Suara.com - Daycare atau tempat penitipan anak (TPA) mulai menjadi momok bagi orang tua, secara khusus pekerja perempuan di kota besar seperti Jakarta. Para orang tua pekerja makin waswas, ketika lini masa banyak berita tentang kasus kekerasan terhadap anak di Daycare.
Di satu sisi, keberadaan daycare membantu meringankan beban perempuan, terutama ibu yang bekerja agar tetap dapat berkarir dan menjaga keluarga. Di sisi lain, tak ada jaminan keamanan dan keselamatan anak yang dititipkan di daycare.
Sebagaimana diketahui, jumlah pekerja perempuan di Indonesia relatif tinggi. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2021 menunjukan, jumlah pekerja perempuan mencapai 36,20 persen dari total seluruh pekerja di Indonesia dan angkanya cenderung naik setiap tahunnya.
***
MUTAKHIR, kasus penganiayaan yang dialami bayi sembilan bulan berinisial AMW dan balita dua tahun berinisial MK di Wansen School Indonesia, Depok, Jawa Barat menjadi sorotan publik. Kedua anak itu dianiaya oleh Meita Irianty, ketua Yayasan daycare tersebut. Aksi keji Meita itu terungkap setelah rekaman CCTV di daycare miliknya beredar di media sosial. Dalam kasus ini, pelaku telah ditangkap dan ditahan Polres Metro Depok.
Kasus ini satu dari sekian banyak kekerasan terhadap anak di berbagai daycare. Ini menunjukkan kegagalan pemerintah mengawasi kualitas pemenuhan hak anak atas pengasuhan di Daycare. Fenomena gunung es, kekerasan terhadap anak di tempat penitipan yang memilukan karena minimnya pengawasan itu marak terjadi tapi belum jadi perhatian serius pemerintah.
Kegagalan pemerintah dalam mengawasi kualitas pemenuhan hak anak atas pengasuhan setidaknya tercermin dari jumlah daycare tak berizin atau ilegal di Kota Depok. Menurut data Perkumpulan Pemilik dan Pengelola Daycare Indonesia (P3DI) Kota Depok, daycare tak berizin di wilayahnya terdapat 98 unit. Salah satunya ialah daycare Wensen School Indonesia milik Mieta Iriyanti alias Tata Iriyanti yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penganiayaan terhadap anak asuhnya, AMW dan MK.
Miris, fakta terkait keberadaan 98 daycare ilegal ini baru diketahui Dinas Pendidikan Kota Depok setelah kasus penganiayaan di Wensen School Indonesia santer di media.
Wensen School Indonesia yang terletak di Jalan Putri Tunggal Nomor 42, Harjamukti, Cimanggis, Kota Depok tersebut secara administratif sebenarnya hanya mengantongi izin operasional sebagai kelompok bermain atau KB Nomor: 421.1/0084/DPMPTSP/IV/2024. Sedangkan aktivitas daycare yang luput dari pengawasan Dinas Pendidikan Kota Depok itu beroperasi secara ilegal hingga menelan korban.
Padahal kelengkapan administrasi kelembagaan sebuah daycare menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpengaruh terhadap jaminan kualitas pelayanan. Di samping aspek lainnya, yakni kualitas sumber daya manusia (SDM) dan program pelayanannya.
Pada 2019, KPAI pernah melakukan riset terkait Pengawasan Kualitas Pemenuhan Anak pada TPA dan Taman Anak Sejahtera (TAS). Survei dilakukan terhadap 75 TPA dan TAS yang tersebar di 20 kabupaten/kota di sembilan provinsi meliputi Aceh, Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Yogyakarta.
Hasil survei tersebut menemukan 44 persen daycare tidak memiliki izin. Sementara 30,7 persen lainnya hanya mengantongi izin operasional, 12 persen hanya memiliki tanda daftar, dan 13,3 persen hanya sekadar berbadan hukum.
KPAI dalam survei itu turut menemukan 66,7 persen pegawai pelayanan pada daycare tidak bersertifikat. Bahkan beberapa daycare ditemukan memperkerjakan tenaga pengasuh yang masih berstatus anak.
Lahan Bisnis Basah
Psikolog anak Novita Tandry mengatakan banyak orang tua yang sebenarnya terpaksa mengalihkan pengasuhan anaknya ke daycare. Sebab mereka --ibu dan ayah-- harus bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal.
Menurut data KPAI 2015, 75 persen keluarga Indonesia tercatat mengalihkan pengasuhan anak kepada orang lain, baik temporer atau permanen.
