Duit Rp1 Miliar Buat Keluarga Korban Penculikan 98, Cuci Dosa Prabowo Subianto Jelang Dilantik

Duit Rp1 Miliar Buat Keluarga Korban Penculikan 98, Cuci Dosa Prabowo Subianto Jelang Dilantik


Suara.com - Prabowo Subianto berupaya membungkam penyintas dan keluarga korban penculikan/penghilangan paksa 1997-1998. Melalui dua anak buahnya, Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman, secara diam-diam mengumpulkan sejumlah penyintas dan keluarga korban di sebuah hotel bintang lima di bilangan Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, masing-masing orang diberi uang 'tutup mulut' Rp1 miliar.   

Tindakan itu dinilai bentuk pencucian dosa Prabowo sebelum dilantik sebagai presiden 21 Oktober mendatang. Lantas bagaimana sikap penyintas dan keluarga korban penculikan/penghilangan paksa yang lain? 

***

MENJELANG magrib Zaenal Muttaqin alias Jejen menerima telepon dari Fajar Merah. Ketika itu Jumat, 2 Agustus 2024, putra bontot Wiji Thukul itu menanyakan keberadaan kakaknya, Fitri Nganthi Wani. Ia panik, sudah dua hari Wani tak ada kabar.

Kepada Jejen, Fajar bercerita Wani yang tinggal di Solo, Jawa Tengah sempat memberi kabar akan ke Jakarta. Tujuannya menghadiri acara temu kangen dengan keluarga korban kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998 atas undangan Mugiyanto Sipin. Mugiyanto merupakan salah seorang aktivis korban penculikan 1998 yang selamat dan kini menjabat sebagai tenaga ahli di Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP).

"Ini pertemuannya di mana mas?" tanya Fajar kepada Jejen.

Jejen terperanjat, sebab sebagai Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) ia tidak mengetahui adanya acara tersebut. Berusaha membantu Fajar, Jejen kemudian mencari tahu keberadaan Wani. Ia bertanya ke grup WhatsApp IKOHI yang beranggotakan penyintas serta keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998. Tapi tidak satupun yang menjawab. 

Jejen berinisiatif menghubungi Paian Siahaan, ayah Ucok Munandar Siahaan. Ucok merupakan aktivis 1998 yang hilang dan belum ditemukan hingga saat ini.

"Pak Paian lagi di Jakarta sama Mugi dan kawan-kawan nggak?" tanya Jejen.

"Nggak Pak," jawab Paian. 

"Fajar panik mencari kakaknya sudah dua hari ini. Benar nggak lagi sama Wani? Ini Fajar lagi panik ini," ujar Jejen. 

Tak sanggup menutup-nutupi, Paian akhirnya mengaku. Dirinya, Wani dan beberapa keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998 lainnya sedang bersama Mugiyanto. 

"Iya, Pak. Saya lagi di salah satu hotel di Senayan tapi saya nggak bisa nyebut," jawab Paian seraya menutup teleponnya.

Saat itu, Jejen berupaya menghubungi Mugiyanto. Tapi Mugiyanto tak memberikan jawaban. 

Jejen putar otak. Ia meminta tolong beberapa orang yang memiliki hubungan dekat dengan salah satu keluarga korban untuk mencari tahu keberadaannya. 

Singkat cerita Jejen mendapat informasi dari orang dekat Utomo Rahardjo. Utomo merupakan ayah Bimo Petrus, aktivis 98' korban penculikan yang belum ditemukan hingga saat ini.

Kepada orang dekatnya, Utomo mengaku sedang berada di Hotel Fairmont. Jejen setelah mengetahui informasi itu curiga ada orang 'besar' di balik agenda pertemuan itu.

"Hotelnya kan mewah, ini pasti ada sesuatu pertemuan yang dirahasiakan dengan orang besar kalau di situ," tutur Jejen saat ditemui Suara.com di Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (8/8/2024).

Kecurigaan Jejen itu akhirnya terbukti. Beberapa penyintas penculikan dan penghilangan paksa 97'-98' tersebut belakangan diketahui bertemu dengan dua anak buah Prabowo Subianto yang merupakan petinggi Partai Gerindra, yakni Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman. 

Duit Tutup Mulut Rp1 Miliar

Jejen mengungkapkan, pertemuan antara penyintas serta keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 97'-98' itu telah direncanakan Mugiyanto jauh-jauh hari. Bahkan, sebelum Prabowo Subianto terpilih sebagai presiden 2024-2029. Tujuannya untuk meredam isu pelanggaran HAM berat masa lalu terkait penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis pada 1997/1998 yang melibatkan Prabowo. Kala itu Prabowo menjabat sebagai Danjen Kopassus TNI Angkatan Darat. 

"Jadi ini rencana yang sudah lama diadakan oleh Mugiyanto sebagai orang KSP dengan teman-teman relawan pendukung Prabowo," ungkap Jejen. 

