Senin, 01 Jan 2024
Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya? Home > Detail

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Bimo Aria Fundrika | Muhammad Yasir

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Suara.com - Kepulan asap pekat membumbung tinggi di langit malam Suralaya, Cilegon, Banten. Asap itu keluar dari cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa 9 dan 10 yang baru saja menjalani uji coba mesin pada Senin malam, 9 September 2024. Di kejauhan, cerobong itu tampak seperti raksasa yang menghembuskan napas panasnya ke udara. 

Gambaran itu nampak dalam sebuah video yang sempat viral di Twitter. Trend Asia, organisasi masyarakat sipil di bidang transformasi energi, mencatat bahwa PLTU dengan kapasitas 2.000 MW—hampir 50% dari total kapasitas PLTU Suralaya unit 1-8—direncanakan beroperasi penuh pada Oktober 2024 dan April 2025.

Padahal, data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak. 

Oversupply sendiri adalah kondisi kelebihan pasokan listrik yang tidak seimbang dengan permintaan. Kelebihan listrik ini harus ditampung oleh PLN. Meski penting untuk menjaga ketahanan listrik, kondisi ini justru menyebabkan kerugian besar bagi Indonesia. Akibatnya, PLN diprediksi merugi Rp 12 triliun, atau Rp 3 triliun per gigawatt listrik yang tidak terpakai. 

Kerugian ini pangkalnya ialah skema take or pay (ToP), yang mewajibkan PLN membeli listrik dari pembangkit swasta (IPP) meskipun tidak diserap konsumen.

Skema ini diterapkan sejak krisis 1998 untuk menarik investor membangun pembangkit listrik. Dalam skema ini PLN harus membeli listrik sesuai kontrak awal. Misalnya, jika PLN setuju membeli 80 gigawatt, tapi hanya butuh 70 gigawatt, mereka tetap harus membayar untuk 80 gigawatt. Tanpa perubahan signifikan, oversupply listrik diprediksi mencapai 41 GW pada 2030. 

“Sama sekali tidak ada urgensi untuk terus membangun PLTU Jawa 9 dan 10. Kebutuhan listrik di daerah tersebut sudah terpenuhi dan jaringan listrik Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan,” ujar Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri. 

Pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 sejak awal dikritik oleh organisasi masyarakat sipil. Trend Asia mencatat, ekspansi ini telah menyebabkan pengusiran, penggusuran, dan merusak mata pencarian warga. Selain tidak diperlukan karena pasokan energi di grid Jawa-Bali sudah oversupply, proyek ini juga memperburuk dampak sosial dan lingkungan akibat penggunaan batubara.

Indri menilai, ekspansi ini hanya akan menghancurkan masyarakat setempat dan membawa dunia semakin dekat pada bencana iklim. Laporan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) tahun 2023 mengungkap dampak kualitas udara Kompleks PLTU Suralaya diprediksi akan menyebabkan ribuan kematian dini dan berkontribusi melepaskan 250 juta metrik ton CO2 ke atmosfer. 

Keliru dan Ambisius

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo. [Antara]
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo. [Antara]

PLTU Suralaya 9 dan 10 adalah bagian dari mega proyek pembangkit 35.000 MW yang dimulai pada 2015, dengan target selesai awalnya 2019, tetapi kini mundur hingga 2026. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI pada 5 Juli 2023, menjelaskan bahwa proyek ini awalnya didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8% yang tidak tercapai, akibat dampak pandemi Covid-19.

Novita Indri mengatakan pembangunan proyek 35 GW ini sejak awal menggunakan titik acuan yang keliru atau tidak berdasar perhitungan matang. Presiden Joko Widodo atau Jokowi menurutnya terlalu ambisius dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi 7 sampai 8 persen yang dijadikan titik acuan pembangunan mega proyek pembangkit 35 GW tersebut. 

"Kita melihat status sekarang grid Jawa-Bali itu sudah oversupply. Kendati seperti itu PLTU Jawa 9 dan 10 tidak dihentikan atau tetap dibangun. Kenapa? Karena investasinya sudah masuk," kata Indri kepada Suara.com, Selasa (17/8/2024). 

