Senin, 01 Jan 2024
KPK Tunda Kasus Korupsi Kepala Daerah di Pilkada 2024: Hukum Tergadai!
Home > Detail

KPK Tunda Kasus Korupsi Kepala Daerah di Pilkada 2024: Hukum Tergadai!

Erick Tanjung | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Kamis, 05 September 2024 | 13:14 WIB

Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan kebijakan yang menuai kontradiksi. Lembaga antirasuah itu menunda proses hukum terhadap calon kepala daerah yang terseret kasus korupsi selama proses Pilkada Serentak 2024.

KPK beralasan, penundaan proses hukum itu dilakukan agar kasus korupsi tersebut tidak dimaanfaatkan oleh lawan politik buat menjatuhkan calon kepala daerah. Tetapi, bagi calon kepala daerah yang status hukumnya sudah menjadi tersangka sebelum mendaftar ke KPU, proses hukum tetap berjalan. 

Sikap KPK pada Pilkada kali ini berbeda dengan sikapnya saat Pemilu Serentak 2024 lalu, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Ketika itu, KPK tak mengikuti Kejaksaan Agung dan Polri yang kompak menghentikan sementara proses hukum bagi para kandidat yang berkontestasi pada Pemilu. Menjelang Pemilu pada Agustus 2023, KPK menegaskan mereka adalah lembaga independen yang bekerja secara profesional berdasarkan perundangan-undang. Pemilu tidak bisa mempengaruhi proses hukum yang berjalan di KPK. 

Sikap yang sama juga ditunjukkan KPK pada Pilkada Serentak 2020 lalu, lembaga antikorupsi itu tidak menunda proses hukum terhadap calon kepala daerah yang terseret kasus korupsi.

Juru bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto menyatakan bahwa pihaknya ingin memastikan proses hukum kasus korupsi yang berjalan tidak mengganggu proses pilkada. Tapi dia tidak menjelaskan dasar hukum mereka menunda proses hukum bagi calon kepala daerah selama pilkada berlangsung.

"Agar (proses hukum) tidak digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan politik dalam proses tersebut," ujarnya kepada Suara.com, Rabu (4/9/2).

***

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menilai sikap KPK itu merupakan sebuah kemundurann dalam upaya pemberantasan korupsi. 

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman. [Hiskia Andika Weadcaksana / Suarajogja.id]
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman. [Hiskia Andika Weadcaksana / Suarajogja.id]

Menurut dia, KPK tidak perlu ikut-ikutan Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Kebijakan KPK itu tidak memiliki dasar hukum. Sebagai lembaga penegak hukum, KPK seharusnya bekerja berdasarkan Undang-undang KPK, UU Tindak Pidana Korupsi, atau KUHP.

"Sehingga ketika KPK menjalankan kewenangan tanpa dasar undang-undang, itu artinya KPK tidak profesional bahkan berbahaya," kata Zaenur kepada Suara.com, Rabu (4/9/2). 

Sikap KPK itu pun melanggar prinsip equality before the law atau asas persamaan kedudukan di hadapan hukum, karena menciptakan perlakukan berbeda. Bagi mereka yang mengikuti pilkada proses hukumnya otomatis ditunda, sedangkan yang lain proses hukumnya tetap berjalan. Padahal kedudukannya sama-sama warga negara. 

Selain itu, kebijakan tersebut juga dianggap menghalangi proses hukum yang berjalan di KPK. Sebab, tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang diduga terlibat korupsi bakal memanfaatkan waktu penundaan untuk menghilangkan barang bukti, mempengaruhi saksi-saksi, dan bahkan aparat penegak hukum. 

"Pada ujungnya bisa semakin menyusahkan penyelesaian perkara itu sendiri," ujar Zaenur. 

Utamakan Penyelesaian Hukum

Guru Besar Bidang Hukum Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menyatakan sikap KPK menunda proses hukum bagi calon kepala daerah yang berkontestasi telah menyalahi perundang-undangan. 

Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho. ANTARA/Dokumentasi Pribadi
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho. [Antara/Dokumentasi Pribadi]

Dia menjelaskan, dalam hukum pidana terdapat asas yang harus dipenuhi, yakni penyelesaian perkara secepatnya. Artinya, penyelesaian hukum harus segera dipertanggungjawabkan. 

"Jadi tidak bisa dicampuradukkan antara pidana dan pemilihan (Pilkada). Harusnya dipisahkan," kata Hibnu kepada Suara.com, Rabu (4/5). 

Menurut Hibnu, KPK adalah lembaga independen yang seharusnya mengutamakan penyelesaian hukum. Proses Pilkada tidak seharusnya mempengaruhi rangkaian penegakan hukum. 

"Kalau memang independen harusnya diselesaikan (proses hukum)," jelasnya. 

