok Bambu.
Kejaksaan berdalih penahanan dilakukan agar Septia tidak melarikan diri dan mengihilangkan barang bukti. Salah satu kuasa hukum Septia, Ganda M Sihite menyatakan, “alasan tersebut tidak berdasar.”
“Septia sangat menghormati proses hukum, sangat kooperatif juga. Setiap panggilan dari penyidik hadir, sehingga tidak relevan alasan jaksa itu,” kata Ganda. Hal itu dia sampaikan juga kepada Kejari hendak menahan Septia.
Namun, Kejari tetap memboyong Septia ke Rutan Pondok Bambu. Septia tak membawa apapun ke sana. Untungnya, Septia masih sempat mengirim pesan Whatsapp ke Asep dan Ibunya.
Asep tengah bekerja saat mendapat pesan dari Septia bahwa calon istrinya itu akan ditahan. Pikirannya kalang kabut, tak bisa lagi dipakai untuk bekerja. Dia langsung meminta izin ke atasannya untuk meninggalkan kantor.
Asep ngibrit ke rumah Septia, menjemput Tini. Mereka membawa semua perlengkapan Septia dengan sangat terburu-buru. Perlengkapan itu mereka bawa ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Sayangnya, Septia sudah dibawa ke Rutan Pondok Bambu saat mereka sampai di sana. Asep dan Tini pun langsung tancap gas lagi ke rutan demi bertemu Septia. Keduanya sangat terpukul. Baik Tini maupun Asep, tak pernah lagi bisa tidur nyenyak setelah penahanan Septia itu.
Septia juga setres minta ampun. “Kepikiran tentang masalah meeting sama wedding organizzer (WO), fitting baju, keluarga,” kata Septia saat ditemui Suara.com di PN Jakpus.
Dia juga kepikiran ibunya yang harus rutin melakukan pemeriksaan kesehatan ke rumah sakit. Saking setresnya, Septia selalu memaksakan diri tidur selama mungkin di dalam sel.
“Aku mikirnya semoga ini mimpi. Terus aku selalu kebangun berdoa, ‘ya Allah, semoga besok pulang.’ Aku selalu kayak gitu, kayak kebangun, ya Allah besok pulang. Ya Allah, semoga besok keluar dari sini,” ujarnya.
Problematik sejak awal
Satu hari setelah Septia dibawa ke Rutan Pondok Bambu, yakni pada 27 Agustus 2024, tim kuasa hukumnya mengajukan permohonan penangguhan penahanan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan itu semula akan diputuskan setelah sidang perdana Septia di PN Jakpus pada 10 September 2024 dengan agenda pembacaan dakwaan. Namun sidang ditunda dan dijadwalkan ulang pada 17 September 2024.
Tim kuasa hukum Septia menilai persidangan pada 17 September 2024 cukup problematik. Majelis hakim dianggap mengulur-ulur waktu persidangan. Semula sidang diagendakan pukul 13.00 WIB, namun ditunda menjadi pukul 15.00 WIB. Selain itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga tidak melampirkan bukti tuntutan.
Setelah pembacaan dakwaan, sidang dilanjutkan pada 19 September dengan agenda pembacaan eksepsi dari tergugat dan keputusan permohonan penangguhan penahanan. Sidang ini juga molor, dari yang seharusnya digelar pukul 13.00 WIB. Namun, pukul 15.00 WIB, sidang belum juga dilangsungkan. Padahal sidang ini sangat ditunggu-tunggu oleh Asep, Septia dan ibunya.
Majelis hakim memasuki ruangan sidang lewat pukul 15.00 WIB. Tak lama setelah itu, Septia dan kuasa hukumnya dipersilakan memasuki arena sidang. Saat itu, eksepsi Septia belum siap, sehingga agenda sidang hanya pembacaan putusan permohonan penangguhan penahanan.
“Menimbang bahwa dengan demikian permohonan penangguhan penahanan atas terdakwa dikabulkan,” kata Ketua Hakim sidang di depan Septia yang duduk di kursi pesakitan menggunakan kemeja putih dan hijab hitam.
“Menetapkan, mengabulkan permohonan pemohon, mengalihkan terdakwa Septia menjadi tahanan kota sejak tanggal 19 September sampai 1 Oktober 2024,” lanjutnya. diiringi tepuk tangan tamu sidang.
Septia dan ibunya keluar dari ruang sidang dan berpelukan. Tini tak henti-hentinya mengucap rasa syukur. Dia juga memeluk kuasa hukum Septia, seraya mengucapkan terima kasih. Berkali-kali juga Tini bertanya, “Septia enggak ditahan kan?”
