Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara


Suara.com - Kasus tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak makin di luar nalar. Terbaru terjadi di Palembang, Sumatera Selatan; perempuan berinisial AA (13) dibunuh lalu dirudapaksa empat anak di bawah umur secara bergilir. Kondisi ini dianggap sebagai gejala anomie. Persoalan berlapis yang tak cukup diselesaikan lewat pemenjaraan!

***

Suara.com - Sosiolog Perancis, Emile Durkheim dalam bukunya Suicide (1897) menjelaskan anomie sebagai sebuah kondisi di mana nilai-norma telah hancur atau tak berlaku lagi di masyarakat. Sehingga menimbulkan berbagai macam perilaku penyimpangan. 

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat. Sementara tinggi rendahnya kadar anomie berkelindan dengan seberapa cepat dan besarnya perubahan sosial itu terjadi. 

Peneliti Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) Rusydi Syahra dalam jurnal berjudul 'Anomie di Tengah Perubahan Sosial' yang terbit tahun 2000, menjelaskan, dalam perubahan sosial yang terjadi perlahan masyarakat akan dapat memberi makna dan menyesuaikan diri.

Terlebih jika perubahan itu masih dalam batas kerangka dan sistem nilai sosial-budaya yang menjadi dasar pedoman perilakunya. 

Namun sebaliknya, bila perubahan itu sedemikian besar dan berlangsung cepat, maka perangkat norma dan nilai yang dimiliki masyarakat tidak akan mampu menjadi alat pemberi makna atas perubahan yang terjadi. Akibatnya, banyak individu atau kelompok dalam masyarakat gelagapan dan teralienasi dari lingkungan hidupnya sendiri. Keadaan seperti ini bisa menimbulkan tingkat anomie yang cukup parah. 

Rusydi mengatakan tidak dimilikinya sistem nilai yang kompatibel guna menentukan sikap dan perilaku terhadap perubahan situasi tersebut akan menyebabkan orang merasa tidak yakin atas tindakan yang mereka lakukan salah atau benar. Sehingga prilaku agresif baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain akan dengan mudah terjadi. 

Kriminolog Anak dari Universitas Indonesia (UI) Haniva Hasna sependapat dengan pendapat tersebut. Ia menyebut kondisi anomie kerap terjadi di wilayah tempat tinggal padat penduduk atau slum area yang mayoritas kelas ekonominya berada di garis kemiskinan.

Di mana pengawasan dan perhatian orang tua dalam menanamkan nilai-norma kehidupan kepada anak-anaknya juga cenderung minim.

"Orang tua mereka ini hidupnya telah dibebani pikiran besok makan apa," kata Haniva kepada Suara.com, Kamis (12/9/2024).

Daerah slum dengan kondisi anomie umumnya memiliki tingkat kejahatan yang tinggi. Kasus pembunuhan dan rudapaksa yang dilakukan empat anak di bawah umur terhadap AA diketahui terjadi di Kecamatan Sukarami. Satu dari tiga kecamatan yang masuk dalam kategori wilayah dengan angka kriminalitas tertinggi di Palembang. 

Haniva menyebut wilayah dengan gejala anomie tersebut semestinya menjadi perhatian bersama. Terutama pemerintah daerah yang memiliki tanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. 

"Jadi jangan cuma membersihkan sungai dan memperbaiki gapura. Itu memang penting. Tapi bersihkan generasi itu juga lebih penting. Karena ini sumber kerusakan," beber Haniva. 

Ilustrasi korban kejahatan anak. [commons wikimedia]
Ilustrasi korban kejahatan anak. [commons wikimedia]

Pornografi

"Ini adalah salah satu bentuk kenakalan remaja yang cukup ekstrem," kata Kepala Bagian Psikologi Bidang SDM Polda Sumatera Selatan AKBP Suparyono, Senin (9/9/2024).

Hasil penyelidikan polisi menemukan fakta bahwa AA terlebih dahulu dibunuh sebelum dirudapaksa secara bergiliran. Terduga pelaku utama atau dalangnya ialah IS (16) yang tidak lain merupakan kekasih korban. 

Kasus kejahatan yang dilakukan anak di luar nalar ini terjadi di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Talang Krikil, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami, Palembang, pada Sabtu, 31 Agustus 2024. Tiga rekan IS yang ikut terlibat, yakni MZ (13), NS (12), dan AS (12). 