Apalagi, Pilkada berbeda dengan Pemilu 2024. Pilkada hanya proses pemilihan yang berlangsung di tingkatan lokal, yakni kabupaten, kota, dan provinsi. Sementara Pemilu berlangsung secara nasional, masyarakat memilih calon presiden dan wakil presiden, serta perwakilannya di DPR RI. 

Karena berjalan dalam tingkatan lokal, menurutnya proses penegakan hukum KPK tidak akan mengganggu jalannya Pilkada. Justru penegakan hukum KPK membantu masyarakat untuk mendapatkan kepala daerah yang berintegritas. 

"Jangan sampai rakyat menjadi kecewa, ketika ternyata begitu terpilih (kepala daerahnya) terjerat hukum," tuturnya. 

KPK Harus Jadi Filter

Senada dengan Hibnu, Zaenur berpendapat dengan proses hukum KPK yang tetap berjalan dapat membantu masyarakat untuk memilih pemimpin yang terbaik. 

Zaenur menentang alasan KPK yang menyebut langkah penundaan proses hukum itu diambil demi menghindari politisasi penegakan hukum. Justru dengan adanya Pilkada dan penegakan hukum yang tetap berjalan membuat KPK bekerja secara profesional. 

Penyelidikan dan penyidikan harus berjalan sesuai dengan alat bukti yang diperoleh. Jika terbukti terlibat, maka harus diproses hukum. Sebaliknya, KPK harus mengeluarkan pernyataan bahwa calon kepala daerah yang diusut tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. 

"Seharusnya alasan menghindari politisasi itu tidak perlu ada," katanya. 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal juga menyanggah alasan KPK tersebut. Menurutnya, untuk mengawasi politisasi penegakan hukum dan kampanye hitam sudah ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang berwenang. 

"Saya rasa perangkat hukum kita cukup kok, menghindari terjadinya kampanye hitam karena ada proses hukum yang berjalan," kata Haykal kepada Suara.com

Menurut dia, proses hukum yang ditunda akan menggangu jalannya pemerintahan jika calon kepala daerah terpilih ternyata terjerat kasus korupsi. Saat terpilih, kepala daerah tersebut tentu akan sibuk dengan perkara hukumnya, dan diganti jika terbukti bersalah. Proses pergantian itu yang kemudian mengganggu jalannya pemerintahan karena memakan waktu.  

Karena itu, akan lebih baik proses hukum tetap berjalan dan mereka yang terlibat korupsi tidak sampai terpilih menjadi kepala daerah. 

"Saya rasa proses hukum itu tidak memiliki kaitan dengan dengan proses penyelenggaran Pillkada," tuturnya. 

Terbaru
Deflasi dan PHK: Jeritan Pedagang Pasar Johar Baru, Tukang Bajaj Pun Ikut Merana
nonfiksi

Deflasi dan PHK: Jeritan Pedagang Pasar Johar Baru, Tukang Bajaj Pun Ikut Merana

Rabu, 20 November 2024 | 09:15 WIB

Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.

Tragedi Deli Serdang: Saat Kepercayaan Publik Terhadap TNI Justru Dibalas Kekerasan polemik

Tragedi Deli Serdang: Saat Kepercayaan Publik Terhadap TNI Justru Dibalas Kekerasan

Selasa, 19 November 2024 | 11:09 WIB

Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.

Kisah Pelajar Jakarta Kecanduan Judol: Main Bareng Guru hingga Gadai BPKB Motor nonfiksi

Kisah Pelajar Jakarta Kecanduan Judol: Main Bareng Guru hingga Gadai BPKB Motor

Jum'at, 15 November 2024 | 20:51 WIB

Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.

Teror Truk Tanah PIK 2: Kecelakaan Maut Picu Amarah Warga polemik

Teror Truk Tanah PIK 2: Kecelakaan Maut Picu Amarah Warga

Kamis, 14 November 2024 | 16:21 WIB

Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.

Drama Laut Andaman: Mengungkap Sindikat Perdagangan Manusia Rohingya di Aceh polemik

Drama Laut Andaman: Mengungkap Sindikat Perdagangan Manusia Rohingya di Aceh

Rabu, 13 November 2024 | 14:11 WIB

Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.

Ironi Perkantoran Elite Jakarta: Kisah Pekerja Terpaksa Pinjol Demi Sesuap Nasi nonfiksi

Ironi Perkantoran Elite Jakarta: Kisah Pekerja Terpaksa Pinjol Demi Sesuap Nasi

Selasa, 12 November 2024 | 17:38 WIB

Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.

Di Balik Jeruji Truk: Kisah Pilu Pengungsi Rohingya yang Ditolak di Aceh nonfiksi

Di Balik Jeruji Truk: Kisah Pilu Pengungsi Rohingya yang Ditolak di Aceh

Senin, 11 November 2024 | 17:21 WIB

Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.