Saat Eks Koruptor Melenggang di Pilkada 2024: Cermin Buruknya Kaderisasi Parpol dan Hilangnya Kontrol Publik

Saat Eks Koruptor Melenggang di Pilkada 2024: Cermin Buruknya Kaderisasi Parpol dan Hilangnya Kontrol Publik


Suara.com -  "Mantan koruptor kembali tampil di Pilkada serentak 2024. Mereka, yang pernah merampas uang rakyat, jelas tak pantas jadi pemimpin. Namun, sejarah menunjukkan bahwa eks koruptor masih mendapat dukungan suara. Pilihan ini tak lepas dari kekecewaan dan apatisme masyarakat. Banyak yang merasa, demokrasi tak pernah membawa perubahan nyata dalam hidup mereka.

..............

Pemilihan kepala daerah serentak 2024 berpotensi diikuti mantan narapidana korupsi. Dalam catatan Suara.com, terdapat sederet nama mantan pencuri uang rakyat yang berniat mencalonkan diri dalam kontestasi Pilkada 2024.

Salah satunya ialah Elly Lasut, mantan terpidana kasus korupsi surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif dan dana pendidikan Gerakan Nasional Orang tua Asuh (GNOTA). Pada kasus itu Elly Lasut sebagai bupati Kepulauan Talaud  divonis tujuh tahun penjara dan bebas pada November 2014. Elly akan maju sebagai bakal calon gubernur Sulawesi Utara yang  diusung Partai Demokrat.

Selain Elly, Lucianty, mantan terpidana korupsi, juga akan maju sebagai calon Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, berpasangan dengan Syaparuddin. Mereka didukung 12 partai, termasuk Gerindra, Golkar, PDIP, PKS, dan PAN.

Calon bupati Musi Banyuasin, Lucianty
Calon bupati Musi Banyuasin, Lucianty

Lucianty dihukum satu tahun enam bulan atas kasus korupsi LKPJ 2014 dan APBD 2015, setelah terjerat OTT KPK bersama suaminya, Pahri Azhari, Bupati Musi Banyuasin. Bebas pada 2017, Lucianty kini kembali mencalonkan diri. Berdasarkan aturan, mereka yang telah menyelesaikan pencabutan hak politik selama lima tahun, seperti Lucianty dan Elly, bisa ikut Pilkada 2024.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal, Haykal, menjelaskan bahwa secara hukum, memang tak ada aturan yang dilanggar. Oleh karena itu, mantan narapidana korupsi boleh maju Pilkada jika masa pencabutan hak politiknya sudah selesai. Namun, secara etika, hal ini patut dipertanyakan, mengingat rekam jejak mereka pernah terlibat kejahatan.

Menurut Haykal, integritas mantan koruptor sebagai pemimpin diragukan karena ada risiko pengulangan tindak korupsi. Ia menekankan pentingnya masyarakat mempertimbangkan pilihan mereka agar tidak mendukung calon dengan catatan buruk, karena hal ini dapat menghalangi pemimpin berintegritas muncul dan bersaing. 

"Artinya kan masyarakat memiliki pilihan yang jadi lebih sedikit  untuk mendapatkan figur-figur baru yang lebih fresh yang kemudian tidak memiliki catatan buruk apapun," kata Haykal kepada Suara.com, Kamis (5/9/2024).

Kaderisasi Parpol Buruk

Ilustrasi partai politik. (instagram/@parboaboa)
Ilustrasi partai politik. (instagram/@parboaboa)

Melenggangnya mantan koruptor di Pilkada tak lepas dari buruknya kaderisasi partai politik. Mereka bisa maju karena mendapatkan surat rekomendasi dari partai.

Haykal menegaskan, partai politik seharusnya menjadi filter pertama dalam memilih calon kepala daerah. Catatan korupsi tidak boleh diabaikan, karena masyarakat berhak mendapatkan pemimpin yang berkualitas.

"Tentu saja ini adalah seleksi yang seharusnya bisa dilakukan dan bisa dimaksimalkannya oleh partai politik, mencari kandidat-kandidat yang memang masih baru dan yang rekam jejaknya bagus," kata Haykal.

