Suara.com - Bel sekolah baru saja berbunyi. Kala itu waktu menunjukkan pukul 13.07 WIB. Rizky dan beberapa teman sekelasnya bergegas keluar dari gedung sekolah. Ia mengayunkan cepat kakinya menuju warung yang terletak di seberang jalan. Jaraknya hanya kurang lebih 200 meter dari sekolahnya.
Kepala Rizky melongok masuk ke warung kecil di seberang sekolah. Matanya menatap rak di belakang penjual, tempat deretan bungkus rokok berjajar. Dengan cepat, ia merogoh kantong celana abu-abunya, mengeluarkan beberapa lembar uang yang sudah sedikit kusut.
Uang itu ia sodorkan ke penjaga warung sambil berkata, "Beli enam batang aja, Bu."
Tanpa banyak bicara, penjaga warung itu mengambil enam batang dari salah satu bungkus, memasukkannya ke kantong plastik transparan, lalu menyerahkannya kepada Rizky. Seolah ini adalah transaksi yang biasa.
Rizky menggenggam rokok itu dengan santai, memasukkan ke dalam saku seragamnya berlambang OSIS. Ia dan keluar warung sambil menyapa teman-temannya yang sudah menunggu di pinggir jalan.
Rizky sendiri adalah seorang siswa SMA di Jakarta Timur. Ia sudah mengenal rokok sejak duduk di bangku SMP. Mulanya ia hanya coba-coba. Ini tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan di sekitar yang juga telah menjadi perokok sejak usia anak.
Setiap harinya tiga hingga empat batang rokok habis dihisapnya. Ia mengaku tak pernah kesulitan mendapatkan rokok batangan.
Pihak keluarga bukan tidak tahu bahwa Rizky merokok. Mulanya sang ibu marah besar.Ia tidak terima anaknya merokok.. Namun kemarahan itu mereda seriring berjalannya waktu. Kemarahan itu perlahan berganti dengan sikap pasrah.
“Awalnya sembunyi-sembunyi, tapi begitu ketahuan langsung dimarahin. Gak lama setelah itu, udah biasa aja, soalnya abang sama bapak juga ngerokok,” ujarnya.
Prevalensi perokok aktif di Indonesia terus meningkat. Data Survei Kesehatan Indonesia (2023) mencatat 70 juta perokok aktif, dengan 7,4 persen di antaranya berusia 10-18 tahun. Kelompok anak dan remaja menunjukkan peningkatan signifikan, dengan prevalensi perokok usia 13-15 tahun naik dari 18,3 persen (2016) menjadi 19,2 persen (2019). Usia 15-19 tahun menjadi kelompok perokok terbanyak (56,5 persen), diikuti usia 10-14 tahun (18,4 persen).
Di Tengah Kepungan Warung Rokok
Penelitian Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), pada 2023 menemukan bahwa mayoritas murid sekolah membeli rokok eceran saat pertama kali merokok. Menurut Project Lead for Tobacco Control CISDI, Beladenta Amalia, pada 2019 rokok eceran bahkan dijual seharga Rp 1.000 per batang.
"Studi kualitatif CISDI menunjukkan 7 dari 10 murid membeli rokok eceran, baik saat konsumsi dalam 30 hari terakhir maupun saat pertama kali mencoba," ujar Beladenta.
Temuan ini sejalan dengan laporan Global Youth Tobacco Survey, yang mencatat bahwa di beberapa ASEAN, termasuk Indonesia, sekitar 40 persen perokok usia 13-15 tahun membeli rokok secara batangan.
Penelitian berjudul Field Validation of Secondary Data Sources for Enumerating Retail Tobacco Outlets in a State Without Tobacco Outlet Licensing juga menunjukkan bahwa pemuda yang tinggal dekat warung rokok eceran memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjadi perokok aktif dan sulit berhenti merokok.Hal ini semakin relevan mengingat tingginya jumlah warung rokok yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk DKI Jakarta.
Hasil riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menggunakan Google Maps dan Google Street View mengidentifikasi 8.371 warung rokok eceran di DKI Jakarta. Jumlah terbanyak berada di Jakarta Timur (3.085), seperti domisili Rizky. Kemudian disusul Jakarta Barat (2.139). Rata-rata terdapat 15 warung rokok eceran per km², dengan Jakarta Pusat memiliki kepadatan tertinggi, yaitu 30 warung per km².
“Berdasarkan data kepadatan penduduk kita, setiap 1.000 penduduk ada satu warung penjual rokok, jadi ini ketika tidak diatur akan membahayakan," ujar Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Risky Kusuma Hartono, PhD.
Dilema Warung Kelontong
Nur (48), pemilik warung dekat sekolah, mengakui bahwa ia tidak menolak menjual rokok kepada pelajar. Baginya, seragam sekolah bukanlah alasan untuk menolak pelanggan.
