Suara.com - Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di sebuah daycare di Depok, Jawa Barat menjadi sorotan publik. Meski kini pelaku sudah mendekam sebagai tersangka, bukan berarti kasus serupa tak akan terulang. Hal ini mengingat masih banyak daycare di Jabodetabek yang tak layak, ilegal, dan tenaga pengurus yang tak kompeten.
Di sisi lain, mengakses daycare dengan kualitas baik adalah kemewahan. Harganya seringkali tak terjangkau bagi upah pekerja di Jabodetabek yang pas-pasan. Orang tua pekerja di Jabodetabek mau tak mau harus memilih: daycare berkualitas dengan harga tak terbeli, atau daycare murah tak layak dengan bayang-bayang kekerasan terhadap anak.
Lantas, mengapa pemerintah belum juga hadir memberikan intervensi?
***
Bambang (32) adalah pendatang di Jakarta. Ayah satu anak ini berasal dari Nusa Tenggara Barat. Istrinya berasal dari Jawa Tengah. Keduanya menetap di kawasan Jakarta Timur, bersama putri kecil mereka yang berusia dua tahun delapan bulan. Bambang merupakan pekerja swasta, sementara istrinya ASN di salah satu instansi pemerintahan.
Karena keduanya sesama pekerja, dan orang tua mereka berada di kampung halaman, tak ada pilihan lain bagi mereka untuk urusan pengasuhan anak.Tempat penitipan anak atau daycare mau tak mau mereka pilih.
Setiap pagi, Bambang harus bergegas mengantar buah hatinya ke tempat daycare. Jaraknya sekitar lima kilometer dari tempat tinggal mereka. Dia dan istrinya berbagi tugas; urusan mengantar anak jadi tanggung jawab Bambang, karena jam kerjanya yang lebih fleksibel. Sedangkan sang istri menjemput seusai pulang kerja pada sore hari.
Bambang tak ingin mengeluh, memiliki anak baginya tanggung jawab seumur hidup yang akan dipikulnya. Meski, ia dan pasangannya sama-sama pekerja, namun pengeluaran untuk biaya daycare anaknya cukup memberatkannya. Untuk satu bulan, dia harus mengeluarkan biaya sekitar Rp2,7 juta. Ini belum ditambah kebutuhan anak lainnya seperti susu, dan popok. Sementara pendapatan bersih gabungan mereka sekitar Rp12 juta per bulan.
Penghasilan itu juga harus mereka bagi untuk biaya lain, seperti cicilan rumah sekitar Rp2,2 juta, listrik, air, dan lain-lain yang total seluruhnya mencapai sekitar Rp 3 juta.
"Ditambah lagi kalau anak sakit," kata Bambang kepada Suara.com.
Praktis uang yang tersisa sekitar Rp 6 juta. Uang itu kemudian mereka gunakan untuk kebutuhan belanja rumah seperti makan dan kebutuhan mereka bekerja. Selain itu, Bambang dan istrinya juga merasa memiliki tanggung jawab untuk meringankan orang tua mereka di kampung halamannya masing-masing.
Lain lagi, jika putrinya sakit. Mau tak mau mereka harus mengatur keuangannya, agar seluruh kebutuhan dasar dan mendadak dapat terpenuhi. Meski demikian, Bambang dan istrinya tetap berusaha untuk menabung, meski jumlahnya juga tak banyak.
"Tapi kadang kepakai juga, kalau liburan," kata Bambang kepada Suara.com.
Bambang, bukan tidak mencoba alternatif lain untuk menekan biaya pengasuhan buah hatinya. Mereka sudah beberapa kali berganti tempat penitipan anak.
Setelah istrinya kembali bekerja pasca cuti tiga bulan melahirkan, Bambang menitipkan buah hatinya di sebuah daycare. Namun, daycare tersebut kurang layak. Beberapa kali Bambang mendapati bentolan di tubuh anaknya, diduga akibat gigitan semut atau nyamuk. Kebersihan tempat itu juga kurang memadai.
Memang benar ada harga ada kualitas. Bambang mengakui, biaya daycare pertama putrinya cukup murah, hanya Rp 1,6 juta per bulan untuk lima hari kerja.