PLTU Jawa 9 dan 10  dikendalikan oleh PT Indonesia Power melalui perusahaan patungannya atau joint venture bersama Barito Pacific Group bernama PT Indo Raya Tenaga atau IRT. PT IRT merupakan Special Purpose Company atau SPC yang khusus dibentuk untuk mengelola proyek ini. Kepemilikan PLTU Jawa 9 dan 10 sebesar 51 persen dikuasai oleh PT Indonesia Power. Sedangkan dan 49 persennya dimiliki Barito Pacific Group.  

Direktur Operasi PT Indoraya Tenaga, Yudianto Permono pada 2019 lalu mengungkap total investasi pengembangan PLTU Jawa 9 dan 10 mencapai US$ 3,5 miliar atau Rp 49 triliun (kurs Rp14.000). Struktur pembiayaannya 50 persen oleh Korea Trade Insurance Corporation (K-sure) dan The Export-Import Bank of Korea (Korean Exim/K-Exim).

Indri berpendapat bahwa pemerintah seharusnya berani menghentikan beberapa proyek PLTU meskipun sudah dalam tahap pencarian investor atau PPA, meski ada risiko denda. Keputusan ini dianggap lebih baik daripada terus membangun PLTU yang memperburuk dampak sosial, lingkungan, dan oversupply listrik.

Kementerian ESDM telah meluncurkan berbagai program untuk mengatasi oversupply listrik, seperti insentif kendaraan listrik, konversi LPG 3 kg ke kompor listrik, dan distribusi rice cooker. Namun, Indri menilai bahwa program-program ini menunjukkan kurangnya rencana mitigasi dari pemerintah. Alih-alih mengurangi pasokan energi, pemerintah malah mendorong peningkatan konsumsi yang membebani masyarakat.

"Secara logika itu justru akan menambahkan beban buat masyarakat. Kita sebagai masyarakat dipaksa untuk meningkatkan konsumsi listrik lebih banyak," jelasnya.  

Klaim Ramah Lingkungan 

Ilustrasi polusi udara (Pexels.com/Natalie Dmay)
Ilustrasi polusi udara (Pexels.com/Natalie Dmay)

PT IRT mengklaim bahwa PLTU Jawa 9 dan 10 menggunakan teknologi ultra supercritical (USC) buatan Korea Selatan, yang lebih efisien dan rendah emisi karbon. Selain itu, mereka mengaplikasikan teknologi flue gas desulfurization (FGD) untuk mengurangi emisi sulfur oksida (SOx), electrostatic precipitator (ESP) untuk menurunkan emisi partikulat, dan selective catalytic reduction (SCR) untuk mengurangi emisi nitrogen oksida (NOx).

PLTU ini juga menjadi yang pertama di Indonesia yang menggantikan 60% batu bara dengan amonia dan hidrogen hijau sebagai bahan bakar. Langkah ini diklaim sejalan dengan target Net Zero Emission (NZE) 2060 yang fokus pada energi terbarukan.

Namun,Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo menyebut bahwa meski teknologi USC mengurangi emisi karbon dibandingkan supercritical biasa, emisi per-kilowatt hour (kWh) masih lebih tinggi, yakni 800-1.000 gCO2/kWh, dibandingkan pembangkit gas atau BBM yang sekitar 500 gCO2/kWh.

"Apalagi jika dibandingkan pembangkit energi terbarukan 0 emisi karbon/kWh. Jadi jangan dibingungkan istilah rendah karbon ini dan dianggap setara dengan pembangkit energi terbarukan," jelas Deon kepada Suara.com, Rabu (18/9/2024).  

Sementara teknologi FGD, ESP dan SCR menurutnya memang sudah jadi persyaratan untuk setiap PLTU. PT IRT menurutnya juga harus menyampaikan secara terbuka data aktual monitoring nilai polutan setelah PLTU Jawa 9 dan 10 itu nantinya beroperasi.   

"Catatan lain, standar polutan Indonesia rendah dibandingkan negara lain termasuk China dan India. Jadi sekadar memenuhi standar batas ambang polutan Indonesia sebenarnya masih jauh dari cukup," imbuhnya. 

Deon juga mengungkap bahwa penggunaan amonia hijau sebagai bahan bakar pengganti batu bara atau co-firing selain sangat mahal justru dapat memperburuk polutan. Di mana amonia ketika bereaksi dengan SO2 dan NO2 di atmosfer akan membentuk aerosol PM2.5.   