Polisi menyebut IS melakukan kejahatan ini karena nafsu terpengaruh film porno. Sejumlah bukti film-film porno ditemukan penyidik di dalam telepon genggam atau HP miliknya.

Haniva menilai perlu perhatian khusus dari pemerintah untuk mencegah anak terpapar pornografi.

Sebab hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja pada tahun 2021 mengungkap persentase anak laki-laki yang telah terpapar atau pernah menyaksikan konten bermuatan seksual secara daring mencapai 66 persen. Sedangkan anak perempuan sebesar 63,2 persen. 

"Ini kondisi genting, namanya tsunami moral. Karena anak-anak hampir semua itu sudah terkontaminasi pornografi," ungkap Haniva. 

Dampak kerusakan otak akibat paparan konten pornografi bagi anak-anak diketahui melebihi dari narkoba. Bagian otak yang rusak itu bernama pre-frontal cortex.

American Psychological Association (APA) menjelaskan pre-frontal cortex merupakan bagian terdepan dari cerebral cortex di otak manusia. Pre-frontal cortex bertanggung jawab dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku manusia seperti perhatian atau attention, perencanaan atau planning, memori kerja atau working memory, pengekspresian emosi, serta perilaku sosial yang berkaitan dengan norma di masyarakat.

Haniva menyebut anak-anak yang terus-menerus terpapar konten pornografi maka fungsi otak pre-frontal cortex akan mengecil. 

"Kondisi otak yang rusak tadi itu struktur otaknya mengecil, fungsinya nggak ada, moral dan nilainya nggak ada. Ya maka dia akan melakukan hal-hal amoral," jelas Haniva. 

Penjara Bukan Solusi

Kasus pembunuhan dan rudapaksa di Palembang ini semakin memperpanjang daftar anak korban kekerasan seksual dan anak berhadapan dengan hukum atau ABH. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak atau Simfoni PPA sepanjang Januari-Agustus 2024 menunjukkan angka kekerasan terhadap anak mencapai 10.597 dengan rincian; 3.378 korban laki-laki dan 8.332 perempuan.

Karakteristik pelaku kekerasaan seksual secara mayoritas merupakan orang dekat korban.

Sementara jumlah ABH menunjukkan tren peningkatan pada tahun 2020-2023. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (DitjenPAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kemenkumham per 26 Agustus 2023 mencatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum.

Sebanyak 1.467 di antaranya berstatus tahanan dan menjalani proses peradilan. Sedangkan 526 anak lainnya tengah menjalani hukuman sebagai narapidana. 

Komisioner KPAI Dian Sasmita menilai kasus kekerasan seksual di Palembang yang dilakukan ABH perlu penanganan khusus sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Perilaku pelanggaran hukum oleh anak menurutnya juga perlu dilihat dari banyak aspek. Terutama yang berpengaruh besar terhadap kehidupan anak; seperti lingkungan keluarga, sosial, serta pendidikan. 

"Apakah anak terpapar dengan kekerasaan, atau perilaku salah lainnya. Hal ini perlu ditelusuri," kata Dian kepada Suara.com, Jumat (13/9/2024).

Karena itu Dian menyoroti pentingnya peran aktif dari Pembimbing Pemasyarakatan Balai Pemasyarakatan atau PK Bapas dalam melakukan pendampingan, penelitian, hingga pengawasan terhadap ABH. Sehingga aparat penegak hukum mendapat gambaran lebih utuh terkait situasi anak.

"KPAI juga berharap masyarakat dan media dapat lebih bijaksana dengan tidak menyebarluaskan identitas anak, baik korban, saksi, dan anak berkonflik hukum," katanya.

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) II Jakarta. [Suara.com/Rakha]
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) II Jakarta. [Suara.com/Rakha]

Dalam kasus ini Polrestabes Palembang telah menahan IS. Sedangkan tiga ABH lainnya yang masih di bawah usia 14 tahun, yakni MZ, NS, dan AS diserahkan ke  Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) Panti Sosial Rehabilitasi Anak Berhadapan dengan Hukum (PSRABH) Dharmapala, Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Dalam Pasal 32 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan, penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berusia 14 tahun. Kemudian ancaman pidananya di atas 7 tahun penjara. 