Setelah pengalaman buruk di daycare pertama, Bambang dan istrinya memutuskan mencari tempat lain. Mereka berpindah daycare tiga kali. Tetapi semua tempat tersebut memiliki masalah seperti anak sering sakit, rewel, dan kondisi lingkungan yang tidak memadai.
Mereka mencoba alternatif lain, termasuk menggunakan pengasuh bayi. Namun kejadian tak menyenangkan justru terjadi. Pengasuh di rumah mencuri. Ia juga pernah menitipkan anak ke tetangga. Tetapi keputusan itu ia timbang ulang karena suami sang pengasuh merokok di dalam rumah.
Di tengah masalah pengasuhan, Bambang sempat berpikir agar salah satu dari mereka berhenti bekerja demi mengurus anak. Namun, itu keputusan berat. Karena artinya mereka harus siap hidup dengan satu penghasilan. Pas-pasan.
Mereka akhirnya menemukan daycare layak. Walau biayanya nyaris setengah dari gaji Bambang per bulan. Di daycare yang baru ini, anaknya terlihat lebih ceria dan aktif, dengan tumbuh kembang yang baik. Para pengasuhnya lebih profesional dan terbuka menerima kritik.
Contohnya, saat Bambang protes karena anaknya ditempatkan di ruangan yang sama dengan anak yang sedang sakit, pihak daycare segera melakukan evaluasi dan memisahkan ruangan untuk anak yang sakit.
..................................
Masalah biaya penitipan anak juga menjadi keresahan Alna (29). Pekerja satu anak ini hampir menitipkan buah hatinya ke daycare Wensen yang viral karena tindak kekerasan pemiliknya.
Alna sudah menitipkan anaknya di daycare lain. Tetapi lokasi daycare Wensen yang dekat rumahnya di Depok dan biaya lebih terjangkau membuatnya sempat kepincut. Daycare Wensen menawarkan tarif Rp 1,3 juta per bulan dengan uang pendaftaran Rp 1 juta untuk penitipan lima hari seminggu, sedangkan daycare yang digunakan Alna saat ini mengenakan Rp 2,1 juta per bulan untuk tiga hari seminggu.
Alna akhirnya mendatangi Daycare Wensen di Jalan Putri Tunggal, Harjamukti, Cimanggis, Depok pada suatu akhir pekan.
Saat survei, Alna menemukan hal janggal. Kala itu memang hari libur di Daycare Wensen. Tetapi staf seperti guru dan pengasuh tampak membersihkan tempat itu. Menurut Alna, tugas mereka sebagai guru dan pengasuh sudah berat, dan akan menjadi lebih berat jika mereka harus membersihkan juga.
"Aku enggak kebayang sih capeknya seperti apa. Jadi itu yang bikin aku ragu. Karena menurut aku, kalau guru capek, guru lelah, bagaimana anaknya yang diawasin?" kata Alna kepada Suara.com.
Tempat penitipan anak tersebut kotor. Akses CCTV juga tidak diberikan kepada orang tua. Padahal beberapa beberapa daycare lain memberikan keleluasaan bagi orang tua untuk memantau jarak jauh lewat CCTV. Halaman yang sempit dan keterbatasan permainan luar ruangan juga menjadi kekurangan.
Dengan berbagai pertimbangan, Alna memutuskan tidak menitipkan anaknya di Daycare Wensen. Beberapa pekan kemudian, kasus kekerasan terjadi di sana. Pelakunya Meita Irianty alias Tata Irianty, yang tak lain pemilik Daycare Wensen.
Alna mengakui, daycare menjadi kebutuhan dasar bagi dia dan suami yang sama-sama bekerja di Jakarta. Mereka berdua tinggal di Depok. Mengandalkan mertua yang sakit-sakitan untuk menjaga anak juga bukan pilihan bijak. Sementara berhenti bekerja demi mengurus anak juga terlalu berisiko di tengah situasi ekonomi saat ini.
"Artinya, ada harga, ada kualitas yang didapat," ujarnya.
Alna sempat mempertimbangkan memakai jasa pengasuh atau baby sitter, tetapi khawatir dengan tumbuh kembang anaknya dan tidak bisa mengawasi aktivitas pengasuh saat bekerja. Di daycare, anaknya mendapat pelatihan untuk merangsang tumbuh kembangnya.