Selain itu, kata Jejen, Prabowo sebenarnya direncanakan akan menemui langsung para keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 97'-98'. Namun, karena sepulang dinas dari luar negeri Prabowo dipanggil Presiden Joko Widodo maka pertemuan itu akhirnya diwakilkan Dasco dan Habiburokhman. 

"Itu didesain dari tanggal 1 sampai 4 Agustus 2024. Terakhir itu endingnya adalah salaman dengan Prabowo," kata dia.

Sementara berdasar keterangan yang diterima dari salah seorang keluarga korban yang ikut dalam pertemuan itu, Jejen menyebut pada Kamis, 1 Agustus 2024 mereka awalnya diberi arahan oleh Mugiyanto. Ketika itu Mugiyanto menyampaikan kepada para keluarga korban yang berasal berbagai daerah itu akan ada pemberian uang tali asih. 

Sampai pada akhirnya pertemuan itu berlangsung pada Jumat, 2 Agustus 2024. Dalam pertemuan itu para keluarga korban diberikan uang tunai masing-masing senilai Rp1 miliar. 

"Uangnya cash," beber Jejen. 

Informasi yang diterimanya itu, kata Jejen, serupa dengan isi percakapan pesan WhatsApp antara Fajar dan Mugiyanto. Tangkapan layar terkait isi percakapan tersebut sempat diunggah Fajar di akun Instagram @fajarmerah_.

Dalam tangkapan layar ponsel itu Fajar mengatakan kepada Mugiyanto sempat ditawarkan uang oleh kakaknya, Wani sebesar Rp500 juta. Tapi Fajar tegas menyatakan kepada Mugiyanto tidak sudi menerima uang tersebut. Fajar juga meluapkan kekecewaannya karena tak menyangka harga diri Mugiyanto semurah itu. 

Selain Fajar, lanjut Jejen, Novridaniar Dinis anak kandung Yadin Muhidin, aktivis 98' korban penculikan juga sempat ditawari uang oleh tantenya, Nina. Nina merupakan adik kandung Yadin yang ikut bertemu Dasco dan Habiburokhman di Hotel Fairmont. 

Dinis sempat menanyakan asal usul uang tersebut. Sebab ia tidak mengetahui kalau tantenya bertemu dengan Dasco dan Habiburokhman. Kepada Dinis, Nina mengaku uang tersebut merupakan tanda kasih dari Prabowo. Namun Mugiyanto berpesan agar hal ini jangan sampai 'bocor'.

"Dari dulu Dinis ini menolak PPHAM (Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu) non-yudisial. Dia mau melalui mekanisme yudisial. Jadi dia nggak mau menerima uang itu," ujar Jejen.

"Jadi ini memang, pertama sudah direcarakan lama. Kedua, ini murni Mugiyanto yang mengorganisir itu. Semua mengakui bahwa yang undang Mugiyanto," imbuhnya. 

Pola transaksional semacam ini menurut Jejen juga pernah terjadi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti Targedi Tanjung Priok dan Talangsari. 

Sama seperti Fajar, Jejen mengungkapkan kekecewaannya pada Mugiyanto karena merasa dikhianati. Apalagi tak banyak orang yang mengetahui kalau Mugiyanto sejak 2014 lalu sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua IKOHI. 

"Itu yang kemudian kami merasa dipermalukan, karena bagaimanapun banyak teman-teman di luar sana yang menganggap ini pasti atas sepengetahuan IKOHI," ucapnya. 

Manuver Culas Petualang Politik

Sementara adik kandung Wiji Thukul, Wahyu Susilo menilai pertemuan beberapa keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 97'-98' dengan Dasco dan Habiburokhman merupakan pertemuan yang tidak setara. Sebab selain dilakukan secara diam-diam, para keluarga juga dijebak karena tidak diberitahu agenda sebenarnya sejak awal oleh Mugiyanto. 

Mugiyanto, menurut Wahyu mengelabui para keluarga korban yang hadir dengan menyebut kegiatan tersebut merupakan reuni keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 97'-98'. Selain itu Mugiyanto juga menutup komunikasi antara keluarga yang hadir dengan keluarga lainnya. 

"Ini adalah manuver-manuver para petualang politik yang saya kira secara kasar bisa dikatakan mereka menjual korban dan kita tahu posisi relasi mereka (korban) tidak setara," kata Wahyu. 

Wahyu menegaskan kehadiran beberapa keluarga korban dalam pertemuan itu tidak merepresentasikan para keluarga korban yang hingga kini masih konsisten menuntut pertanggungjawaban negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. 

"Posisi kami jelas bahwa Prabowo Subianto harus tetap bertanggung jawab dalam kasus penghilangan paksa aktivis 97'-98' ataupun juga kasus-kasus pelanggaran HAM lain," ujarnya. 

Senada dengan Wahyu, Dinis mengaku tidak mengetahui adanya pertemuan itu. Dia justru baru mengetahui pertemuan yang turut dihadiri tantenya Nina tersebut dari pemberitaan media massa. 

