Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa


Suara.com - Nyoman Sukena tak pernah menyangka kegiatannya memelihara Landak Jawa atau hystrix javanica berujung penjara. Gara-gara memelihara empat ekor satwa dilindungi itu di rumahnya, pria asal Desa Bongkasa Pertiwi, Abiansemal, Badung, Bali ini harus merasakan dinginnya lantai penjara Rutan Klas IIA, Kerobokan.

Kasus Nyoman viral dan menjadi perhatian banyak pihak. Salah satu yang menaruh perhatian pada kasus Nyoman ialah Rieke Diah Pitaloka, anggota Komisi VI DPR RI. “Oneng” bersedia menjadi penjamin agar pria ini dibebaskan. Penahanan Nyoman akhirnya ditangguhkan dan terkini dia dituntut bebas oleh Jaksa.

Bukan karena mustika atau batu geliga di dalam tubuh Landak Jawa yang dimitoskan sebagai obat berkhasiat yang membuat Nyoman Sukena memelihara hewan pengerat ini. Tidak juga karena ingin memperjualbelikannya. Nyoman Sukena merawat Landak Jawa semata karena kasihan.

"Awal mula, landak ditemukan bapak mertua kakak dalam keadaan masih kecil mungkin ditinggalkan orang tuanya (induknya) di ladang," kata Nyoman Sukena saat ditanya Jaksa Penuntut Umum dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar beberapa waktu lalu.

I Nyoman Sukena (38) menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. (ANTARA/Rolandus Nampu)
I Nyoman Sukena (38) menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. (ANTARA/Rolandus Nampu)

Nyoman Sukena yang merupakan pecinta binatang ini lalu memutuskan untuk memelihara dua ekor anak Landak Jawa itu. Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu hingga berkembang biak menjadi empat ekor.

Nyoman Sukena sendiri tak tahu Landak Jawa merupakan hewan dilindungi. Sebab bagi ia dan masyarakat Desa Bongkasa Pertiwi, Landak Jawa adalah hewan yang sering mereka jumpai dalam keseharian.

Kondisi geografis Desa Bongkasa Pertiwi sebagian besar berupa ladang dan jurang. Ini menjadi tempat berkembangnya beberapa jenis binatang, seperti trenggiling, landak dan binatang liar lainnya.

Bagi warga Desa Bongkasa Pertiwi, landak adalah hama yang sering memakan tumbuhan, umbi-umbian yang ditanam masyarakat sekitar. Meski demikian, warga Desa Bongkasa Pertiwi tidak pernah menyakiti binatang tersebut. Mereka paling hanya mengusirnya dari ladang.

Apa Itu Landak Jawa (Unsplash)
Apa Itu Landak Jawa (Unsplash)

Petaka itu datang. Senin, 4 Maret 2024, sekitar pukul 11.30 Wita, datang empat anggota Polda Bali berseragam dinas ke rumah Nyoman Sukena. Mereka menanyakan tentang legalitas izin pemeliharaan burung Jalak Bali dan Jalak Putih.

Setelah melihat burung jalak, para petugas menemukan empat ekor Landak Jawa di dalam sebuah kandang di rumah Nyoman Sukena. Berbeda dengan burung Jalak yang berizin, untuk Landak Jawa, Nyoman Sukena tak bisa menunjukkan surat izin pemeliharaannya.

Sekitar pukul 14.00 Wita, petugas membawa keempat landak tersebut. Lalu terbit surat pemanggilan dari Polda Bali. Sukena diperiksa sebagai saksi hingga kasusnya berujung ke meja hijau dan bui.

Masyarakat Ikut Trauma

Kasus I Nyoman Sukena mendapat perhatian warga Bongkasa Pertiwi. Mereka turut memenuhi ruang sidang mengawal kasus ini. Seorang saksi yang merupakan warga Desa Bongkasa Pertiwi tak menyangka Nyoman Sukena bisa dipenjara hanya karena memelihara landak.

“Masyarakat setempat tidak tahu bahwa landak adalah satwa yang dilindungi. Warga desa menganggap landak sebagai hama karena sering merusak tanaman, seperti umbi-umbian. Saya tidak mau memfitnah landak, saya ada video, kebun kelapa orang tua saya yang rusak oleh ulah landak," ujarnya.

Perbekel (Kepala Desa) Bongkasa Pertiwi Nyoman Buda meminta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali untuk turun ke desa guna menyosialisasikan satwa dilindungi kepada masyarakat.

"Masyarakat tidak tahu mana Landak Jawa atau Bali. Tolong BKSDA dan lainnya, kalau memang ada satwa yang dilindungi, jangan hanya sosialisasi terbatas lewat pameran yang digelar di kota, minimal kan ke desa, tinggal surati perangkat desa, kami siap yang sampaikan sosialisasi," katanya.

