Suara.com - Dharma Pongrekun dan Kun Wardana berhasil lolos di ‘tikungan terakhir’ pendaftaran Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Independen. Komisi Pemilihan Umum Daerah atau KPUD Jakarta menyatakan pasangan itu memenuhi syarat. Mereka berhak mengikuti proses selanjutnya selanjutnya untuk maju sebagai calon pemimpin Jakarta.
Pasangan calon independen ini, mendaftarkan diri sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada malam terakhir pendaftaran, Minggu, 12 Mei 2024. Dharma, mantan jenderal polisi bintang tiga, dan Kun Wardana, seorang wiraswasta, adalah satu-satunya pasangan independen yang maju dalam Pilkada Jakarta.
Untuk lolos, mereka harus memenuhi syarat dukungan minimal 7,5% dari 8,2 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) Jakarta, setara dengan 618.968 dukungan. Namun, saat verifikasi administrasi awal, pasangan ini gagal memenuhi syarat.
Dari 1.229.777 dukungan yang diunggah ke Sistem Informasi Pencalonan (Silon), hanya 447.469 yang dinyatakan memenuhi syarat, jauh di bawah batas minimal. Pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana tidak berhenti. Mereka menggugat ke Bawaslu dan akhirnya dinyatakan lolos.
Mereka melanjutkan ke verifikasi faktual. Namun mereka kembali dinyatakan belum memenuhi syarat. Hanya 183.043 dukungan yang lolos dari total 721.221.
KPU memberi kesempatan perbaikan pada 25-27 Juli 2024. Setelah verifikasi administrasi dan faktual ulang, Dharma-Kun akhirnya dinyatakan lolos sebagai calon gubernur dan wakil gubernur independen di Pilkada Jakarta 2024.Pasangan Dharma dan Wardana berhasil mengantongi dukungan sebanyak 677.468 KTP.
Belakangan masyarakat protes. Data mereka dicatut tanpa sepengetahuan untuk memberikan dukungan kepada Dharma dan Wardana.
Warga Jakarta melaporkan dugaan penyalahgunaan KTP mereka untuk mendukung pencalonan Dharma-Kun di Pilkada Jakarta. Hingga Senin (19/8), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) telah menerima 395 aduan terkait penyalahgunaan nomor induk kependudukan (NIK).
Keluarga Anies hingga Vincent Dicatut
Salah satu warga yang datanya dicatut ialah jurnalis Suara.com, Dea. Ia tak tinggal diam atas penyalahgunaan data pribadi itu. Dea langsung menghubungi salah satu anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu. Namun, pesan yang dikirimkannya, tidak direspons.
Dea mengaku bukan pendukung pasangan Dharma-Kun. Dia tidak pernah memberikan salinan KTP miliknya kepada relawan Dharma-Kun.
Dugaan pencatutan data pribadi juga menimpa Mikail Azizi Baswedan, putra Anies Baswedan, salah satu bakal calon gubernur Jakarta. Meski Anies bersyukur KTP-nya tak dicatut, kasus serupa dialami mantan penyidik KPK, Aulia Postiera, yang mengetahui penyalahgunaan datanya pada Jumat (16/8).
"Yang terjadi ini adalah bentuk pencurian dan penyalahgunaan data pribadi. Saya tidak terima data pribadi saya digunakan tanpa izin," tegas Aulia.
Aulia pun lantas menegaskan akan menempuh upaya hukum dengan membuat laporan ke kepolisian.
Pencatutan data pribadi itu tak pandang bulu. Nama selebritas Vincent Rompies dan novelis Ahmad Fuadi ikut disalahgunakan sebagai pendukung Dharma-Kun. Vincent mengungkapkan kekesalannya lewat Instagram.
Sementara Fuadi mengetahui pencatutan tersebut setelah bertemu aktor Fedi Nuril yang juga menjadi korban. Setelah memeriksa di laman KPU, Fuadi menemukan nama dirinya dan empat anggota keluarganya dicatut. Ia pun mempertanyakan verifikasi yang dilakukan KPUD Jakarta.