"Kita mah kan penjual, penghasilan kita dari melayani semua pembeli tanpa kecuali," ujar Nur.
Temuan penelitian PKJS UI memperkuat pandangan Nur. Meskipun ada larangan penjualan rokok eceran, mayoritas penjual (85,5 persen) masih tetap menjual rokok. Hanya 11,3 persen yang mengaku mengurangi penjualan, dan 3,2 persen yang berhenti sama sekali. Dalam konteks larangan penjualan rokok di sekitar sekolah, 53,2 persen penjual masih menjual rokok, sementara 22,5 persen mengurangi penjualan, dan 37,1 persen berhenti.
Bahkan, studi tersebut juga menemukan, bahwa 58,1 persen warung memperbolehkan konsumen untuk membeli rokok eceran dengan berhutang.
Warung kelontong sulit berhenti menjual rokok eceran di dekat sekolah karena rokok adalah komoditas terlaris, melebihi sembako dan jajanan. Rata-rata, dalam seminggu mereka menjual 312 batang, dengan penjualan maksimal hingga 1.750 batang.
“Jualan rokok itu sumber penghasilan saya, jadi saya nggak pernah melarang anak-anak beli rokok di warung saya,” kata Nur.
"Anak-anak juga beli pakai uangnya," tambahnya, menegaskan sikapnya terhadap penjualan rokok kepada pelajar.
Perlu Zonasi Penjualan Rokok
Sebuah studi berjudul Cigarette Retailer Density Around Schools and Neighborhoods in Bali, Indonesia: A GIS Mapping menunjukkan bahwa pelarangan penjualan rokok dalam radius 500 meter dari sekolah dapat memberikan dampak signifikan. Penerapan larangan pengecer tembakau dalam radius minimal 100 meter dari sekolah juga berpotensi mengurangi paparan remaja terhadap pemasaran rokok.
Pemertintah Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki sejumlah aturan terkait dengan pembatasan Kawasan Tanpa Rokok. Permendikbud No. 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah mewajibkan memasang tanda kawasan tanpa rokok. Kepala sekolah juga harus menegur atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang merokok di area sekolah.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 juga melarang penjualan produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
“Tapi semua peraturan ini tidak akan efektif tanpa pengawasan yang tepat dan hukuman berat. Sebuah studi melaporkan bahwa pengawasan yang tinggi dan hukuman berat untuk pelanggaran merupakan aspek penting untuk memastikan pengurangan merokok di kalangan remaja,” ujar Risky Kusuma Hartono.
Ketua Komnas Pengendalian Tembakau, Prof. Hasbullah Thabrany, menilai bahwa peraturan pengendalian rokok serta pengawasan dari pemerintah masih lemah.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Informasi Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengakui bahwa peraturan teknis terkait pengendalian rokok di sekitar fasilitas pendidikan memang masih dalam pembahasan. Ia mengatakan bahwa Rancangan Permenkes Tentang Pengendalian Rokok saat ini sudah ada di website partisipasi sehat. Masyarakat bisa mengakses dan publik juga bisa memberi masukan.
Merespons masih banyak warung yang berjualan rokok di sekitar sekolah, Nadia mengatakan bahwa Undang - Undang dan Peraturan Pemerintah, serta peraturan teknis telah mengaturnya dengan jelas.
“Pelanggaran ini akan ditangani oleh aparat hukum dan pemda, sesuai aturan yang berlaku. Langkahnya adalah menjalankan amanah dalam PP dan UU. Jika diperlukan, aturan teknis dapat disusun oleh Kemenkes atau kementerian/lembaga terkait, sesuai tugas dan wewenangnya, termasuk pemda.”
"Teror ini merupakan bentuk intimidasi dan juga ancaman terhadap tugas-tugas jurnalisme Jubi," kata Dimnas.
"Sekarang upaya pelemahan demokrasi ini semakin eksplisit dan enggak malu-malu lagi," kata Nenden.
Penyidik Kejaksaan Agung kaget bukan kepalang saat menggeledah rumah mewah Zarof Ricar
"Jadi secara umum memang kami itu sedang galau dan gelisah soal posisi BRIN itu mau di kemanakan," kata sumber Suara.com di lingkungan BRIN.
"Kenapa perempuan masih susah masuk di kabinet, karena persoalan di kabinet ini persoalan politik, sangat erat dengan lobi-lobi politik," kata Kurniawati.
Cerita warga di sekitar proyek hilirisasi nikel yang bertahan hidup dengan risiko kematian.
Sejauh ini, tak ada jaminan ormas keagamaan mampu lebih baik mengelola pertambangan di Indonesia.