Ketakutan untuk memperhatikan atau memberi sikap kepada hewan liar dilindungi ini juga banyak dikemukakan warganet di media sosial. Bukan hanya soal landak, tapi juga hewan lainnya seperti halnya trenggiling yang baru-baru ini juga viral di media sosial.

Lalu bagaimana seharusnya masyarakat bersikap ketika bertemu hewan yang dilindungi seperti Landak Jawa ini? Utamanya bagi masyarakat yang tinggal berdampingan dengan habitat satwa dilindungi seperti Landak Jawa.

Ekolog dan pendiri Profauna Indonesia Foundation, Rosek Nursahid mengatakan bahwa pemerintah harus memberikan solusi penanganan konflik dengan satwa yang dilindungi. Inilah yang menurutnya belum dilakukan pemerintah.

“Konflik dengan satwa itu kan bisa jadi hama atau satwa tersebut membahayakan keselamatan manusia. Nah ini menurut saya belum dilakukan, bagaimana menangani masalah landak itu, seharusnya seperti apa, apakah perlu pagar atau pembatas,” ujarnya saat dihubungi Suara.com, kamis (13/9/2024).

Ia mencontohkan seperti yang dilakukan Profauna di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dimana petani hutan mengalami konflik dengan kera ekor panjang atau Macaca fascicularis. Dalam hal ini petani dianggap salah karena menggarap sawah di hutan. Yang terjadi akhirnya monyet dianggap hama karena makan hasil panen mereka.

“Dalam kasus tersebut, Profauna mendorong untuk memasang jaring mengelilingi ladang. Memang akan mengeluarkan biaya sedikit namun hasil panen kan lebih aman. Itu contoh,” jelasnya.

Sedangkan untuk landak menurutnya harus ada kajian, misalnya tentang perilakunya, bagaimana solusi menanganinya. Soal mitigasi seperti ini harusnya dilakukan pemerintah sejak dini.

Dari kasus Landak Jawa di Bali ini, sesuai pemberitaan yang beredar bahwa masyarakat tidak tahu bahwa satwa tersebut dilindungi, Rosek mengasumsikan bahwa sosialisasi pemerintah yang kurang.

“Landak ini, apalagi penetapan Landak Jawa (sebagai hewan dilindungi) relatif baru. Dulunya kan belum dilindungi,” imbuhnya.

Rosek melihat kasus ini dalam dua aspek. Pertama, aspek yuridis yang mana jelas Landak Jawa ini merupakan satwa yang dilindungi. Ketika itu dianggap sebagai satwa dilindungi dan mempunyai undang-undang maka dianggap masyarakat sudah tahu. Artinya tidak terbantahkan.

“Sedangkan aspek sosialnya, seperti, apakah pelaku memang tidak tahu jenis itu dilindungi, apakah petugas pemerintah dalam hal ini BKSDA sudah pernah melakukan upaya sosialisasi, aspek-aspek inilah yang perlu dipertimbangkan,” ujarnya.

Rosek lalu menyoroti pada niat menolong yang seharusnya bersifat emergensi. Semisal bertemu satwa di hutan yang sedang terluka atau satwa yang induknya mati lalu dirawat. Nantinya, saat satwanya sudah aman atau sembuh bisa dikembalikan ke alam.

Namun demikian, kata dia, yang banyak terjadi adalah masyarakat mengaku menolong tapi malah dipelihara bertahun-tahun.

“Nah jadi kalau alasan menolong itu menurut saya ambigu. Karena kalau berbicara dari sudut ekologis. satwa liar itu memang tempatnya di alam. Karena ada hukum keseimbangan alam, bahwa satwa itu menjadi bagian dari rantai makanan, itu hanya terjadi bila satwanya hidup di alam bebas,” terangnya.

Sedangkan bila dipelihara di rumah atas nama menolong, menurutnya itu akan menjadi rancu. Lalu bagi masyarakat yang menemukan satwa liar, ia menganjurkan agar sebelum dilepasliarkan dilaporkan terlebih dahulu kepada BSDA. Namun BKSDA juga harus proaktif dan transparan.

“BKSDA harus proaktif, seperti membuka hotline, mengumumkan kepada publik nomor-nomor yang bisa dihubungi. Dan satwa yang dilaporkan ke BKSDA juga harus diberi transparansi. BKSDA harus melaporkan ke mana satwa tersebut. Apakah dilepas ke alam atau, mohon maaf, dikirim ke kebun binantang. Jadi harus sama-sama. Masyarakat diedukasi harus transparan, BKSDA sebagai otoritas pemerintah juga harus transparan,” tutup Rosek.