Aroma Dugaan Korupsi di Balik Kepulan Gas Air Mata Berlebihan

Aroma Dugaan Korupsi di Balik Kepulan Gas Air Mata Berlebihan


Suara.com - Tagar #DaruratKekerasanAparat dan #PolisiBrutal menggema di jagat maya. Suara kritik dan kemarahan memenuhi lini masa. Semua bermula dari kekerasan aparat terhadap massa. 

Sejak 22 Agustus 2024, aksi demonstrasi Peringatan Darurat-Kawal Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) meletus di berbagai daerah. Massa meminta DPR mematuhi putusan MK. Tapi, aparat mereseponsnya dengan membabi buta. Polanya nyaris selalu sama. Kekerasan dan represifitas menjadi bahasa mereka.

Ratusan massa dan warga tak hanya luka-luka. Mereka juga menjadi korban penggunaan berlebih gas air mata. Aksi Reformasi Dikorupsi 2019 dan Omnibus Law 2020 adalah contoh bagaimana pola represif selalu digunakan aparat kepolisian untuk membungkam warga.

Di tengah sorotan terkait represifitas aparat kepolisian, belakangan juga muncul aroma dugaan korupsi di balik pengadaan alat pelontar gas air mata atau paper projectile launcher. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama enam belas lembaga dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) melaporkan dugaan korupsi senilai Rp26,4 miliar terkait pengadaan paper projectile launcher oleh Polri pada tahun 2022 dan 2023.

Laporan dugaan korupsi ini disampaikan RFP ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (2/9/2024). Ia terdaftar dengan Nomor Informasi: 2024-A-03103.

Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, mengungkapkan bahwa selain dugaan penggelembungan harga, RFP juga menemukan indikasi persekongkolan tender dalam pengadaan alat tersebut.

"Dugaan indikasi mark-upnya ini mencapai sekitar Rp26 miliar," kata Agus kepada Suara.com di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (2/9/2024).

Sejumlah aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menunjukan surat bukti pelaporan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (2/9/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Sejumlah aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menunjukan surat bukti pelaporan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (2/9/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Sementara Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, Muhamad Isnur menyebut pemenang tender terkait pengadaan paper projectile launcher tahun 2022 dan 2023 ini merupakan PT TMDC. Berdasar hasil penelusuran RFP perusahaan pemasok paper projectile launcher itu diduga milik anggota Polri atau pihak yang memiliki relasi dengan pejabat Polri. 

"Karena dari Google street view yang kami dapatkan ketika kami meneliti tempat atau alamat pemenang tender di situ ada mobil berpelat polisi," jelas Isnur. 

Agus berharap KPK tidak hanya berani mengungkap kasus korupsi yang melibatkan para penyelenggara negara. Tetapi juga berani mengusut kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan aparat penegak hukum yang telah dilaporkan RFP ini.

"Korupsi yang terjadi atau melibatkan aparat penegak hukum itu justru akan merusak citra dari penegak hukum itu sendiri. Jadi harapannya KPK bisa punya keberanian dan benar-benar bisa menangani kasus ini sampai selesai," ujar Agus.

DPR Audit Polri

Ilustrasi penerimaan bintara Polri. [Ist]
Ilustrasi penerimaan bintara Polri. [Ist]

Selain meminta KPK mengusut dugaan korupsi, YLBHI juga mendesak DPR RI untuk mengaudit penggunaan gas air mata oleh kepolisian. Hasil penyelidikan YLBHI pada aksi Reformasi Dikorupsi 2019 mengungkap bahwa Polri menggunakan gas air mata yang telah kedaluwarsa.

YLBHI juga mencatat bahwa penggunaan gas air mata sudah dilarang di beberapa negara karena bisa menyebabkan kematian. Tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022, yang menewaskan 135 orang dan melukai lebih dari 500 lainnya, menjadi bukti nyata betapa berbahayanya gas air mata.

"Kita masih ingat di Kanjuruhan, kita masih ingat di Rempang dan kemarin di Semarang. Jadi dari konteks di mana ini digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi sangat berbahaya, dan bahkan membahayakan kesehatan dan nyawa," jelas Direktur YLBHI Muhammad Isnur kepada Suara.com, Senin (2/9/2024).

Isnur menyatakan bahwa polisi sering menggunakan gas air mata bukan hanya untuk membubarkan massa, tetapi juga untuk memburu, menangkap, dan menyiksa demonstran.