.............................
Cerita lain datang dari Rizka Vardya. Ibu satu anak ini baru saja memutuskan berhenti bekerja dari profesinya sebagai jurnalis di sebuah media di Jakarta. Bersamaan dengan itu, anaknya tidak lagi menggunakan jasa daycare.
Pilihan ini diambil demi bisa mengurus buah hatinya yang berusia empat tahun. Rizka dan suaminya, sama-sama perantau dari Aceh. Mereka hanya tinggal bertiga di Depok. Suaminya bekerja di perusahaan fintech di Jakarta.
Berhenti bekerja bukanlah keputusan mudah bagi Rizka. Selama menjadi jurnalis, perempuan berusia 32 tahun ini dapat gaji di atas Rp 5 juta namun tidak mencapai Rp 6 juta setiap bulan. Sementara untuk pendidikan anaknya di PAUD, setiap bulan dia harus mengeluarkan sekitar Rp 1,7 juta, ditambah biaya daycare yang mencapai Rp 1 juta setiap bulan. Namun, seringkali Rizka membayar sampai Rp 1,5 juta karena overtime, mengingat profesinya sebagai jurnalis.
"Pasti kita kalau wartawan, ya, kadang narsumnya malam ya kita ikut malam, ya kan. Jadi kadang overtime," kata Rizka kepada Suara.com.
Selain itu, bekerja sebagai jurnalis tidak memungkinkannya memiliki waktu mencuci baju buah hatinya. Sehingga, mau tidak mau dia menggunakan jasa laundry yang memakan biaya Rp400 ribu setiap bulan. Belum lagi biaya transportasi anaknya pulang pergi dari rumah yang memakan biaya tidak sedikit.
Setelah melakukan penghitungan dan mengetahui sisa gaji yang tersisa, Rizka akhirnya memutuskan berhenti bekerja. Keputusan itu sekaligus mengakhiri jasa daycare yang selama ini digunakan.
Keputusan berhenti bekerja membawa konsekuensi keuangan rumah tangga mereka. Kini ia dan suami hanya bergantung pada satu penghasilan, sekitar Rp 10 juta setiap bulan. Uang itu mereka gunakan untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Namun demikian, demi mendapatkan penghasilan tambahan, Rizka tetap memilih bekerja sebagai freelancer.
Sebagai penulis lepas, Rizka mendapatkan penghasilan sekitar Rp 2 juta sebulan. Setidaknya, pendapatan itu dapat menutupi biaya pendidikan anaknya.
...........................
Sulitnya mendapatkan daycare yang layak dengan harga terjangkau menjadi keresahan bagi Deni dan istrinya. Sebagai pendatang di Kabupaten Bekasi dan sama-sama bekerja di Jakarta, mereka hanya bisa mengandalkan jasa daycare untuk mengurus anak.
Deni menyadari bahwa harga mempengaruhi kualitas daycare. Hal ini terbukti saat anaknya mengalami kecelakaan di daycare. Jari anaknya terjepit di pintu hingga nyaris putus, namun daycare tidak memiliki prosedur pertolongan pertama yang memadai. Jari anaknya hanya diperban dan tidak dibawa ke klinik atau rumah sakit. Akibatnya, jari anaknya hampir harus diamputasi dan harus dirawat di rumah sakit selama empat hari. Biaya daycare yang mereka bayar sekitar Rp 1,2 juta per bulan.
"Nah, di sini, fasilitas daycare itu enggak bagus, banyak bocah tapi dinding seperti di rumah biasa. Karena posisi daycare memang di perumahan. Jadi nggak dilapisi pengaman. Pintu juga pakai pintu kayu biasa, jadi kalau ada bocah main rawan kejepit," kata Deni kepada Suara.com.
Deni sempat ingin menuntut pertanggungjawaban, namun urung dilakukan. Meski begitu, ia meminta agar dilakukan renovasi untuk memastikan keamanan tempat tersebut bagi anak-anak. Permintaan tersebut langsung dipenuhi oleh pengelola daycare.