Setelah berpelukan dengan Tini, Septia dibawa ke ruang tahanan wanita yang berada di basement PN Jakpus. Tini pun bersama rombongan teman-teman Septia menyusul ke sana. Tini langsung kembali memeluk Septia, mereka bergantian saling mencium pipi di depan sel tahanan.
“Gak nyangka akan dikabulin. Keadilan masih berpihak aku. Alhamdulillah,” ujar Septia usai penahanannya ditangguhkan.
Selain bisa kembali berkumpul dengan keluarga, Septia juga senang akhirnya dia tak perlu mengubah rencana apapun dengan Asep. Mereka tetap melangsungkan pernikahan pada 21 September, di hari ulang tahun Septia.
“Senang gitu sih. Jadi, majelis hakim masih bisa memberikan kesempatan aku sama calon aku untuk melakukan pernikahan di tanggal 21 September yang sebenarnya udah kita rencanain dari jauh-jauh hari,” ucapnya.
Meski sementara, Septia tak berhenti bersyukur. Dia berharap dalam sidang putusan kasusnya nanti, majelis hakim bisa memberikan rasa keadilan terhadap dirinya dan keluarga. Septia merasa dia bukan penjahat. Septia hanya mengungkapkan ketidakadilan dalam kekenagakerjaan lewat cuitan di platform sosial media X.
Kuasa Hukumnya, Gema Gita Persada menjamin Septia akan patuh pada ketentuan selama menjadi tahanan kota. Dia menyebut Septia akan memenuhi kewajiban lapor dan tidak akan menghindar selama proses hukum berlangsung.
“Yang menjadi syarat-syarat sebuah penangguhan penahanan sudah kami penuhi sehingga apabila nanti Septia datang ke persidangan, kami menjamin bahwa dia kooperatif,” kata Gema.
Harus dibebaskan
Gema menilai kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilayangkan John LBF kepada Septia tidak seharusnya dibawa hingga ke meja hijau. Dia menyebut kasus ini akan menjadi preseden buruk jika majelis hakim nantinya memutus Septia bersalah. Ini juga akan menambah daftar kriminalisasi menggunakan UU ITE.
Menurutnya ada yang lebih penting untuk diproses yaitu dugaan pelanggaran hak ketenagakerjaan yang dilakukan oleh John LBF.
“Jadi kami berharap putusan hakim kelak dapat menimbulkan keadilan,” kata Gema.
Berdasarkan laporan SAFEnet, terdapat 393 orang dikriminalisasi dengan pasal-pasal UU ITE sepanjang 2013 sampai 2021. Sementara berdasarkan situs registrasi Mahkamah Agung, sepanjang 2011 sampai 2018 terdapat 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE. Perkara-perkara tersebut kebanyakan berkaitan dengan pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dan 28 ayat (2) mengenai ujaran kebencian.
SAFEnet juga menelusuri kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE sejak 2016 hingga Februaru 2020. Hasil penelusurannya menunjukan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen (676 perkara).
Sederet pasal bermasalah dalam UU ITE tak hentinya dikritik oleh akademisi dan aktivis. Mereka juga telah menyerahkan daftar pasal bermasalah itu saat revisi kedua UU ITE. Namun, hasil revisi kedua UU ITE yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada awal 2024 itu masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses informasi.
DPR juga menambah ketentuan baru lewat pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Kemudian, Pasal 27B tentang ancaman pencemaran.
UU ITE juga sudah 15 kali diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sepanjang 2008 hingga 2023. Belasan gugatan itu ingin MK menguji ulang pasal-pasal bermasalah. Namun, tak ada satupun yang dinyatakan oleh hakim bahwa pasal-pasal bermasalah itu inkonstitusional.
Imbasnya, kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE terus berulang. Berdasarkan data dari Laporan Pemantauan Situasi Hak-Hak Digital di Indonesia Triwulan I dan Triwulan II 2024 yang dilakukan SAFEnet, pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital terus mengalami peningkatan. Pada triwulan I (Januari-Maret).
Terdapat setidaknya 30 kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE dengan jumlah terlapor atau korban sebanyak 52 orang. kemudian, pada triwulan II (April-Juni) tercatat kasus kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi menggunakan undang-undang tersebut sebanyak 48 kasus dengan 45 korban.
“Dalam kurun waktu setengah tahun saja, telah tercatat sebanyak 78 kasus kriminalisasi dengan UU ITE,” tulis SAFEnet dalam laporannya.
SAFEnet menilai UU ITE harus direvisi total dan pasa-pasal bermasalah tersebut seharusnya dihapus. Dengan demikian, tidak ada lagi kasus pidana atas pasal-pasal karet dalam UU ITE.
Kontributor : Rosmanah Ningsih
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.