"Energi alternatif yang ramah lingkungan itu dengan harga murah sudah jelas alternatifnya adalah energi terbarukan. Kami melihat menghentikan operasi PLTU dengan biaya early retirement-nya (daripada co-firing) dan mengganti ke energi terbarukan solusi paling cost-effective dalam mengurangi emisi dan juga polusi udara yang ditimbulkan PLTU," tegasnya. 

Senada dengan Deon, Indri menilai penggunaan 40 persen batubara sebagai bahan bakar PLTU Jawa 9 dan 10 juga tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebab angka tersebut masih terbilang besar dengan dampak buruk sosial dan lingkungannya. Apalagi klaim penggunaan amonia dan hidrogen hijau lebih ramah lingkungan juga belum bisa dibuktikan.

"Kami merasa it hanya baru sebatas klaim selama pihak perusahaan belum bisa membuktikan itu secara faktual, secara datanya, pengukurannya dan segala macemnya, ya kami pun juga tidak akan mempercayai itu," tutur Indri. 

Siapa di Balik PLTU Jawa 9 dan 10

Di tengah dampak yang melanda warga, Pena Masyarakat, organisasi lingkungan hidup yang fokus pada isu-isu lingkungan di Banten juga mempertanyakan untuk siapa proyek PLTU Jawa 9 dan 10. Menurut Direktur PENA Masyarakat, Mad Haer Effendi proyek tersebut tidak membawa manfaat bagi masyarakat Suralaya.

Lalu, siapa yang benar-benar diuntungkan dari proyek PLTU Suralaya 9 dan 10?

Seperti disebutkan sebelumnya, PLTU Jawa 9 dan 10  dikendalikan oleh PT Indonesia Power melalui perusahaan patungannya atau joint venture bersama Barito Pacific Group bernama PT Indo Raya Tenaga atau IRT. PT IRT merupakan Special Purpose Company atau SPC yang khusus dibentuk untuk mengelola proyek ini. Kepemilikan PLTU Jawa 9 dan 10 sebesar 51 persen dikuasai oleh PT Indonesia Power. Sedangkan dan 49 persennya dimiliki Barito Pacific Group.  

Prajogo Pangestu [SuaraKalbar.id/barito-pacific.com]
Prajogo Pangestu [SuaraKalbar.id/barito-pacific.com]

Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2020 berjudul 'Siapa di Balik Pembangkit Listrik?', Prajogo Pangestu, Komisaris Utama PT IRT dan pemilik mayoritas saham PT Barito Pacific, adalah salah satu individu utama di balik proyek ini.

Menurut Forbes The Real Time Billionaires, pada 30 Desember 2023, Prajogo Pangestu adalah orang terkaya kedua di Indonesia dengan kekayaan mencapai US$54,3 miliar (Rp835,67 triliun). Prajogo bahkan pernah menjadi orang terkaya pertama di Indonesia pada 27 Desember 2023, mengalahkan Low Tuck Kwong dari Bayan Group dan R Budi Hartono serta Michel Hartono dari Djarum Group.

Sementara dalam laporan terbaru ICW dan Trend Asia bertajuk 'Menandai untuk Menunda' yang diterbitkan Juni 2024 menyebut Prajogo sebagai orang terkaya di Indonesia. Konglomerat bisnis energi dan petrokimia itu memiliki kekayaan sebesar US$ 61,8 miliar atau setara hampir Rp1.000 triliun. 

Pada akhir tahun 2023, PT Barito Pacific yang mayoritas sahamnya dimiliki Prajogo mengakuisisi perusahaan tambang batu bara PT Multi Tambangjaya Utama dari PT Indika Energy dengan nilai US$ 218 juta (sekitar Rp3,5 triliun). 

Perusahaan tambang yang akan memasok batubara ke PLTU Jawa 9 dan 10 hingga kekinian memang belum diketahui. Namun muncul dugaan pemasok tersebut bisa jadi nantinya merupakan perusahaan yang memiliki afiliasi dengan PT Barito Pacific.  

"Dugaan kami ya kemungkinan tidak akan jauh dari kongsi-kongsi perusahaan-perusahaan itu yang mungkin punya afiliasi dengan Barito Pacific yang secara langsung ataupun tidak," ungkap Indri. 