Penelitian "Pertimbangan Partai Politik terhadap Pencalonan Mantan Narapidana Korupsi pada Pemilu 2019" oleh Dian Rizoie Ananda (UIN Ar-Raniry, 2023) mengungkap alasan partai masih mengusung eks koruptor. Meski fokusnya pada pemilihan legislatif, penelitian ini memberikan gambaran umum.

Partai politik mengusung mantan narapidana karena mereka masih memiliki hak politik dan tidak melanggar undang-undang. Selain itu, popularitas dan elektabilitas tinggi, meski pernah terlibat korupsi, menjadi faktor penting dalam keputusan tersebut.

Mengapa Masyarakat Masih Pilih Eks Koruptor?

Ilustrasi Gedung KPK. (Ist)
Ilustrasi Gedung KPK. (Ist)

Mantan koruptor dipastikan tetap mendapat suara dalam Pilkada, meski menang atau kalah. Hal ini tercermin dari Pemilu 2024, di mana eks terpidana korupsi tetap memperoleh dukungan. Contohnya, Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri yang terjerat kasus korupsi, berhasil meraih 20.671 suara sebagai caleg DPR RI dari PKB, meski gagal ke Senayan.

Menurut Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Nasional, Sigit Rohadi, masyarakat masih memilih eks koruptor karena tidak merasakan manfaat nyata dari demokrasi. Pasca-reformasi, politik uang semakin masif, dan kekecewaan terhadap janji kampanye membuat masyarakat apatis terhadap rekam jejak kandidat.

"Yang mereka pertimbangkan adalah siapa yang memberikan uang," kata Sigit kepada Suara.com.

Sigit menjelaskan, sistem demokrasi di Indonesia perlahan bergeser menjadi demokrasi transaksional. Idealnya, demokrasi bertumpu pada penegakan hukum dan hak asasi manusia, bukan pertukaran suara dengan uang. Namun, program yang sejahtera bagi rakyat justru terabaikan.

Akibatnya, masyarakat semakin apatis terhadap politik, tidak lagi peduli pada program atau rekam jejak kandidat.

Merujuk penelitian Elmira Yuliana (2019) dari UIN Ar-Raniry, masyarakat masih memilih eks koruptor karena faktor kedekatan personal dan dukungan partai. Mereka juga percaya kandidat bisa berubah, menganggap korupsi sebagai kesalahan masa lalu.

Sementara itu, Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM, Gabriel Lele, dalam tulisannya di The Conversation berjudul 'Ramai-ramai Korupsi: Persekongkolan Legislatif dan Eksekutif', menjelaskan bahwa kasus korupsi seringkali tidak berdiri sendiri. Korupsi terjadi melalui institusi demokrasi, saat lembaga eksekutif dan legislatif sering menjadi pusatnya.

Menurutnya, Indonesia menghadapi "korupsi demokratis" yang muncul dari proses dan institusi demokratis itu sendiri. Korupsi, menurutnya, terjadi sebagai transaksi untuk merespons kebutuhan kebijakan cepat di tengah kepentingan yang beragam.

Dalam sistem politik dengan biaya tinggi, transaksi menjadi kunci, dan korupsi terjadi di titik ini. Parlemen, dengan kekuasaan vetonya, sering memaksa eksekutif untuk bertransaksi.

Untuk mengatasi hal ini, Gabriel mengusulkan pengembalian keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Salah satunya melalui klarifikasi hak veto dalam UUD 1945, atau dengan menyederhanakan jumlah partai di parlemen. Jika sulit dalam jangka pendek, kontrol publik perlu diperkuat dan dijadikan bagian dari mekanisme demokrasi, seperti uji publik wajib sebelum UU disahkan.

"Selama ini, masyarakat hanya berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam suatu penyusunan UU secara lisan dan tertulis melalui rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; dan seminar, lokakarya, atau diskusi. Kehadiran kontrol publik akan memberikan tekanan agar para pemegang veto lebih bertanggung jawab dalam membuat berbagai kebijakan," demikian tulis Gabriel.