Keputusan pihak kepolisian tak menahan MZ, NS, dan AS yang merujuk Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak atau UU SPPA itu sempat memicu amarah publik. Sebab mereka menuntut para ABH ditahan dan dihukum berat agar kasus serupa tak terulang kembali. 

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sekaligus anggota Aliansi Penghapusan Kekerasan terhadap Anak atau PKTA, Bahaluddin Surya memahami kemarahan publik atas kasus ini dan penanganannya.

Namun, menurutnya, publik termasuk orangtua, aparat penegak hukum dan pemerintah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan tumbuh kembang anak —di bawah 18 tahun— tidak menjadikan pemenjaraan dan hukuman berat sebagai solusinya. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya dinamika keluarga dan faktor sosial berkaitan dengan tumbuh kembang anak memberikan pengaruh anak melakukan tindak pidana. Di mana anak yang tumbuh pada keluarga yang mengekspresikan afeksi, kasih sayang, pemberian semangat dan apresiasi, menjadi lebih tidak rentan melakukan perbuatan penyimpangan sosial. Sedangkan anak yang mengalami penelantaran berisiko lebih tinggi terlibat dalam tindak pidana.

Di sisi lain apa yang terjadi di Palembang bagi Bahaluddin semakin menunjukkan pentingnya pendidikan seksualitas yang komprehensif bagi anak dan remaja. Sehingga anak dan remaja dapat mengelola perubahan fisik dan emosional, termasuk selama masa pubertas dan remaja. 

"Aliansi PKTA mengingatkan hukuman yang lebih berat bukanlah solusi dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan anak," kata Bahaluddin kepada Suara.com, Jumat (13/10/2024).

Infografis kasus hukum anak. [Suara.com/Ema Rohimah]
Infografis kasus hukum anak. [Suara.com/Ema Rohimah]

Berdasar Data Statistik Pemasyarakatan Tahun 2022, terjadi kelebihan kapasitas pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Rumah Tahanan (Rutan) di Indonesia dengan persentase sebesar 105 persen.

Narasi penghukuman menurut diyakini Bahaluddin hanya membuat semakin banyak ABH di penjara tanpa mengedepankan pendidikan. 

"Saat ini penjara anak sudah mengalami kelebihan beban, pun dalam rentang waktu tersebut kekerasan dilakukan oleh anak terus terjadi. Dengan demikian kita patut mengkritisi efektivitas penjara dalam mendukung pembinaan dan reintegrasi anak yang berkonflik dengan hukum," tuturnya.

Bahaluddin lantas menyinggung pentingnya implementasi Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak atau STRANAS PKTA.

Kebijakan ini memandatkan pemerintah untuk berkoordinasi dan menjalankan tujuh strategi untuk menghapus kekerasan terhadap anak.

Ketujuh strategi tersebut di antaranya: penyediaan kebijakan, pelaksanaan regulasi, dan penegakan hukum; penguatan norma dan nilai anti Kekerasan; penciptaan lingkungan yang aman dari Kekerasan; peningkatan kualitas pengasuhan dan ketersediaan dukungan bagi orang tua/pengasuh; pemberdayaan ekonomi Keluarga Rentan; ketersediaan dan akses layanan terintegrasi; dan pendidikan kecakapan hidup untuk ketahanan diri anak.

Kasus yang terjadi di Palembang bagi Bahaluddin sudah sepatutnya jadi refleksi pemerintah dalam menilai sejauh mana telah menjalankan ketujuh strategi terkait penghapusan kekerasan terhadap anak.

Sebab apa yang terjadi di sana sangat besar terulang kembali jika pemerintah tidak secara bermakna melakukan implementasi STRANAS PKTA.

"Keadilan bagi korban dan keluarga adalah prioritas, namun solusi harus didasarkan pada pendekatan yang mengutamakan rehabilitasi anak."

"ABH seharusnya memperoleh pembinaan dan pendidikan yang tepat dan memadai, baik di lingkup keluarga, sekolah, pertemanan, maupun sosial masyarakat. Hal itu bertujuan untuk memastikan anak dapat kembali ke masyarakat dan mencegah pengulangan tindak pidana," katanya.