Suara.com berusaha menghubungi pihak PT Barito Pacific melalui Head of Corporate Communication Barito Pacific, Angelin Sumendap, untuk memberikan tanggapan terhadap sejumlah kritik yang dilontarkan oleh organisasi masyarakat sipil. Angelin mengarahkan Suara.com untuk menghubungi pihak PT Indo Raya Tenaga. Suara.com juga telah mengirimkan beberapa pertanyaan. Namun hingga tulisan ini diturunkan masih belum ada respon dari pihak terkait. 

Perlawanan Warga

Warga Banten tidak tinggal diam. Pada 13 September 2024, mereka resmi mengajukan pengaduan ke Compliance Advisor Ombudsman (CAO) terhadap Grup Bank Dunia, yang secara tidak langsung mendukung pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10. Proyek ini akan memperluas kompleks PLTU Suralaya dan memperburuk dampak kesehatan serta lingkungan bagi masyarakat setempat.

Pengaduan tersebut diajukan oleh perwakilan masyarakat Suralaya bersama PENA Masyarakat, Trend Asia, Inclusive Development International, dan Recourse. Mereka menyoroti keterlibatan International Finance Corporation (IFC), anak usaha Bank Dunia, yang berinvestasi US$15,36 juta melalui Hana Bank Indonesia. Mereka menuntut penghentian proyek PLTU dan kompensasi adil atas kerugian yang dialami masyarakat sekitar.

Pengaduan ke CAO menyoroti kegagalan IFC dalam mengawasi kliennya, Hana Bank Indonesia, yang terlibat dalam proyek batubara Jawa 9 dan 10. Meskipun IFC memiliki Green Equity Approach yang seharusnya mendorong investasi untuk mengatasi perubahan iklim dan mengurangi penggunaan batu bara, mereka masih mendanai proyek berbasis batubara.

Sarah Jaffe dari Inclusive Development International menegaskan bahwa dukungan untuk ekspansi batubara bertentangan dengan misi IFC dan standar lingkungan serta sosial Bank Dunia. IFC diminta untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut dan memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi.

Meskipun IFC telah berkomitmen untuk tidak mendanai proyek batu bara baru, Hana Bank Indonesia masih dapat melanjutkan pendanaan untuk PLTU Jawa 9 dan 10. 

Proyek-proyek tersebut membuat Grup Bank Dunia berseberangan dengan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership) Indonesia, sebuah inisiatif senilai US$20 miliar yang didanai oleh koalisi negara-negara maju dan para pemberi pinjaman global untuk membantu Indonesia mempercepat peralihan dari batu bara ke sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan.

“Dukungan terhadap PLTU Jawa 9 dan 10 sangat bertentangan dengan misi Bank Dunia – PLTU tersebut akan memperburuk, bukan mengurangi, dampak kemiskinan dan perubahan iklim. Kegagalan IFC untuk mencegah kliennya mendanai dua PLTU baru yang masif di tengah keadaan darurat iklim global ini melemahkan komitmennya terhadap Perjanjian Paris tentang perubahan iklim,” ujar Kate Geary, Co-director Recourse. 

Terbaru
Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?
polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu

Menantu Hingga Anak Jokowi di Pusaran Dugaan Gratifikasi: Masihkah KPK Punya Taji? polemik

Menantu Hingga Anak Jokowi di Pusaran Dugaan Gratifikasi: Masihkah KPK Punya Taji?

Jum'at, 13 September 2024 | 09:54 WIB

Pada prosesnya nanti, KPK harus mengusut pihak yang memberikan dan memastikan maksud pemberian dugaan gratifikasi itu.

Babak Baru Seteru PKB-PBNU: Cak Imin dan Gus Yahya Semakin Jauh dari Titik Temu polemik

Babak Baru Seteru PKB-PBNU: Cak Imin dan Gus Yahya Semakin Jauh dari Titik Temu

Kamis, 12 September 2024 | 17:32 WIB

Dinamika ini mengundang pertanyaan besar: benarkah tidak ada konflik di balik layar?

Senyap di Dunia Maya, Kaesang dan Erina Terancam Gagal Jadi Ikon Pop Culture polemik

Senyap di Dunia Maya, Kaesang dan Erina Terancam Gagal Jadi Ikon Pop Culture

Kamis, 12 September 2024 | 14:05 WIB

diramaikan isu gaya hidup mewah istri Kaesang Pangarep yang dinilai tone deaf dengan keadaan bangsa