Deni sebenarnya ingin menempatkan anaknya di daycare yang lebih layak, namun harga menjadi kendala. Bahkan daycare yang mahal tidak selalu menjamin kelayakan. Karena itu, ia menekankan pentingnya regulasi dan intervensi dari pemerintah. Dengan regulasi yang jelas, pengelola daycare dan orang tua dapat memiliki standar yang sama untuk menilai kelayakan daycare. Selain itu, regulasi akan menyediakan prosedur yang jelas saat terjadi insiden.
Deni dan istrinya tidak mempertimbangkan salah satu dari mereka untuk berhenti bekerja karena alasan ekonomi. Oleh karena itu, regulasi dan intervensi pemerintah diharapkan dapat menghasilkan kebijakan harga daycare yang lebih terjangkau dan masuk akal.
Biaya Day Care yang Tinggi
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Suara.com, biaya daycare di Jabodetabek berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 7 juta per bulan. Penelitian "Social Policy and Practices of Childcare Services in Jakarta: An Assessment" oleh Kurniawati Hastuti Dewi dari BRIN juga menemukan rata-rata biaya daycare di Jakarta sekitar Rp 3 juta per bulan per bayi, yang dianggap terlalu mahal untuk keluarga rata-rata.
Harga itu umumnya ditentukan oleh fasilitas dan layanan yang disediakan, seperti ruangan ber-AC, tempat tidur individual, kolam renang, kamar mandi dengan pemanas air, serta program pengembangan anak. Untuk pelayanan biasanya meliputi satu pengasuh untuk dua anak, makanan dan snack, serta staf profesional. Lokasi juga mempengaruhi harga; daycare di pusat perkantoran Jakarta bisa mencapai Rp 3 juta hingga Rp 7 juta, seringkali hanya untuk tiga hari seminggu.
Seorang pengelola daycare di Bintaro, Jakarta Selatan, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan bahwa harga ideal untuk daycare berkisar antara Rp 2,7 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Daycare yang ia kelola menyediakan ruangan ber-AC, kolam renang, halaman bermain luas, program latihan bulanan, dan menu makanan khusus dari orang tua. Pengasuhnya juga profesional dan berpengalaman.
Selain itu, mereka memberikan informasi berkala tentang kondisi bayi, seperti jumlah susu yang diminum, frekuensi BAB, dan makanan yang dihabiskan.
Namun, biaya daycare yang tinggi tidak sebanding dengan UMR Jakarta yang sekitar Rp 5.067.381. Dengan penghasilan UMR, pekerja yang memiliki bayi harus mengeluarkan hampir setengah gajinya untuk biaya daycare.
Perlunya Intervensi Pemerintah
Tingginya biaya daycare berdampak pada aksesibilitas dan kelayakannya. Kurniawati Hastuti Dewi menegaskan bahwa ini adalah persoalan serius yang membutuhkan intervensi pemerintah melalui regulasi yang jelas.
Hampir 98 persen daycare di Indonesia yang dikelola oleh pihak swasta, menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah menyediakan daycare layak dan terjangkau. Kurniawati menyebut pemerintah memiliki sejumlah aturan yang bisa menjadi pintu masuk untuk mengelola daycare, seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ibu memiliki hak untuk mendapatkan akses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya (Pasal 4 ayat 3 huruf e) dan mewajibkan pemberi kerja menyediakan tempat penitipan anak (Pasal 30 Ayat 3 huruf c).
Menurut Kurniawati, undang-undang ini seharusnya digunakan pemerintah untuk menyediakan daycare yang layak dan terjangkau bagi masyarakat kelas menengah. Dengan pengelolaan oleh pemerintah, subsidi bisa diberikan untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua.
Kurniawati mencontohkan Jepang. Kala itu biaya daycare anaknya disubsidi oleh pemerintah. Dia mengusulkan agar setiap kecamatan memiliki dua hingga tiga daycare untuk memudahkan akses orang tua dan menghindari anak-anak terjebak macet.
Pengelolaan langsung oleh pemerintah juga akan memastikan pengawasan yang lebih baik terhadap daycare, sehingga kelayakan fasilitas dan pelayanan dapat terjamin. Standar perekrutan dan pelatihan pengasuh juga bisa ditetapkan oleh pemerintah.