Selama aksi Peringatan Darurat-Kawal Putusan MK, lebih dari 100 orang terluka di Bandung, beberapa di antaranya harus dilarikan ke rumah sakit akibat kekerasan aparat dan penggunaan gas air mata yang berlebihan.

Di Jakarta, ratusan orang ditangkap, dengan beberapa korban mengalami patah tulang akibat penyiksaan oleh polisi dan TNI.

Di Semarang, 33 demonstran terluka, mengalami sesak napas, atau pingsan, sebagian harus dilarikan ke rumah sakit akibat kekerasan dan penggunaan gas air mata yang brutal.

"Mudah-mudahan KPK bergerak cepat dan mencegah kembali dugaan pidana-pidana korupsi ini. Kemudian DPR juga mencegah penggunaan (gas air mata secara berlebihan) ini terus-menerus berjalan," tutur Isnur. 

Senada dengan Isnur, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan atau PSHK Bugivia Maharani menilai penggunaan gas air mata secara berlebihan yang dilakukan aparat kepolisian sebagai bentuk ancaman terhadap kebebasan sipil.

Padahal gerakan masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya lewat aksi Reformasi Dikorupsi 2019, Omnibus Law 2020, hingga Peringatan Darurat-Kawal Putusan MK merupakan bentuk kritik yang dijamin oleh konstitusi. 

"Seharusnya DPR memiliki kewenangan untuk memberikan tindakan yang tegas kepada kepolisian, karena ini kan menggunakan keuangan rakyat dan keuangan negara," ujar Rani.

Catatan Hitam KontraS

Massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya saat menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung KPU RI Jakarta, Jumat (23/8/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya saat menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung KPU RI Jakarta, Jumat (23/8/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS)  mencatat setidaknya ada 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri dari Juli 2023 hingga Juni 2024. Deretan peristiwa ini mengakibatkan 759 korban luka dan 38 korban tewas.

Laporan itu dirilis bertepatan dengan Hari Bhayangkara ke-78 pada 1 Juli 2024. Dalam periode yang sama, KontraS juga mencatat 75 pelanggaran terhadap kebebasan sipil oleh Polri, termasuk 36 pembubaran paksa, 24 penangkapan sewenang-wenang, dan 20 tindakan intimidasi.

Alih-alih menjaga ketertiban, Polri kerap digunakan untuk membungkam warga yang mempertahankan ruang hidup dan haknya. Hal itu seperti diutarakan Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya.

Dimas menjelaskan, ada tiga faktor penyebabnya;  warisan budaya kekerasan Orde Baru, minimnya pengawasan dan akuntabilitas, serta ego sektoral antar lembaga penegak hukum.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menambahkan bahwa jurnalis juga menjadi korban represifitas, termasuk penggunaan gas air mata berlebihan. Dalam aksi Peringatan Darurat-Kawal Putusan MK, 11 jurnalis mengalami intimidasi dan kekerasan oleh aparat.

"LBH Pers bersama AJI Jakarta itu mencatat setidaknya ada 11 jurnalis yang menjadi korban intimidasi, kekerasan fisik, maupun ketika melakukan pendokumentasian kekerasan, teman-teman jurnalis juga terkena gas air mata," beber Ade kepada Suara.com, Senin (2/9/2024).

Senada dengan Ade, Ketua Advokasi AJI Jakarta Sonya Andomo menilai tindakan kekerasan dan penggunaan gas air mata secara berlebihan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap masyarakat sipil dan jurnalis merupakan bagian dari pelanggaran HAM berat. 

"Kita sama-sama mengecam tindakan tersebut," tegas Sonya. 

Dihubungi terpisah juru bicara KPK, Tessa Mahardika mengklaim pihaknya akan terlebih dahulu mengverifikasi aduan yang disampaikan RFP. Setelah tahap verifikasi kemudian akan dilakukan penelaahan dan pengumpulan informasi. 

"Bila dinyatakan layak untuk ditindak lanjuti, maka akan diproses ke tingkat penyelidikan. Dan bila belum layak, akan diminta pelapor untuk melengkapi lagi kekurangannya," jelas Tessa kepada Suara.com, Senin (2/9/2024).

Suara.com juga telah berupaya menghubungi Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho terkait adanya laporan ini. Namun hingga kekinian yang bersangkutan belum memberikan keterangan.