"Mungkin Mas Mugi mengkoordinasi pertemuan itu nggak tahu bagaimana caranya. Tapi intinya saya itu tidak bisa menyederhanakan segala bentuk bantuan yang diberikan negara dalam bentuk bansos terkait penyelesaian kasus bapak saya," ujar Dinis. 

Karena itu, Dinis menuntut negara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. 

"Cara menyelesaikannya itu dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dibentuknya tim pengadilan ad hoc dan pembentukan tim kebenaran itu aja. Bukan dari Partai Gerindra," tuturnya. 

Dalam kesempatan yang sama Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menilai pertemuan tersebut merupakan upaya sistematis Prabowo untuk membungkam keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 97'-98'. 

Penilaiannya itu didasari tiga fakta. Pertama pertemuan dilakukan secara diam-diam dan memutus komunikasi keluarga korban yang hadir dengan keluarga lainnya, kedua pertemuan didokumentasikan dan disebar Dasco di media sosial yang diduga tujuannya untuk mengafirmasi seolah-olah sudah terjalin hubungan baik antara pelaku pelanggaran HAM dengan keluarga korban, ketiga terkait pemberian uang tali asih.

Sekretaris Jenderal PBHI, Gina Sabrina menyebut upaya sistematis tersebut bagian dari 'cuci dosa' Prabowo sebelum dilantik sebagai presiden pada 21 Oktober 2024 mendatang. 

"Jadi di sisa-sisa waktu terakhir, momentum-momentum ini digunakan untuk mengemas dan mencuci dosa," kata Gina. 

PBHI, lanjut Gina, bersama keluarga korban yang tidak hadir seperti Dinis dan Wahyu menegaskan akan tetap mendorong negara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai hukum yang berlaku. Sebab apa yang terjadi dalam pertemuan antara beberapa keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998 dengan Dasco dan Habiburokhman tidak sesuai dengan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. 

"Salah satunya pengungkapan kebenaran. Bagaimana mau memenuhi hak korban dan lainnya kalau hak paling dasar mengenai pengungkapan kebenaran seperti korban ini dia di mana? Apa masih hidup atau tidak? Kalau itu saja tidak diungkapkan, bagaimana dengam hak-hak lainnya," jelas Gina. 

Terima Uang Tali Asih

Kepada Suara.com, Paian ayah Ucok, mengakui adanya pemberian uang tali asih dari Prabowo yang diserahkan kepada pihak keluarga korban dalam pertemuan di Hotel Fairmont. Namun Paian enggan menyebutkan nominalnya. 

Paian mengklaim alasan ia menerima uang tali asih tersebut karena sesuai dengan Keputusan Presiden atau Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.

"Soal angka menurut saya nggak etis diberi tahu, yang penting payung hukumnya jelas," kata Paian pada Jumat (9/8). 

Paian juga mengklaim pertemuan dengan Dasco dan Habiburokhman tersebut atas permintaan para keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 97'-98'. Ia pun membantah pernyataan Jejen yang sebelumnya mengaku mendapat informasi bahwa pertemuan itu telah direncanakan Mugiyanto sebelum Prabowo terpilih sebagai presiden. 

"Kami yang meminta pertemuan itu tentunya kami minta setelah Prabowo menang hampir 58 persen. Jadi nggak mungkin sebelum pilpres (2024), di mana logikanya?" sangkal Paian. 

Sedangkan, Dasco membantah adanya pemberian uang tali asih sebesar Rp1 miliar dari Prabowo kepada para keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 97'-98' yang hadir dalam pertemuan di Hotel Fairmont. 

"Nggak ada," singkat Dasco kepada Suara.com, Jumat (9/8).

Sebelumnya, Dasco mengklaim datang dalam pertemuan tersebut atas tawaran Mugiyanto dan Aan Rudianto. Kedua aktivis 98' korban penculikan yang selamat itu awalnya memberitahu akan berkumpul dengan para keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 97'-98' di Jakarta dan mengundang Dasco untuk hadir dalam rangka silaturahim. Dasco lantas menerima tawaran itu. Ia juga mengklaim sebelum dirinya hadir para keluarga korban telah diberi tahu dan tidak ada penolakan. 

Dalam pertemuan tersebut, Dasco mengaku turut menyampaikan rasa keprihatinan kepada keluarga korban dan berharap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme non-yudisial berjalan dengan baik. 

Sementara Mugiyanto saat dikonfirmasi Suara.com enggan menanggapi polemik tersebut. 

“Kalau waktunya pas dalam waktu dekat kami akan sampaikan penjelasan,” kata Mugiyanto baru-baru ini.

Adapun Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP), Rumadi Ahmad mengaku pertemuan antara keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 97'-98' dengan Dasco dan Habiburokhman yang disebut-sebut atas inisiasi Mugiyanto tidak terkait dengan KSP. Rumadi juga menilai hal tersebut bagian dari hak Mugiyanto yang juga merupakan salah satu korban penculikan aktivis 98'.

"Itu inisiatif pribadi (Mugiyanto) dan hak dia sebagai bagian dari korban," pungkas Rumadi kepada Suara.com, Jumat (9/8).