KPK Tunda Kasus Korupsi Kepala Daerah di Pilkada 2024: Hukum Tergadai!
Home > Detail

KPK Tunda Kasus Korupsi Kepala Daerah di Pilkada 2024: Hukum Tergadai!

Erick Tanjung | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Kamis, 05 September 2024 | 13:14 WIB

Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan kebijakan yang menuai kontradiksi. Lembaga antirasuah itu menunda proses hukum terhadap calon kepala daerah yang terseret kasus korupsi selama proses Pilkada Serentak 2024.

KPK beralasan, penundaan proses hukum itu dilakukan agar kasus korupsi tersebut tidak dimaanfaatkan oleh lawan politik buat menjatuhkan calon kepala daerah. Tetapi, bagi calon kepala daerah yang status hukumnya sudah menjadi tersangka sebelum mendaftar ke KPU, proses hukum tetap berjalan. 

Sikap KPK pada Pilkada kali ini berbeda dengan sikapnya saat Pemilu Serentak 2024 lalu, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Ketika itu, KPK tak mengikuti Kejaksaan Agung dan Polri yang kompak menghentikan sementara proses hukum bagi para kandidat yang berkontestasi pada Pemilu. Menjelang Pemilu pada Agustus 2023, KPK menegaskan mereka adalah lembaga independen yang bekerja secara profesional berdasarkan perundangan-undang. Pemilu tidak bisa mempengaruhi proses hukum yang berjalan di KPK. 

Sikap yang sama juga ditunjukkan KPK pada Pilkada Serentak 2020 lalu, lembaga antikorupsi itu tidak menunda proses hukum terhadap calon kepala daerah yang terseret kasus korupsi.

Juru bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto menyatakan bahwa pihaknya ingin memastikan proses hukum kasus korupsi yang berjalan tidak mengganggu proses pilkada. Tapi dia tidak menjelaskan dasar hukum mereka menunda proses hukum bagi calon kepala daerah selama pilkada berlangsung.

"Agar (proses hukum) tidak digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan politik dalam proses tersebut," ujarnya kepada Suara.com, Rabu (4/9/2).

***

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menilai sikap KPK itu merupakan sebuah kemundurann dalam upaya pemberantasan korupsi. 

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman. [Hiskia Andika Weadcaksana / Suarajogja.id]
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman. [Hiskia Andika Weadcaksana / Suarajogja.id]

Menurut dia, KPK tidak perlu ikut-ikutan Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Kebijakan KPK itu tidak memiliki dasar hukum. Sebagai lembaga penegak hukum, KPK seharusnya bekerja berdasarkan Undang-undang KPK, UU Tindak Pidana Korupsi, atau KUHP.

"Sehingga ketika KPK menjalankan kewenangan tanpa dasar undang-undang, itu artinya KPK tidak profesional bahkan berbahaya," kata Zaenur kepada Suara.com, Rabu (4/9/2). 

Sikap KPK itu pun melanggar prinsip equality before the law atau asas persamaan kedudukan di hadapan hukum, karena menciptakan perlakukan berbeda. Bagi mereka yang mengikuti pilkada proses hukumnya otomatis ditunda, sedangkan yang lain proses hukumnya tetap berjalan. Padahal kedudukannya sama-sama warga negara. 

Selain itu, kebijakan tersebut juga dianggap menghalangi proses hukum yang berjalan di KPK. Sebab, tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang diduga terlibat korupsi bakal memanfaatkan waktu penundaan untuk menghilangkan barang bukti, mempengaruhi saksi-saksi, dan bahkan aparat penegak hukum. 

"Pada ujungnya bisa semakin menyusahkan penyelesaian perkara itu sendiri," ujar Zaenur. 

Utamakan Penyelesaian Hukum

Guru Besar Bidang Hukum Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menyatakan sikap KPK menunda proses hukum bagi calon kepala daerah yang berkontestasi telah menyalahi perundang-undangan. 

Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho. ANTARA/Dokumentasi Pribadi
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho. [Antara/Dokumentasi Pribadi]

Dia menjelaskan, dalam hukum pidana terdapat asas yang harus dipenuhi, yakni penyelesaian perkara secepatnya. Artinya, penyelesaian hukum harus segera dipertanggungjawabkan. 

"Jadi tidak bisa dicampuradukkan antara pidana dan pemilihan (Pilkada). Harusnya dipisahkan," kata Hibnu kepada Suara.com, Rabu (4/5). 

Menurut Hibnu, KPK adalah lembaga independen yang seharusnya mengutamakan penyelesaian hukum. Proses Pilkada tidak seharusnya mempengaruhi rangkaian penegakan hukum. 

"Kalau memang independen harusnya diselesaikan (proses hukum)," jelasnya. 

Apalagi, Pilkada berbeda dengan Pemilu 2024. Pilkada hanya proses pemilihan yang berlangsung di tingkatan lokal, yakni kabupaten, kota, dan provinsi. Sementara Pemilu berlangsung secara nasional, masyarakat memilih calon presiden dan wakil presiden, serta perwakilannya di DPR RI. 