"Apa diterima apa adanya saja atau pengecekan random kepada pemilik KTP? Lalu siapa pelaku pencatutan ini? Kalau banyak kasus pencatutan ini, sebaiknya Bawaslu provinsi menyediakan cara penarikan dukungan yang lebih mudah, misalnya via online.Tidak semua orang sempat melapor sendiri," katanya lewat akun Instagram @Afuadi.
KPU Jakarta Bantah Kecolongan
Persyaratan pencalonan independen diatur dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024. Dokumen dukungan harus disertai formulir B.1-KWK-PERSEORANGAN yang dilampiri fotokopi KTP-el dan ditandatangani pendukung. KPU melakukan verifikasi dokumen ini untuk memastikan keabsahan dan mencegah kegandaan dukungan.
Namun, banyak warga yang merasa data mereka dicatut tanpa pernah menandatangani formulir tersebut, termasuk Dea dari Jakarta, keluarga Anies Baswedan, dan beberapa tokoh seperti Aulia Postiera, Vincent Rompies, Fedi Nuril, serta Ahmad Fuadi.
Mereka semua menyatakan keberatan atas pencatutan ini di media sosial, menguatkan kecurigaan terhadap proses verifikasi KPU. Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU Jakarta Dody Wijaya membantah pihaknya kecolongan.
"Kalau ada dugaan-dugaan pelanggaran, ya silakan. Nanti kami juga akan memproses lebih lanjut kalau ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan jajaran kami di bawah," katanya di KPU Jakarta pada Selasa (20/8/2024).
KPU Jakarta tetap meloloskan pasangan Dharma-Kun meski ada polemik pencatutan KTP. Dari 650 laporan, 247 data sudah dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS), tetapi belum ter-update di laman infopemilu, sementara 403 data lainnya dihapus, mengurangi dukungan Dharma-Kun menjadi 677.065—masih memenuhi syarat minimal 618.968.
Ketua Bawaslu Jakarta, Munandar, berjanji akan memproses dugaan pencatutan sesuai hukum. Tetapi ia tidak menanggapi kemungkinan pembatalan pencalonan. Sementara itu, Dharma mengklaim dukungan dikumpulkan oleh relawan.
"Jadi kami tidak terjun langsung," ujarnya.
Kebocoran Data KPU
Ketua Cyberity Arif Kurniawan menilai pencatutan data pribadi ratusan warga DKI Jakarta sebagai pendukung Dharma-Kun tak bisa dipisahkan dari kasus dugaan kebocoran data KPU pada November 2023 lalu.
"Yang jadi pertanyaan dia dapat data dari mana?," kata Arif saat berbincang dengan Suara.com.
Dalam kasus tersebut diduga 204 juta data daftar pemilih tetap atau DPT bocor. Data tersebut diduga diperjualkan beli di situs di dark web. Arif menyebut di dark web data yang beredar di antaranya bentuk salinan KTP. Jumlahnya dikatakannya bukan hanya ribuan, melainkan mencapai ratusan juta warga.
"Kalau mau ngomong, itu bocornya bukan sekarang, namun sudah lama sebenarnya, yakni pada (kasus November) 2023," jelasnya.
Arif mendesak KPU untuk memperkuat sistem IT dan pertahanan data untuk mencegah terulangnya kasus pencatutan data pribadi seperti yang terjadi saat ini.
Meski Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi sudah ada, belum ada lembaga khusus yang menangani penegakan hukum terkait kebocoran data.
Sebenarnya, menurut Arif, kewenangan itu bisa dilakukan oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Mengingat BSSN memiliki tanggung jawab dan tugas di bidang keamanan siber dan sandi.