Kurniawati mengaitkan kasus kekerasan di daycare Wensen, Depok, Jawa Barat dengan lemahnya pengawasan dan regulasi pemerintah. Banyak daycare tidak memiliki izin, seperti ditemukan dalam survei KPAI pada 2019 yang menunjukkan 44 persen daycare tidak berizin, 30,7 persen hanya memiliki izin operasional, 12 persen memiliki tanda daftar, dan 13,3 persen hanya berbadan hukum.
Dengan regulasi yang ketat dan pengawasan rutin, pemerintah dapat mencegah kasus kekerasan di daycare. Kurniawati mengusulkan dinas pendidikan melakukan inspeksi berkala ke daycare di setiap kecamatan.
"Saya membayangkan kalau pemerintah serius, ada semacam aturan yang mengatur inspeksi berkala untuk daycare di setiap kecamatan," ujarnya.
Dukungan Kepada Perempuan
Ketersedian daycare layak dengan harga yang terjangkau menurut Kurniawati adalah bentuk dukungan kepada perempuan pekerja. Terlebih di Indonesia perempuan masih terikat oleh norma gender tradisional. Masyarakat mengharapkan perempuan untuk menjadi ibu dan istri daripada berkarier.
Data BPS 2023 menunjukkan bahwa pekerja perempuan di sektor formal mencapai 34,10 persen, sementara di sektor informal mencapai 42,67 persen. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan berusia 15 tahun ke atas di Indonesia stagnan di sekitar 50% selama dekade terakhir, dan di Jakarta lebih rendah lagi, yaitu 48,47% pada tahun 2018. Data ini menunjukkan bahwa peluang perempuan di Jakarta untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja menurun setelah mereka memiliki anak.
"Karena biasanya ibu-ibu yang bekerja itu berada dalam usia produktif dan melahirkan anak pertama dan kedua," kata Kurniawati.
Berbeda dengan perempuan di daerah lain, perempuan di Jakarta cenderung meninggalkan pasar tenaga kerja untuk jangka waktu yang lebih lama setelah memiliki anak. Hal ini disebabkan oleh dominasi sektor formal yang sangat kompetitif dalam ekonomi Jakarta. Perempuan dengan episode pengangguran panjang akan menghadapi kesulitan lebih besar untuk kembali ke pasar tenaga kerja karena kurangnya pengalaman kerja.
Keberadaan daycare yang layak, setidaknya tak lagi membuat perempuan harus memilih antara anak dan karier. Seperti yang dialami Rizka, yang harus mengundurkan diri dari pekerjaannya demi buah hatinya.
Daycare yang layak dan terjangkau juga berperan dalam mengubah pandangan bahwa peran perempuan terbatas pada ranah domestik, karena fasilitas ini membantu orang tua dalam mengurus anak-anak mereka.
Kebutuhan daycare yang layak dengan harga terjangkau, menurut Kurniawati juga semakin mendesak, karena cara-cara tradisional seperti menitipkan anak kepada neneknya sudah tidak memungkikan. Mengingat Indonesia saat ini sudah memasuki fase aging society atau penuan penduduk.
Akibatnya, nenek atau orang tua dari ibu atau ayah tidak dapat lagi diandalkan untuk turut membantu mengurus sang cucu. Hal itu kemudian disebut Kurniawati berdampak terhadap demand atau peningkatan kebutuhan daycare.
Belum lagi orang tua yang tidak percaya menggunakan pengasuh, karena tidak dapat dipantau saat mereka bekerja atau pertimbangan lain terkait dengan tumbuh kembang buah hatinya.
"Karena alasan mereka memasukkan di daycare setahu saya itu adalah mereka ingin ada komponen pendidikannya.Jadi ketika mereka menitipkan anak, kalau di daycare itu kan mereka harap anaknya seharian juga diajarin warna, diajarin motorik halus, motorik kasar," kata Kurniawati.
"Kalau hanya diberikan ke pembantu rumah tangga paling digendong. Sehingga, saya yakin dengan pola pikir ibu-ibu muda produktif zaman sekarang, dan demand daycare itu menjadi makin besar saat ini. Dan kebutuhan yang hampir tidak bisa dinafikan, ya, untuk ibu-ibu di kota besar seperti Jabodetabek," tandasnya.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.