Karena berjalan dalam tingkatan lokal, menurutnya proses penegakan hukum KPK tidak akan mengganggu jalannya Pilkada. Justru penegakan hukum KPK membantu masyarakat untuk mendapatkan kepala daerah yang berintegritas. 

"Jangan sampai rakyat menjadi kecewa, ketika ternyata begitu terpilih (kepala daerahnya) terjerat hukum," tuturnya. 

KPK Harus Jadi Filter

Senada dengan Hibnu, Zaenur berpendapat dengan proses hukum KPK yang tetap berjalan dapat membantu masyarakat untuk memilih pemimpin yang terbaik. 

Zaenur menentang alasan KPK yang menyebut langkah penundaan proses hukum itu diambil demi menghindari politisasi penegakan hukum. Justru dengan adanya Pilkada dan penegakan hukum yang tetap berjalan membuat KPK bekerja secara profesional. 

Penyelidikan dan penyidikan harus berjalan sesuai dengan alat bukti yang diperoleh. Jika terbukti terlibat, maka harus diproses hukum. Sebaliknya, KPK harus mengeluarkan pernyataan bahwa calon kepala daerah yang diusut tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. 

"Seharusnya alasan menghindari politisasi itu tidak perlu ada," katanya. 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal juga menyanggah alasan KPK tersebut. Menurutnya, untuk mengawasi politisasi penegakan hukum dan kampanye hitam sudah ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang berwenang. 

"Saya rasa perangkat hukum kita cukup kok, menghindari terjadinya kampanye hitam karena ada proses hukum yang berjalan," kata Haykal kepada Suara.com

Menurut dia, proses hukum yang ditunda akan menggangu jalannya pemerintahan jika calon kepala daerah terpilih ternyata terjerat kasus korupsi. Saat terpilih, kepala daerah tersebut tentu akan sibuk dengan perkara hukumnya, dan diganti jika terbukti bersalah. Proses pergantian itu yang kemudian mengganggu jalannya pemerintahan karena memakan waktu.  

Karena itu, akan lebih baik proses hukum tetap berjalan dan mereka yang terlibat korupsi tidak sampai terpilih menjadi kepala daerah. 

"Saya rasa proses hukum itu tidak memiliki kaitan dengan dengan proses penyelenggaran Pillkada," tuturnya. 


Terkait

KPK Panggil Anak AGK Lagi sebagai Saksi Kasus TPPU
Kamis, 05 September 2024 | 12:09 WIB

KPK Panggil Anak AGK Lagi sebagai Saksi Kasus TPPU

Pemeriksaan Thariq Kasuba ini dilakukan lantaran dirinya berstatus sebagai Komisaris PT. Fajar Gemilang.

Pembalap Zahir Ali Kembali Dipanggil KPK Terkait Kasus Dugaan Korupsi Lahan Rorotan
Kamis, 05 September 2024 | 11:50 WIB

Pembalap Zahir Ali Kembali Dipanggil KPK Terkait Kasus Dugaan Korupsi Lahan Rorotan

Zahir Ali diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Citratama Inti Persada

Jaksa KPK Bacakan Tuntutan Terdakwa Hakim Agung Nonaktif Gazalba Saleh Hari Ini
Kamis, 05 September 2024 | 09:21 WIB

Jaksa KPK Bacakan Tuntutan Terdakwa Hakim Agung Nonaktif Gazalba Saleh Hari Ini

Dalam dakwaan jaksa, Gazalba Saleh disebut menerima Rp 37 miliar saat menangani peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaffar Abdul Gaffar pada 2020

Terbaru
Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat!
nonfiksi

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat!

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 12:33 WIB

Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan nonfiksi

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan

Selasa, 30 September 2025 | 19:26 WIB

Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang

Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta nonfiksi

Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta

Selasa, 30 September 2025 | 15:38 WIB

Ingatan kolektif masyarakat tentang tapol PKI dari balik jeruji penjara Orde Baru telah memudar, seiring perkembangan zaman. Jurnalis Suara.com mencoba menjalinnya kembali.

Review Film Kang Solah: Spin-Off Tanpa Beban, Tawa Datang Tanpa Diundang nonfiksi

Review Film Kang Solah: Spin-Off Tanpa Beban, Tawa Datang Tanpa Diundang

Sabtu, 27 September 2025 | 08:00 WIB

Akankah Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung menyaingi kesuksesan Kang Mak tahun lalu?

Review Afterburn, Dave Bautista dan Samuel L. Jackson Pun Gagal Selamatkan Film Medioker Ini nonfiksi

Review Afterburn, Dave Bautista dan Samuel L. Jackson Pun Gagal Selamatkan Film Medioker Ini

Sabtu, 20 September 2025 | 09:00 WIB

Film Afterburn adalah karya aksi pasca-apokaliptik yang gagal total karena cerita tidak logis, naskah yang lemah, dan eksekusi yang membosankan.

Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat! nonfiksi

Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat!

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah berhasil meraih 420 ribu penonton meski berhadapan dengan film The Conjuring.

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan nonfiksi

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan

Selasa, 09 September 2025 | 20:27 WIB

Catatan tiga hari Pestapora 2025, pesta musik lintas generasi.