Arif juga mengusulkan pembentukan lembaga perlindungan data pribadi di Indonesia, yang bisa menekan KPU untuk lebih ketat dalam pengelolaan data.
Lebih lanjut, dia menilai Dharma-Kun bertanggung jawab atas pencatutan data KTP warga Jakarta, yang diduga demi kepentingan politik mereka di Pilkada Jakarta. Arif juga menyesalkan keputusan Polda Metro Jaya yang menghentikan penyelidikan atas laporan kebocoran data.
Pihak kepolisian menghentikan penyidikan kasus pencatutan data pribadi dengan alasan bahwa tindak pidana tersebut diatur khusus dalam Pasal 185 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang menyebutkan bahwa hanya Bawaslu yang berwenang menangani pelanggaran pemilihan.
Polisi mengacu pada asas hukum pidana khusus yang menyatakan bahwa Bawaslu adalah lembaga penerima laporan pelanggaran pemilihan, sementara Polri hanya menerima penerusan dari Bawaslu.
Namun, Arif berpendapat bahwa kasus ini dapat dijerat menggunakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, yang melarang perolehan, pengungkapan, dan penggunaan data pribadi tanpa izin.
Dalam regulasi itu disebutkan, bahwa ‘Setiap Orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi.
Dalam ayat berikutnya juga disebut, ‘Setiap Orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya.” Serta dilarang dilarang secara melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya.
Di samping itu, Arif juga menyoroti bahwa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa data pribadi harus digunakan dengan persetujuan orang yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
"Ini sudah termasuk dalam kategori penyalahgunaan data pribadi, ini sudah pidana. Sudah memenuhi unsur pidana," tegas Arif.
Dia lantas menilai, sikap Polda Metro Jaya yang memilih menghentikan penyelidikan perkara ini, karena sejumlah keterbatasan. Pertama, dikatakannya, kepolisian masih gagap memahami dunia digital.
"Jadi di sini ada undang-undang, tetapi tidak bisa dinalar dengan baik karena ada kegagapan teknologi itu di sana. Kegagapan mengimplementasikan hukum yang ada dengan teknologi," jelasnya.
Keterbatasan kedua, karena kebocoran data sulit dipahami oleh orang awam dan memerlukan pengetahuan hukum serta teknis digital. Sedangkan ketiga, Polri kekurangan sumber daya manusia dengan keahlian dalam perlindungan dan keamanan siber.
"Serius enggak ada, saya enggak bohong. Kalau enggak percaya datang saja ke sana, tanya siapa yang disini yang bisa belajar cyber security, data protection, bisa hukum indonesia di saat yang sama," ujarnya.
"Siapa yang bisa? Jangankan master, sarjana saja, ada enggak yang punya triple combo begitu. Enggak ada, itu yang masalah serius," tegasnya.
Tak Bisa Dibenarkan
Pengajar ilmu hukum Pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini menilai dugaan pencatutan KTP yang tengah terjadi di Jakarta tak bisa dibenarkan. Meski diakuinya, syarat jumlah pendukung yang harus dipenuhi seperti termuat dalam Undang-Undang 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, tergolong berat.
"Karena Pilkada membutuhkan kontestasi, kompetisi, dan proses penyelenggaraan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan demokratis," kata Titi.
Titi menilai, dugaan pencatutan tersebut bertentangan dengan prinsip penyelenggaran pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau Luber-Jurdil.
Menurutnya hal itu kemudian menurutnya akan berdampak ke depan, saat pasangan perseorangan yang melakukan kecurangan terpilih.
"Bukan tidak mungkin atau besar kemungkinan manipulasi-manipulasi berikutnya juga akan terjadi saat yang bersangkutan memimpin. Karena ada toleransi terhadap perilaku koruptif," katanya.
"Manipulasi penyalahgunaan data itu kan adalah perilaku koruptif karena melakukan kebohongan, penghianatan terhadap publik yang tidak mendukung tapi dicatut," sambungnya.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.