Novita menyebut sebagian besar dari mereka juga terpaksa mengalihkan pengasuhan anaknya karena tidak memiliki support system alias pasangan perantau yang jauh dari keluarga inti. Sehingga daycare menjadi pilihan dengan harapan anaknya bisa mendapatkan pelayanan pengasuhan yang baik.
Tapi ironisnya di tengah tingginya kebutuhan para orang tua, justru pihak tak bertanggung jawab seperti Tata Iriyanti memanfaatkan daycare sebagai lahan bisnis semata. Mendirikan daycare ilegal dan tak berstandarisasi yang tujuannya demi memperoleh keuntungan besar.
"Ini dijadikan sebagai bisnis untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya," kata Novita kepada Suara.com, Senin (5/8/2024).
"Kenapa saya bilang paling basah? Anak di bawah 3 tahun itu belum bisa bicara atau mengemukakan apa yang dia rasa dan dia alami kepada orang tuanya karena keterbatasan kosa kata. Nah ini jadi sasaran empuk," imbuhnya.
Kondisi ini, lanjut Novita, semakin diperparah karena lemahnya pengawasan pemerintah terhadap aktivitas daycare.
Temuan KPAI dan Dinas Pendidikan Depok terkait data daycare ilegal dinilai hanya sebagian kecil dari masalah-masalah lain yang belum terungkap. Apalagi kasus penganiayaan di Wensen School Indonesia juga terungkap karena adanya pegawai yang berani membongkar kelakuan Tata Iriyanti.
Menurut Novita, pemerintah sudah semestinya berbenah dan belajar dari kasus yang terjadi di Wensen School Indonesia. Bukan sekadar memperketat perizinan, tapi turut menjalankan fungsi pengawasan yang sungguh-sungguh demi menjamin kualitas daycare dari sisi kelembagaan, SDM, hingga program pelayanannya.
"Buat aturan dan regulasi yang ketat itu bagus. Tetapi monitoring dan pengawasannya itu juga harus betul-betul dilakukan. Jangan hanya memberikan izin, setelah itu tidak ada monitoring, percuma," jelas Novita.
Novita juga menyarankan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Kemendikbudristek mengubah istilah Taman Penitipan Anak. Penggunaan kata 'penitipan' dinilai salah kaprah karena seolah-olah menyamakan anak seperti barang.
"Kalau di luar negeri nggak ada yang sebut itu tempat penitipan anak. Mereka sebutnya childcare atau daycare. Artinya tempat pengasuhan atau rumah pengasuhan," terangnya.
"Tahu nggak? Di luar negeri itu bukan jenjang tingkat pendidikan S1 dan S2 yang paling penting. Justru dimulai dari PAUD dan daycare. Karena di situ usia krusial banget. Otak manusia dibentuk di usia itu 80 persen," imbuh dia.
Di samping itu, Novita mendorong perusahaan-perusahaan swasta turut menyediakan daycare bagi karyawan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. Dalam Pasal 30 ditegaskan, pemberi kerja atau tempat kerja harus memberikan dukungan fasilitas, akomodasi yang layak, sarana, dan prasarana seperti fasilitas pelayanan kesehatan; penyediaan ruang laktasi; dan tempat penitipan anak.
"Jadi perusahaan jangan hanya mencari keuntungan saja dari memakai tenaga karyawan," tegasnya.
Standarisasi dan Pengawasan
Senada dengan Novita, Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menilai kasus kekerasan di Wensen School Indonesia bisa terjadi akibat lemahnya pengawasan dan standarisasi pemerintah terhadap daycare. Karena itu, ia meminta Kemendikbudristek segera melakukan perbaikan sistem pengawasan dan standarisasi terkait Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD.
Di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) misalnya, Maryati menyebut standarisasi untuk penyelenggara Taman Asuh Ramah Anak atau TARA sudah ada sejak 2021. Kemendikbudristek dan Kementerian Sosial yang juga memiliki program layanan pengasuhan anak Taman Anak Sejahtera (TAS) diharapkan turut memberlakukan dan memperbaiki standarisasi yang bisa dijadikan pedoman penyelenggara tempat pengasuhan anak.
Selain itu, kata Maryati, perlu ada kajian untuk mengukur tingkat kepatutan masyarakat dalam penerapan standar nasional ini. Baik yang dilakukan TPA, TAS, maupun TARA. Kemudian juga harus ada peningkatan kualitas dari sisi regulasi, SDM, program, anggaran dan layanan.
"Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga perlu membuat kebijakan dan program strategis serta melakukan pengawasan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas TPA, TAS, dan TARA," kata Maryati kepada Suara.com.
KemenPPPA bersama Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada tahun ini telah membentuk pedoman TARA berstandar nasional Indonesia atau SNI. Standar ini dimaksudkan bagi pengelola TARA meliputi pemerintah pusat, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, dunia usaha, dan lembaga masyarakat.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar mengatakan, pedoman ini bertujuan agar layanan daycare dapat berjalan optimal dan menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak.
"Jadi kalau KPPA melihatnya bahwa semua daycare itu harus ramah anak," kata Nahar kepada Suara.com.
Berdasar dokumen Rancangan Standar Nasional Indonesia TARA Nomor: RSNI3 9255:2024 yang diterima Suara.com, pedoman tersebut berisi sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara. Mulai dari persyaratan kebijakan pembentukan, persyaratan perencanaan layanan, persyaratan sumber daya, persyaratan penyelenggara layanan, persyaratan keselamatan anak, persyaratan manajemen risiko kebencanaan, hingga persyaratan pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
"Standar ini tentu untuk memastikan bahwa layanan-layanan daycare ini memiliki kualifikasi yang terstandar. Jadi berkaitan dengan akreditasi dan sertifikasi," jelas Nahar.
Minim Tenaga Pengawas
Kepala Bidang Pembinaan PAUD dan Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Dinas Pendidikan Kota Depok, Suhyana mengatakan bahwa tenaga pengawas dan penilik sampai saat ini masih terbatas. Pengawas dan penilik di Kota Depok jumlahnya cuma 21 orang.
Sementara jumlah PAUD di Kota Depok mencapai 1.191. Sedangkan daycare yang terdaftar atau mengantongi izin cuma 12 unit saja.
"Artinya yang diawasi oleh penilik untuk yang berizin saja itu belum tentu terawasi seluruhnya. Apalagi yang tidak berizin. Ini memang salah satu faktor penyebabnya," kata Suhyana saat dihubungi Suara.com, Senin (5/8).
Dalam waktu dekat ini, kata Suhyana, pihaknya juga berencana memanggil 98 penyelenggara daycare yang tak berizin di Kota Depok. Mereka akan dijelaskan tentang regulasi penyelenggaraan daycare dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau DPMPTSP Kota Depok.
Setelah itu mereka rencananya akan diberikan kesempatan selama tiga bulan untuk mengurus dan melengkapi persyaratan izin operasional daycare. Apabila hingga batas waktu tenggang tersebut para penyelenggara daycare belum mengurus perizinan maka akan ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol.
"Jadi memang 98 daycare itu belum pernah mengajukan izin sampai saat ini," ungkap Suhyana.
Sementara, Sekjen Kemendikbudristek Suharti menyampaikan aturan terkait perizinan daycare telah tertuang dalam Permendikbud Nomor 84 tahun 2014 tentang Pendirian Satuan PAUD. Satuan PAUD itu sendiri terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK), Taman Kanak-kanak Luar Biasa, Kelompok Bermain atau KB, Taman Penitipan Anak/Daycare, dan Satuan PAUD sejenis.
Satuan PAUD dapat didirikan oleh pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa, orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum. Orang perseorangan yang di maksud adalah warga negara Indonesia yang cakap hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun mekanisme pendiriannya, kata Suharti, pendiri satuan PAUD harus mengajukan permohonan izin pendirian kepada pemerintah daerah kabupaten/kota c.q. kepala dinas atau kepala SKPD melalui kepala dinas atau pejabat yang ditunjuk dengan melampirkan persyaratan pendirian. Kemudian Kepala Dinas atau pejabat yang ditunjuk, menelaah permohonan pendirian satuan PAUD berdasarkan kelengkapan persyaratan pemohon.
Setelah itu berdasarkan hasil telaah, kepala dinas dapat memberi persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pendirian satuan PAUD atau memberi rekomendasi kepada kepala SKPD atas permohonan izin pendirian satuan PAUD.
"Terkait kasus kekerasan yang terjadi di Depok, Kemendikbudristek mendorong Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (Satgas PPKSP) untuk dapat melakukan tindakan penanganan sesuai dengan prosedur. Terutama dalam hal memberikan pendampingan kepada korban," tutur Suharti kepada Suara.com, Senin (5/8).
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.